"Jangan play victim! Aku mau kau jujur! Kalau emang kalian melakukan itu atas dasar suka, aku harap kau nggak memojokkan dia dan membuat cerita yang seolah-olah menempatkanmu di posisi korban. Aku mohon!"
"Aku tidak akan segila ini jika aku sepakat, Jul! Sebagaimana apa yang aku lakukan denganmu, aku mengiyakan dan aku tidak pernah mempermasalahkannya setelah kita putus. Semua itu karena apa? Karena aku sadar dan aku paham, kita melakukan itu atas dasar mau sama mau. Jadi, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tapi, untuk urusan aku dan Rizal, masalahnya beda, Jul! Aku memang mulai nyaman dengan dia, tapi aku benar-benar tidak mengiyakan ajakannya. Aku tidak mau, aku memberontak, tapi aku tidak bisa menghindar, Jul!" jelasnya.
Speechless.
Aku benar-benar kehabisan kata.
Aku tahu, aku bukan siapa-siapa Riri lagi. Tidak seharusnya aku marah dan kecewa. Namun, aku masih menyayangi Riri dan aku sudah berjanji untuk menjaganya. Aku sudah bertekad untuk tetap menjadikannya prioritasku, tapi aku kecolongan. Aku terlalu asik dengan duniaku dan membiarkannya dekat dengan si brengsek yang sebenarnya sudah aku ketahui tabiat buruknya.
Iya, aku sudah tahu siapa Rizal sejak aku mendengar kabar bahwa dia sedang mendekati Riri. Mungkin sebagian orang akan berpikir aku gagal move on karena masih memperhatikan kehidupan Riri. Iya, bisa dibilang memang begitu. Tapi, aku lelaki. Gengsiku cukup dominan, dibanding kerendahanku untuk mengakui. Jadi, aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan apa dan bagaimana pandangan orang terhadapku, yang penting aku tidak mempertontonkan kepedulianku pada khalayak. Biar cemburu dan amarah berkecamuk dalam diriku, selama Riri masih ada di sekitaku, dia akan tetap aku jaga. Walau sekarang, aku sadar, aku kecolongan.
"Aku hina, Jul. Aku udah nggak berharga lagi, Jul. Aku kotor!" racau Riri.
Aku tak kuasa menahan sesak saat melihatnya begitu depresi. Riri, perempuan yang aku tahu begitu tegar, kini benar-benar rapuh. Bahkan, tangisnya yang dulu dipertontonkan di hadapanku tak ada apa-apanya dibanding histerisnya kali ini. Aku hancur. Aku benar-benar bajingan yang tak berguna.
Riri kian histeris dan aku pusing. Kalut, aku pun memecahkan sebotol anggur merah yang isinya tinggal setengah. Kotor, pecahan beling bercampunr anggur kini mengotori dalam mobil. Tanganku berdarah karena aku menggenggam pecahan botol erat-erat dan Riri pun kian histeris. Kami terjebak dalam chaos.
"Untuk apa aku hidup jika aku sudah tidak berharga lagi, Jul?" pelan Riri bertutur.
Aku yang masih kalut hanya bisa terdiam sembari menahan diri dari emosi yang tak terkendali.