Perjalanan selanjutnya dilalui dengan usaha yang keras, dengan saling menyemangati satu sama lain, karena jalur tracking  yang semakin curam, banyak belokan dan rasa dingin yang sampai ke tulang. Jadi ini yang dinamakan naik gunung, lelah rasanya ingin berhenti. Di antara tracking yang curam, ada jalan yang juga landai sekitar 20 meter, di jalan itu kami berhenti duduk di atas pohon besar yang sudah lapuk, sekedar mengistirahatkan kaki.Â
Selama beristirahat ada pemandangan langit yang disuguhkan, malam itu bintang sangat banyak, kami terlena akan keindahan tersebut. Ingin rasanya berlama-lama duduk di tempat itu sambil memandang langit, tapi jika terlalu lama beristirahat rasa cape itu akan sangat terasa, sehingga kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Rasanya mungkin hampir 2 jam sudah berlalu sejak kami start untuk mendaki, tapi belum sampai puncak juga, dan salah satu teman saya yang saya ceritakan sebelumnya mengalami keram kaki dan napasnya terengah-engah. Melihat hal tersebut saya dan satu teman saya juga agak panik, karena jika kesehatan teman saya tersebut memburuk, tidak ada yang dapat menolong kami bertiga, karena posisinya saat itu berada di tengah hutan dan pengunjung di belakang atau di depan kami belum ada yang terlihat.Â
Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di bawah pohon besar dan menyuruh teman saya untuk makan madu sachet yang saya bawa. Tetapi dia menolak, dia hanya meminta untuk botol minum yang cuma satu untuk kami bertiga, karena persediaan makanan dikumpulkan di dalam tas teman yang sudah naik duluan. Sekitar 15 menit kami ada di tempat itu untuk menunggu teman saya mengatur napasnya.Â
Lagi-lagi di tempat itu teman saya bilang untuk berhenti, dan dia ingin kembali ke Paltuding. Saat dia berkata seperti itu kami bertiga diam, tidak ada jawaban untuk menolak atau mengiyakan ajakannya untuk turun. Saya tau saya dan teman yang menemani teman saya yang sakit ingin kami bertiga sampai puncak, tapi kami tidak tega untuk memaksa teman saya yang sakit melanjutkan perjalanan.Â
Di situ perasaan saya bingung apa yang saya harus lakukan, saya ingin sekali melihat puncak ijen secara langsung, tapi saya juga takut terjadi apa-apa dengan teman saya. Di kediaman itu ada beberapa rombongan pengunjung yang lewat dan ada satu troli yang dikemudikan oleh 2 pengendara, yang satu mendorong troli dan yang satu lagi menarik troli.Â
Kenapa hal itu dilakukan karena penumpang troli adalah pendaki yang lumayan besar tubuhnya. Melihat hal itu sebenarnya saya malu, beban diri sendiri saja sudah mengeluh untuk mendaki, apalagi rasa cape yang dirasakan bapak-bapak tersebut yang membawa beban troli plus penumpang.  Melihat bapak-bapak pengendara troli itu saya  mengukuhkan hati saya bahwa kami bertiga bisa sampai ke puncak. Akhirnya karena paksaan kami berdua, teman saya tersebut mau lagi melanjutkan perjalanan, walaupun dengan langkah yang lambat.
Di jalur ini jika tidak menggunakan masker yang tebal bau asap sangat menganggu pernapasan dan mata juga perih. Â Di tengah perjalanan kami banyak bertemu turis asing yang sudah banyak turun, sepertinya mereka sudah biasa dengan rasa dingin jadi baju mereka yang mereka gunakan tidak setebal punya kami dan mereka menggunakan masker tebal yang dilengkapi dengan filter.