Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masihkah Sastra Mampu Menjadi Media Kritik?

27 Juni 2020   04:22 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:57 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: gambar: nusantaranews.co

Sastra yang notabennya sejajar dengan karya seni, harusnya memiliki kedaulatan yang bebas dalam setiap diksi dan konteks isi yang membangunnya. Namun, narasi-narasi bertendensi yang dikandungnya, terkadang menjadi titik serang bagi pihak yang terguncang akibat keberadaanya. 

Kondisi tersebut sama persis dengan apa yang dialami oleh Bintang, meski medium kritiknya berbeda. Medium kritik yang digunakan Bintang adalah anekdot, sebuah sindiran jenaka yang tendensinya mengkritisi sebuah kondisi. 

Definisi tersebut sejalan dengan pendapat Wijana (1995: 24) yang menyatakan bahwa, teks anekdot adalah teks atau wacana yang bermuatan humor untuk menyindir, bersunda gurau atau mengkritik secara tidak langsung segala macam kepincangan atau ketidakberesan yang tengah terjadi di kalangan masyarakat penciptanya.

Bertumpu pada paparan di atas, saya jadi bertanya-tanya, apakah saat ini sastra masih bisa diunggulkan eksistensinya sebagai media untuk mengkritisi pemerintah? 

Masihkah permainan tata bahasa dalam seni peran, karya sastra dan hal-hal yang notabennya berdaulat atas kontennya itu masih bisa digunakan untuk menyuarakan keadilan? 

Entah! Saya sendiri kian skeptis untuk mengiyakan, sebab, berkaca dari kasus Bintang, saya jadi berpikir bahwa tulisan lugas dalam karya sastra juga mampu menjadi boomerang bagi penciptanya. Mengolah isu dengan menggoreng argumen untuk menggiring opini ibarat tradisi yang kiat menguat di negeri ini. 

Segala cara dilakukan oleh oknum yang tersentil sebagai upaya defensif agar posisinya terselamatkan. Termasuk cara picik yang menjadikan masyarakat yang berpikiran kritis kian terjepit ketika ingin menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi. Termasuk masyarakat yang menggunakan jalur sastra maupun rute lawakan seperti Wiji dan Bintang.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda berpikiran sama dengan saya? Apakah Anda juga mempertanyakan eksistensi sastra ke depannya? Jika sekarang saja, pembungkaman terjadi di hampir seluruh aspek yang ada. Bahkan aspek lawakan yang juga dibawakan oleh pelawak. Seseorang yang identik dengan tingkahnya yang menghibur. 

Hmmm. Entah! Saya tidak bisa berkata dengan optimis, namun harapan atas kedaulatan yang bebas dalam bersuara melalui sastra dan mengkritik dengan karya, menurut saya masih ada. Meski dibayangi dengan kepicikan oknum penguasa dengan segala daya dan lembaga negara.

________

Artikel ini ditulis untuk memenuhi Ujian Akhir Semester dan kemudian diunggah oleh dosen pengampu pada laman berikut pada tanggal 23 Juni 2020 yang dapat diakses langsung melalui pranala berikut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun