Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kata Mereka, "Aku adalah Hasil Didikan yang Keliru"

10 Juni 2021   00:15 Diperbarui: 10 Juni 2021   00:34 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang, aku adalah anak yang tumbuh dalam kebebasan. Bahkan, tidak sedikit yang menilai bahwa keluargaku adalah keluarga yang tidak punya ketegasan dalam mendidik. Namun, tiap kali aku mendengar penyudutan terhadap pola asuh yang diterapkan oleh Ibu, aku justru tertawa. Iya, aku tertawa karena aku sadar, setiap orang memiliki hak untuk menilai apapun dari sudut pandangnya masing-masing. Termasuk ketika mereka menilai cara mendidik Ibu terhadap anak-anaknya dengan sinis dan seringnya, menganggap bahwa apa yang diterapkan oleh keluargaku adalah ajaran yang keliru.

Tak apa, aku tidak ada kewajiban untuk menjelaskan bahwa keluargaku paling benar atau menuntut orang lain mencabut cap "keliru" yang disematkan. Sebab, yang paling penting adalah aku dan adikku merasakan hasil yang baik. Iya sih, baik menurut kami memang belum tentu baik untuk banyak orang. Namun setidaknya, kami telah didoktrin untuk tidak menjadi hakim atas pilihan hidup orang lain.

Anyway, aku sengaja menulis artikel ini karena aku adalah biang dari berbagai pertanyaan yang dibombardirkan orang-orang kepada Ibu. Ini soal "kapan aku akan menikah?" setelah jauh sebelumnya, Ibu dihujani pertanyaan tentang, "benarkah keyakinanku terhadap Tuhan telah berubah?"

Jujur, aku merasa geli dan agak menahan tawa saat menulis ini di kedai kopi. Bukan karena melihat polah konyol orang di sekitar, tapi aku tersadar bahwa ternyata, aku dilahirkan di tempat yang disesaki oleh kaum-kaum usil. Kenapa aku bilang usil? Singkat, karena mereka terlalu mencampuri hal yang seharusnya tidak pantas diurusi. Kenapa aku bilang hal yang berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap Tuhan adalah hal yang tidak pantas diurusi? Sebab, aku memegang teguh prinsip "vertikal-horizontal" dalam hidup.

Eummm, wait!

Perkara prinsip "vertikal-horizontal" pernah aku singgung dan aku publikasikan juga. Kurang-lebih, inti dari jengahku telah mewujud artikel yang dapat diakses melalui tautan yang merupa kutipan di bawah ini:

Sepenting itukah pengakuanku terhadap sebuah agama di tengah masyarakat? Maksudku, apakah untuk menjadi bagian dari masyarakat, aku harus memamerkan identitas agamaku? Apakah aku harus menunjukkan dengan gamblang urusan vertikalku saat menjalani kehidupan dalam tataran horisontal? 

Lalu, perkara keputusan untuk menikah atau tidak, menurutku bukanlah hal yang layak dipertanyakan. Menikah atau tidak, itu pilihan masing-masing individu, termasuk aku. Ibu yang merupakan orang tua tunggal bagiku dan adikku, tidak pernah memaksaku untuk segera mengikatkan diri dengan seorang lelaki dalam sebuah janji yang dilegalkan oleh negara dan agama.

Aneh? Tidak. Menurutku tidak ada yang aneh dari sikap Ibu karena sedari dulu, Ibu selalu mendidikku untuk menjadi perempuan yang tidak bergantung pada laki-laki. Bukan cuma Ibu, tapi ketetapan Tuhan yang telah membentukku seperti ini.

Ayah kandungku menghadap Tuhan, tepat sebelum aku genap berusia tiga tahun. Lalu, Ayah sambungku pun harus menyusul di waktu aku belum genap tiga bulan berstatus pelajar dengan seragam putih-abu. Keduanya pergi tanpa pamit dan tanda, Ayah pulang dengan tiba-tiba. Jika Ibu adalah perempuan yang sepenuhnya bergantung pada laki-laki, mungkin aku tidak akan berada di titik ini. Namun, melihat Ibu yang begitu independen membesarkanku dan adik, aku jadi berpikir bahwa pada dasarnya, kita memang tidak bisa hidup sendiri. Tapi, kita harus berani berdikari dan tidak mengandalkan segala sesuatunya kepada orang lain. Sebab, tidak akan pernah ada pihak yang dapat dipastikan pertolongannya, kecuali Tuhan dengan segala penyertaan-Nya.

Jadi, berpijak pada jalan hidup itulah aku memilih untuk tidak menjadikan sebuah pernikahan sebagai "prioritas" yang harus disegerakan. Aku tidak peduli dengan penghakiman orang yang berkata bahwa aku ini akan menjadi perawan tua, aku akan sulit punya anak, serta tidak akan ada lelaki yang berani melamarku jika aku hanya fokus pada pendidikan dan karir.

Memang, apa untung dan ruginya bagi orang lain jika aku tidak menikah? Dan, untuk apa aku menikah jika aku sendiri belum paham dengan esensi pernikahan itu sendiri. Oh iya, tidak usah menghujaniku kalimat yang berinti, "nikah itu ibadah" karena sekali lagi aku tegaskan, urusan ibadahku bukanlah perkara yang aku izinkan untuk dicampuri orang lain. 

Tidak usah juga menjadikan argumen, "agar terhindar dari zina" sebagai bahan untuk menyudutkanku karena sedikitpun aku tidak peduli. Bukan berarti aku berkepala batu, hanya, kenapa harus menikah jika mati muda pun bisa menghindarkanmu dari zina? WKWKW, sorry kalau dark jokes, aku tahu guyonan itu cukup sering berseliweran di berbagai media sosial dan menurutku, hal tersebut sangatlah logis.

Pernikahan bagiku bukan sekadar alat yang memfasilitasi dua insan berbirahi agar tersalurkan napsunya dengan "halal". Lebih dari itu, pernikahan adalah hal sakral yang harus dibangun dan dipertahankan dengan penuh kebijaksanaan. Dan, kebijaksanaan tidak bisa dititikberatkan pada usia dan harta. Melainkan pada kesiapan dari dua individu yang berseberang pikir dalam menerima dan menyelaraskan langkah. 

Keselarasan pun tidak bergantung pada sejajarnya jenjang pendidikan, karena pada akhirnya, hubungan yang baik adalah hubungan yang dijalin oleh dua pihak yang sadar dengan masing-masing kekurangannya, namun memiliki tekad untuk saling melengkapi dan menguatkan.

Wahhh, sok-sokan nulis soal nikah, padahal niat untuk menikah saja aku belum punya. Haha, udahlah, biar. Biar orang-orang terus menilaiku sebagai anak yang salah dididik karena memiliki pemikiran yang aneh seperti ini. 

Toh, memang faktanya aku dibesarkan dalam lingkungan yang sangat bebas. Aku dibebaskan dan pada akhirnya, aku jadi paham bahwa tidak semua kebebasan berujung buruk karena sedari kecil, aku sudah dicekoki konsep sebab-akibat. Jika begini, maka begitu dan jika begitu, harus begini. Semua pilihan mengandung konsekuensi dan setiap konsekuensi harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab.

Jadi, bebaskanlah dirimu untuk melebur dalam setiap proses. Tuntaskan rasa penasaranmu dengan bijak karena pada kodratnya, setiap individu memang memiliki rasa penasarannya masing-masing. Jika rasa ingin tahu yang tinggi tidak diimbangi dengan pemupukan paham terhadap konsep sebab-akibat dan tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap individu, maka, yang ada hanyalah kefatalan bertubi akibat pembatasan terhadap kemerdekaan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun