Mohon tunggu...
Afrilyani
Afrilyani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pengalaman Berwisata ke Kawah Ijen

5 Desember 2017   09:33 Diperbarui: 5 Desember 2017   10:15 6526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalut Tracking by Iqbal Rajaguni (dokpri)

Dear pembaca... tulisan ini adalah tulisan pertama saya di media. Oleh karena itu mohon dimaklumi jika tulisan ini agak sedikit "menganggu hati pembaca" hehehe...

Di tulisan ini saya akan bercerita tentang hiking pertama saya ke kawah ijen. Sebenarnya tujuan utama perjalanan kali ini, bukan untuk hiking, tapi saya bersama 10 orang  kawan saya diberi tugas untuk menyebarkan kuisioner terkait isu wisata di Banyuwangi

Malam pukul 22.00 WIB rombongan kami tiba di penginapan di Kota Banyuwangi. Setelah sampai di penginapan, rombongan kami  yang jumlahnya 12 orang di tanyai tiap individu oleh dosen pengampu mata kuliah tentang kesiapan kami dalam menyebarkan kuisioner. Ibu dosen kami menekankan "jika fisik tidak kuat jangan dipaksakan untuk naik Kawah Ijen, ingat tujuan utama kita datang ke Banyuwangi". 

Memang dalam perjalanan kali ini hiking bukan jadi tujuan utamanya, tapi saya rasa karena saya sedang berada di tempat wisata alam yang dikenal sampai ke luar negeri, apa salahnya menambahkan tujuan sampai ke puncak kawah ijen. Jadi apa yang saya ceritakan kali ini adalah hanyalah hal yang saya lihat, alami dan rasakan saat hiking ke kawah ijen. 

Sekitar pukul 23.00 WIB saya memutuskan untuk beristirahat sebelum berangkat ke kawasan wisata alam Kawah Ijen. Sekitar pukul 01.00 WIB akhirnya rombongan yang ingin menyebarkan kuisioner di puncak kawah ijen berangkat. Anggota yang berangkat kawah ijen adalah sebanyak 7 orang, dengan 2 laki-laki dan 5 perempuan. Waktu perjalanan dari pengginapan memakan waktu 1 jam perjalanan. 

Rombongan kami tiba di pos pertama yaitu Paltuding. Di daerah ini adalah tempat pakir kendaraan bagi para rombongan yang ingin mendaki. Karena dari Paltuding sampai kawah ijen kendaraan  tidak diijinkan masuk. Suhu dingin sudah mulai terasa di kawasan PALTUDING, berbeda dengan suhu yang ada di Banyuwangi. Di kawasan PALTUDING masyarakat mengambil kesempatan untuk mendapatkan usaha dari kedatangan pengunjung. 

Mulai dari menawarkan jasa guide, menjajalkan jualan perlengkapan hiking dan membuka warung makan. Suasana di tempat ini menjadi ramai karena suara orang-orang yang menawarkan berbagai jasa dan barang. Padahal PALTUDING adalah kawasan yang bersebelahan dengan hutan, tetapi suasana sepi itu tidak ada. 

Setelah persiapan sudah selesai sekitar pukul 02.30 rombongan kami mulai mendaki kawah ijen dengan suasana jalur tracking yang sangat berbeda dengan suasana yang dirasakan di PALTUDING. Kiri kanan tracking hanyalah hutan, tidak ada lampu penerangan di jalanan tracking. Sumber cahaya hanya berasal dari senter yang dibawa oleh rombongan. Suara yang terdengar hanyalah suara serangga malam hari dan teriakan para pengendara troli yang lalu lalang di jalur tracking. 

Jalur tracking tidaklah sesulit yang saya bayangkan. Jalur tracking menuju kawah ijen sudah rata oleh timbunan tanah/pasir hal ini untuk memudahkan para penambang belerang dalam bekerja, dan tanjakan awal pendakian tidak terlalu curam. Jadi dalam hati saya jika keadaan jalur tracking seperti ini rasa-rasanya fisik saya mampu sampai puncak bahkan dapat mengabadikan blue fire yang terkenal. 

Blue fire adalah cahaya biru yang berasal dari dalam pembakaran belerang di kawah ijen, fenomena blue fire hanya dapat dilihat pada malam hari, jika cahaya matahari sudah timbul, maka cahaya birunya kalah tampak dengan cahaya matahari. Tapi.... keadaan pada saat itu berkata lain. Salah satu teman perempuan saya hampir menyerah dan tidak ingin melanjutkan perjalanan, padahal perjalanan yang sudah kami lalui sudah sekitar 1 km. 

Ini merupakan pendakian saya pertama kali, jadi saya tidak tau harus berbuat apa kepada teman saya itu. Dalam hati saya, saya ingin melanjutkan perjalanan dan dapat melihat blue fire, tetapi bagaimana dengan nasib teman saya. Saya hanya ada dua pilihan "jika saya ingin melihat blue fire saya harus meninggalkan teman saya, tapi jika saya menunggu teman saya, tidak ada pemandangan blue fire kali ini". Akhirnya saya bersama satu teman saya memutuskan untuk menemani teman saya tersebut dan tidak melihat blue fire, asalkan kami bertiga sampai puncak.

Perjalanan selanjutnya dilalui dengan usaha yang keras, dengan saling menyemangati satu sama lain, karena jalur tracking  yang semakin curam, banyak belokan dan rasa dingin yang sampai ke tulang. Jadi ini yang dinamakan naik gunung, lelah rasanya ingin berhenti. Di antara tracking yang curam, ada jalan yang juga landai sekitar 20 meter, di jalan itu kami berhenti duduk di atas pohon besar yang sudah lapuk, sekedar mengistirahatkan kaki. 

Selama beristirahat ada pemandangan langit yang disuguhkan, malam itu bintang sangat banyak, kami terlena akan keindahan tersebut. Ingin rasanya berlama-lama duduk di tempat itu sambil memandang langit, tapi jika terlalu lama beristirahat rasa cape itu akan sangat terasa, sehingga kami memutuskan melanjutkan perjalanan.

Rasanya mungkin hampir 2 jam sudah berlalu sejak kami start untuk mendaki, tapi belum sampai puncak juga, dan salah satu teman saya yang saya ceritakan sebelumnya mengalami keram kaki dan napasnya terengah-engah. Melihat hal tersebut saya dan satu teman saya juga agak panik, karena jika kesehatan teman saya tersebut memburuk, tidak ada yang dapat menolong kami bertiga, karena posisinya saat itu berada di tengah hutan dan pengunjung di belakang atau di depan kami belum ada yang terlihat. 

Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di bawah pohon besar dan menyuruh teman saya untuk makan madu sachet yang saya bawa. Tetapi dia menolak, dia hanya meminta untuk botol minum yang cuma satu untuk kami bertiga, karena persediaan makanan dikumpulkan di dalam tas teman yang sudah naik duluan. Sekitar 15 menit kami ada di tempat itu untuk menunggu teman saya mengatur napasnya. 

Lagi-lagi di tempat itu teman saya bilang untuk berhenti, dan dia ingin kembali ke Paltuding. Saat dia berkata seperti itu kami bertiga diam, tidak ada jawaban untuk menolak atau mengiyakan ajakannya untuk turun. Saya tau saya dan teman yang menemani teman saya yang sakit ingin kami bertiga sampai puncak, tapi kami tidak tega untuk memaksa teman saya yang sakit melanjutkan perjalanan. 

Di situ perasaan saya bingung apa yang saya harus lakukan, saya ingin sekali melihat puncak ijen secara langsung, tapi saya juga takut terjadi apa-apa dengan teman saya. Di kediaman itu ada beberapa rombongan pengunjung yang lewat dan ada satu troli yang dikemudikan oleh 2 pengendara, yang satu mendorong troli dan yang satu lagi menarik troli. 

Kenapa hal itu dilakukan karena penumpang troli adalah pendaki yang lumayan besar tubuhnya. Melihat hal itu sebenarnya saya malu, beban diri sendiri saja sudah mengeluh untuk mendaki, apalagi rasa cape yang dirasakan bapak-bapak tersebut yang membawa beban troli plus penumpang.  Melihat bapak-bapak pengendara troli itu saya  mengukuhkan hati saya bahwa kami bertiga bisa sampai ke puncak. Akhirnya karena paksaan kami berdua, teman saya tersebut mau lagi melanjutkan perjalanan, walaupun dengan langkah yang lambat.

Pengendara Troli by Wilda Aluf (dokpri)
Pengendara Troli by Wilda Aluf (dokpri)
Jam tangan saya sudah hampir menunjukkan jam 5 pagi, tapi perjalanan ini masih setengah perjalan sampai puncak (dikatakan para bapak-bapak pengendara troli). Masih jauh ternyata. Karena itu daripada kami mengeluh, kami mengalihkan perhatian kami dengan jepret-jepret pemandangan gunung lain di sekitar ijen selama sunrise dan menyebarkan kuisioner ke pengunjung yang juga sedang beristirahat. 

Pemandangan di sekitar Gunung Ijen (dokpri)
Pemandangan di sekitar Gunung Ijen (dokpri)
Sekitar 15 menit melanjutkan  perjalanan akhirnya kami sampai di pos keempat, yaitu satu-satunya pos yang menyediakan  warung di tengah jalur pendakian dan kami memutuskan untuk membeli minuman teh hangat sebelum melanjutkan perjalanan.

Pos Keempat (Dokumentasi Pribadi)
Pos Keempat (Dokumentasi Pribadi)
Setelah dari pos empat, sekitar 1 km sebelum menuju puncak kawah ijen menurut saya ini tracking yang berbeda dari jalur tracking sebelumnya. Pada jalur tracking bau asap belerang sudah mulai tercium, lebar jalanan tracking tidak seluas jalur di bawah dan pohon-pohon besar mulai jarang hanya ada pohon-pohon kecil tanpa daun yang rimbun. 

Di jalur ini jika tidak menggunakan masker yang tebal bau asap sangat menganggu pernapasan dan mata juga perih.  Di tengah perjalanan kami banyak bertemu turis asing yang sudah banyak turun, sepertinya mereka sudah biasa dengan rasa dingin jadi baju mereka yang mereka gunakan tidak setebal punya kami dan mereka menggunakan masker tebal yang dilengkapi dengan filter.

Asap Belerang di Jalur Pendakian by Wilda Aluf (dokpri)
Asap Belerang di Jalur Pendakian by Wilda Aluf (dokpri)

                                                                                               

Akhirnya kurang lebih 30 menit setelah melewati tracking yang diselimuti asap, pukul 06.00 kami sampai di puncak Gunung Ijen. Perjalanan melelahkan selama 3 jam terbayar dengan pemandangan yang waw! Pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. 

Pemandangan tanah berbatu yang tidak ada satupun tumbuhan atau hewan hidup di atasnya. Gersang dan kering. Pagi itu asap belerang dari kawah sangat agak tebal sehingga kami tidak diperbolehkan untuk mendekati kawah ijen. Selain para pengunjung juga terlihat para penambang belerang yang mengakut hasil tambangannya dari bawah kawah ijen menggunakan keranjang yang dipikul di atas bahu.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
(Pemandangan Kawah Ijen by Iqbal Rajaguni) dokumen pribadi
(Pemandangan Kawah Ijen by Iqbal Rajaguni) dokumen pribadi
Saat menikmati indahnya Gunung Ijen dari puncak, ada pemandangan yang tidak biasa di  puncak gunung yaitu adanya dinding beton yang katanya didirikan pemerintah dengan tujuan untuk memberi fasilitas kepada para wisatawan. Hal tersebut sekarang sedang menjadi isu yang pro kontra antara pemerintah, pemerhati lingkungan dan masyarakat pada kawasan wista alam kawah ijen. 

Apakah infrastruktur tersebut memang sangat perlu dibangun untuk kepuasan pengunjung? Apakah dengan adanya infrastruktur yang dibangun para pencari usaha di kawah ijen tidak terganggu usahanya? Atau dari segi lingkungan, apakah dibangunnya infrastruktur di puncak kawah ijen menurunkan nilai lingkungan kawasan ijen itu sendiri?

Entahlah jawaban untuk pertanyaan di atas bagi para pengambil keputusan tidak terlalu berdampak pada kehidupan mereka. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang mengantungkan hidupnya pada kawasan wisata alam kawah ijen.

Yang saya tahu, saya sebagai pengunjung sudah merasa terberkati dengan keadaan wisata alam kawah ijen yang sekarang, yang memberikan kesadaran kembali pada saya bahwa Tuhan memberikan alam yang sangat indah, bertemu dengan orang-orang yang bekerja keras untuk hidupnya, belajar untuk tidak menuruti keinginan saya sendiri, memberikan saya kesabaran. Jadi banyak "pesan tersirat" yang dialami penulis  dari pengalaman mendaki kawah ijen kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun