Bagi sebagian orang, aku adalah anak yang tumbuh dalam kebebasan. Bahkan, tidak sedikit yang menilai bahwa keluargaku adalah keluarga yang tidak punya ketegasan dalam mendidik. Namun, tiap kali aku mendengar penyudutan terhadap pola asuh yang diterapkan oleh Ibu, aku justru tertawa. Iya, aku tertawa karena aku sadar, setiap orang memiliki hak untuk menilai apapun dari sudut pandangnya masing-masing. Termasuk ketika mereka menilai cara mendidik Ibu terhadap anak-anaknya dengan sinis dan seringnya, menganggap bahwa apa yang diterapkan oleh keluargaku adalah ajaran yang keliru.
Tak apa, aku tidak ada kewajiban untuk menjelaskan bahwa keluargaku paling benar atau menuntut orang lain mencabut cap "keliru" yang disematkan. Sebab, yang paling penting adalah aku dan adikku merasakan hasil yang baik. Iya sih, baik menurut kami memang belum tentu baik untuk banyak orang. Namun setidaknya, kami telah didoktrin untuk tidak menjadi hakim atas pilihan hidup orang lain.
Anyway, aku sengaja menulis artikel ini karena aku adalah biang dari berbagai pertanyaan yang dibombardirkan orang-orang kepada Ibu. Ini soal "kapan aku akan menikah?" setelah jauh sebelumnya, Ibu dihujani pertanyaan tentang, "benarkah keyakinanku terhadap Tuhan telah berubah?"
Jujur, aku merasa geli dan agak menahan tawa saat menulis ini di kedai kopi. Bukan karena melihat polah konyol orang di sekitar, tapi aku tersadar bahwa ternyata, aku dilahirkan di tempat yang disesaki oleh kaum-kaum usil. Kenapa aku bilang usil? Singkat, karena mereka terlalu mencampuri hal yang seharusnya tidak pantas diurusi. Kenapa aku bilang hal yang berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap Tuhan adalah hal yang tidak pantas diurusi? Sebab, aku memegang teguh prinsip "vertikal-horizontal" dalam hidup.
Eummm, wait!
Perkara prinsip "vertikal-horizontal" pernah aku singgung dan aku publikasikan juga. Kurang-lebih, inti dari jengahku telah mewujud artikel yang dapat diakses melalui tautan yang merupa kutipan di bawah ini:
Lalu, perkara keputusan untuk menikah atau tidak, menurutku bukanlah hal yang layak dipertanyakan. Menikah atau tidak, itu pilihan masing-masing individu, termasuk aku. Ibu yang merupakan orang tua tunggal bagiku dan adikku, tidak pernah memaksaku untuk segera mengikatkan diri dengan seorang lelaki dalam sebuah janji yang dilegalkan oleh negara dan agama.
Aneh? Tidak. Menurutku tidak ada yang aneh dari sikap Ibu karena sedari dulu, Ibu selalu mendidikku untuk menjadi perempuan yang tidak bergantung pada laki-laki. Bukan cuma Ibu, tapi ketetapan Tuhan yang telah membentukku seperti ini.
Ayah kandungku menghadap Tuhan, tepat sebelum aku genap berusia tiga tahun. Lalu, Ayah sambungku pun harus menyusul di waktu aku belum genap tiga bulan berstatus pelajar dengan seragam putih-abu. Keduanya pergi tanpa pamit dan tanda, Ayah pulang dengan tiba-tiba. Jika Ibu adalah perempuan yang sepenuhnya bergantung pada laki-laki, mungkin aku tidak akan berada di titik ini. Namun, melihat Ibu yang begitu independen membesarkanku dan adik, aku jadi berpikir bahwa pada dasarnya, kita memang tidak bisa hidup sendiri. Tapi, kita harus berani berdikari dan tidak mengandalkan segala sesuatunya kepada orang lain. Sebab, tidak akan pernah ada pihak yang dapat dipastikan pertolongannya, kecuali Tuhan dengan segala penyertaan-Nya.
Jadi, berpijak pada jalan hidup itulah aku memilih untuk tidak menjadikan sebuah pernikahan sebagai "prioritas" yang harus disegerakan. Aku tidak peduli dengan penghakiman orang yang berkata bahwa aku ini akan menjadi perawan tua, aku akan sulit punya anak, serta tidak akan ada lelaki yang berani melamarku jika aku hanya fokus pada pendidikan dan karir.