"Kurang bisa menghargai kehadiranku," jawabku singkat.
"Masih kurang menghargai apalagi aku ini? Hah?" tanyamu lagi.
"Singkat saja, kalau kau memang menghargai kehadiranku, kau akan berhenti mencari kenyamanan baru dari orang lain di aplikasi kencan yang kau pasang itu. Lalu, kalau kau memang menganggapku ada, kau pasti akan menyempatkan diri untuk hadir di acara-acara pentingku. Tapi, apa itu kau lakukan? Apa kau datang di malam penganugerahan saat aku dinyatakan menang dalam kompetisi riset dua bulan lalu? Apa kau mengupayakan waktu saat aku butuh orang untuk mendengarkan keluhanku di saat capek dengan penelitianku? Apa kau lakukan itu, Bang? Hah? Coba jawab!" sekarang, intonasiku lebih tinggi darimu yang mendadak klagepan.
"Kau di mana saat aku tertatih menyelesaikan risetku?" tambahku yang semakin membungkammu.
Kini, kita sama-sama terdiam lagi.
"Aku egois," katamu lirih.
"Aku terlalu asik dengan duniaku di saat kau butuh aku," tambahmu.
"Sebenarnya tidak masalah jika kau asik dengan hidupmu karena aku pun tidak ingin menjadi pihak yang mengekangmu. Tapi setidaknya kau pun paham bahwa ada saat-saat di mana kita harus bisa menjadi penguat dan penopang untuk satu sama lain," jelasku.
Kau menunduk, seolah mencerna kalimatku.
"Lagian, kita ini apa? Dibilang masih pacaran juga tidak, kan? Terus, dikata putus juga tidak jelas. Kita ini semu. Apalagi setelah kita bertengkar dulu, kau dan aku seolah sepakat untuk berpisah tanpa berucap putus," tambahku.
Kau terperanjat kaget saat mendengar ucapanku. Memalingkan mukamu ke arah gunung yang menjadi main view di kafe ini. Menghela napas cukup panjang dan kembali menatapku dengan senyum tanggung.