Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau dan Aku adalah Perwujudan Kata Absurd

5 Agustus 2020   13:39 Diperbarui: 5 Agustus 2020   16:29 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, jauh sebelum kita terjebak dalam perselisihan pola pandang, kau selalu berani meyakinkanku untuk bertahan dengan tutur yang lembut. Namun, setelah kita menghadapi masalah demi masalah yang tak terprediksi, kau mulai menampakkan tabiatmu yang asli. Tabiat yang dapat aku jadikan alasan untuk memohon perpisahan dengan sah. Tapi, apa aku melakukan itu? Tidak. Bukan berarti aku bodoh, hanya saja aku masih meyakini bahwa titik pisah kita masih jauh. Banyak kepingan puzzle yang harus sama-sama kita susun untuk akhirnya tahu, akhir dari perjalanan ini akan berwujud seperti apa.

***

Minuman rasa cotton candy dengan less ice yang kau pesan tinggal setengah. Pun kopi susu signature khas kafe ini yang aku pesan kini juga hampir habis aku minum. Kentang goreng masih utuh dan mendingin, seperti kita yang terjebak dalam bungkam.

Bisa dibilang pertemuan malam ini cukup aneh. Pertemuan yang disengajakan, tepat setelah empat bulan kita kompak untuk saling menghindar. Tanpa kabar, tanpa tegur dan tak saling sapa. Bak dua orang asing yang tak saling kenal, tapi masih sama-sama peduli dengan cara yang absurd.

*

"Kau atau aku yang harus memulai dulu?" celetukmu yang lirih tersamarkan alunan musik kafe yang sendu.

"Kau saja, kan kau yang mengajakku ketemu," responsku.

Kau tak berkata lagi, matamu tajam menatap ke arahku dan firasatku, kita akan berdebat lagi.

Suara helaan napas yang cukup dalam terdengar jelas di telingaku. Kau mengambil seputung rokok dari wadahnya yang tergeletak di atas meja. Aku menyeruput minumanku lagi sambil menunggu obrolan kita.

"Aku tidak akan memaksa, tapi aku percaya kau adalah perempuan yang jujur," sebuah kalimat terucap sebagai pembuka.

"Maksudnya?" responsku tak mengerti.

"Apa yang terjadi selama kita berjarak? Siapa laki-laki yang duduk di hadapanmu awal bulan lalu? Dan, kenapa kau menangis di tempat makan tengah malam dua minggu lalu? Ada apa sebenarnya?" rentetan pertanyaan terajukan dalam satu waktu.

Bingung dan kaget. Aku terkejut. Kenapa kau mengintrogasiku sedetail itu dalam kondisi kita yang masih sama-sama enggan untuk menjalani hubungan dengan baik.

"Harus aku jawab detail? Kalau iya, untuk apa? Apa pedulimu jika tahu soal apa yang terjadi padaku? Memangnya masih penting? Bukannya kehadiranku tidak sepenting perempuan-perempuan yang kau pepet di aplikasi kencan yang kau pasang? Haha.." ketusku balik bertanya.

"Harus! Kau harus menjawab karena mendengar kabar kalau kau menangis tengah malam di tempat umum cukup membuatku sesak. Aku tahu, aku bajingan yang juga sering menjadi penyebab sedihmu. Tapi, aku tidak terima jika kau harus menangis karena masalah yang bahkan aku sendiri tidak paham apa sebabnya," jelasmu dengan intonasi meninggi.

"Sebrengsek-brengseknya aku, aku tidak akan membiarkan perempuan yang aku sayangi menangis," tambahmu.

Mendengar tambahan kalimat yang sarat akan omong kosong dari mulutmu, aku pun terkekeh. Kontradiktif sekali pernyataanmu dengan kenyataan yang ada. Haha.

"Jadi, ada apa sebenarnya?" desakmu lagi.

"Terlalu panjang jika aku harus menceritakannya dari awal. Rumit, aku sadar ada celah kesalahan yang bisa jadi alasanmu marah. Namun, jika memang kau mau aku bercerita dengan jujur, aku akan menceritakannya," jawabku.

"Ceritakan saja, pahit atau manis, itu urusan nanti. Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi," responsmu yang mulai normal kembali intonasinya.

*

Jujur, untuk menceritakan kerumitan masalah yang baru saja aku lewati bukanlah perkara yang mudah. Terlebih lagi, aku sudah khatam akan watak keras dan gegabahnya. Aku takut, ceritaku hanya akan memantik kembali pertikaian antara aku dan Jeri. Sosok yang sempat membuatku terlena dan menyeretku dalam pencobaan baru. Tepat ketika aku berusaha untuk melawan trust issue terhadap lelaki yang kini duduk di depanku.

Jeri, lelaki tanggung yang datang di kehidupanku dengan sikap manis dan tutur yang lembut. Sikap yang berbanding terbalik dengan tindak-tanduk lelaki yang baru saja mematikan bara rokoknya di hadapanku. Sikap yang mampu membiusku sejenak dari getir persoalan sebelumnya. Awalnya, aku selalu denial dan sok yakin kalau aku dan Jeri tidak akan tertaut dalam pekatnya lingkaran hitam yang penuh racun. Tapi, siapa yang tahu takdir? Bukankah kita ini hanya bisa menerka apa yang belum terjadi dan berujung pasrah pada skenario Illahi? Skenario yang kadang jauh dari praduga dan alur kisah yang tak selalu sama dengan ekspektasi.

Haha, bajingan!

Bisa-bisanya, aku kembali meneteskan air mata saat menuturkan kelalaianku bersama Jeri di hadapan lelaki yang berulang kali membuatku murka hanya karena perilakunya di aplikasi kencan?

*

"Jadi intinya, kau pun sempat memiliki perasaan pada si Jeri itu?" tanyamu dengan mata yang semakin tajam menatapku.

Aku terisak dan tak bisa menjawab.

"Cukup mengangguk jika iya dan gelenglah kepalamu jika memang tidak! Beri tahu aku dengan jujur, aku tidak akan marah!" katamu sambil mencondongkan badan ke arahku.

"Aku tidak bisa memastikan apakah aku ini sayang pada dia atau tidak. Tapi, aku memang nyaman dan merasa aman saat bersama dia. Aku merasa, dia cukup suportif dalam mendukung kegiatanku. Dia bersedia mendengar keluhanku saat capek dan tidak enggan membantuku mencari solusi saat dihadapkan masalah-masalah akademik maupun organisasiku," jelasku.

"Apa aku kurang suportif?" tanyamu cukup menggelikan.

"Retoris! Kau menanyakan hal yang bahkan kau sendiri tahu jawabannya, Bang!"

"Kurang apa aku yang membebaskanmu asik dengan duniamu? Kurang gimana aku yang tidak pernah mempermasalahkanmu nongkrong dengan teman-temanmu hingga subuh?" desakmu yang mulai menggunakan intonasi tinggi lagi.

"Kurang bisa menghargai kehadiranku," jawabku singkat.

"Masih kurang menghargai apalagi aku ini? Hah?" tanyamu lagi.

"Singkat saja, kalau kau memang menghargai kehadiranku, kau akan berhenti mencari kenyamanan baru dari orang lain di aplikasi kencan yang kau pasang itu. Lalu, kalau kau memang menganggapku ada, kau pasti akan menyempatkan diri untuk hadir di acara-acara pentingku. Tapi, apa itu kau lakukan? Apa kau datang di malam penganugerahan saat aku dinyatakan menang dalam kompetisi riset dua bulan lalu? Apa kau mengupayakan waktu saat aku butuh orang untuk mendengarkan keluhanku di saat capek dengan penelitianku? Apa kau lakukan itu, Bang? Hah? Coba jawab!" sekarang, intonasiku lebih tinggi darimu yang mendadak klagepan.

"Kau di mana saat aku tertatih menyelesaikan risetku?" tambahku yang semakin membungkammu.

Kini, kita sama-sama terdiam lagi.

"Aku egois," katamu lirih.

"Aku terlalu asik dengan duniaku di saat kau butuh aku," tambahmu.

"Sebenarnya tidak masalah jika kau asik dengan hidupmu karena aku pun tidak ingin menjadi pihak yang mengekangmu. Tapi setidaknya kau pun paham bahwa ada saat-saat di mana kita harus bisa menjadi penguat dan penopang untuk satu sama lain," jelasku.

Kau menunduk, seolah mencerna kalimatku.

"Lagian, kita ini apa? Dibilang masih pacaran juga tidak, kan? Terus, dikata putus juga tidak jelas. Kita ini semu. Apalagi setelah kita bertengkar dulu, kau dan aku seolah sepakat untuk berpisah tanpa berucap putus," tambahku.

Kau terperanjat kaget saat mendengar ucapanku. Memalingkan mukamu ke arah gunung yang menjadi main view di kafe ini. Menghela napas cukup panjang dan kembali menatapku dengan senyum tanggung.

"Iya, kita semu. Aku tak berhak marah, kau tak ada kewajiban menjelaskan. Kita bukan apa-apa, aku yang konyol di sini. Kita bukan lagi kita, maaf. Aku terlampau berani mengajakmu bertemu kembali malam ini. Haha.." kelakarmu sinis.

***

Aku bingung harus merespons apa karena yang aku pahami saat ini adalah aku dan dia merupakan semu yang terpelihara ketidakjelasan. Kami adalah perwujudan dari ke-absurd-an hidup yang masih akan terus menyusun kepingan puzzle yang dipenuhi teka-teki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun