Dulu, jauh sebelum kita terjebak dalam perselisihan pola pandang, kau selalu berani meyakinkanku untuk bertahan dengan tutur yang lembut. Namun, setelah kita menghadapi masalah demi masalah yang tak terprediksi, kau mulai menampakkan tabiatmu yang asli. Tabiat yang dapat aku jadikan alasan untuk memohon perpisahan dengan sah. Tapi, apa aku melakukan itu? Tidak. Bukan berarti aku bodoh, hanya saja aku masih meyakini bahwa titik pisah kita masih jauh. Banyak kepingan puzzle yang harus sama-sama kita susun untuk akhirnya tahu, akhir dari perjalanan ini akan berwujud seperti apa.
***
Minuman rasa cotton candy dengan less ice yang kau pesan tinggal setengah. Pun kopi susu signature khas kafe ini yang aku pesan kini juga hampir habis aku minum. Kentang goreng masih utuh dan mendingin, seperti kita yang terjebak dalam bungkam.
Bisa dibilang pertemuan malam ini cukup aneh. Pertemuan yang disengajakan, tepat setelah empat bulan kita kompak untuk saling menghindar. Tanpa kabar, tanpa tegur dan tak saling sapa. Bak dua orang asing yang tak saling kenal, tapi masih sama-sama peduli dengan cara yang absurd.
*
"Kau atau aku yang harus memulai dulu?" celetukmu yang lirih tersamarkan alunan musik kafe yang sendu.
"Kau saja, kan kau yang mengajakku ketemu," responsku.
Kau tak berkata lagi, matamu tajam menatap ke arahku dan firasatku, kita akan berdebat lagi.
Suara helaan napas yang cukup dalam terdengar jelas di telingaku. Kau mengambil seputung rokok dari wadahnya yang tergeletak di atas meja. Aku menyeruput minumanku lagi sambil menunggu obrolan kita.
"Aku tidak akan memaksa, tapi aku percaya kau adalah perempuan yang jujur," sebuah kalimat terucap sebagai pembuka.
"Maksudnya?" responsku tak mengerti.