Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masihkah Sastra Mampu Menjadi Media Kritik?

27 Juni 2020   04:22 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:57 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com/marinahramzova2001

Berbicara soal peristiwa politik di negeri ini memang tidak akan pernah ada habisnya. Bahkan menurut saya pribadi, semakin ke sini, propaganda dan isu yang dipantik oleh oknum penguasa cenderung kian kreatif, unik dan tentu saja menggelitik. 

Upaya defensif dari oknum yang ingin terlihat "butuh kritik rakyat" pun, justru semakin menegaskan bahwa mereka anti terhadap kritik. Buta, semakin jelas terlihat bahwa mereka membutakan diri dan menulikan telinga dari cuitan warganya sendiri. 

Padahal, cuitan yang disuarakan pun bertujuan untuk kesejahteraan bersama sebagai perwujudan butir nomor lima dalam Pancasila yang berbunyi, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kata "seluruh" menurut KBBI dapat diartikan sebagai bentuk kesatuan yang utuh. 

Jadi, dapat dimaknai secara luas bahwa kata "seluruh" yang berada dalam butir nomor lima Pancasila merujuk pada semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali. 

Tidak terbedakan oleh agama, tidak terpetakkan oleh suku dan ras, serta tidak terdeskriminasi oleh status sosial. Namun pertanyaanya, apakah kata "seluruh" tersebut benar-benar berlaku dalam realita?

Retoris! Tanpa harus dijawab dengan kalimat panjang yang penuh dengan alibi dan data bodong pun, mayoritas warga di negara ini sudah mengerti bahwa kata "seluruh" adalah ilusi. 

Seolah-olah berlaku dan ada. Namun kenyataanya? Tidak! Tidak sepenuhnya berlaku karena faktanya, selalu muncul drama dengan skenario epik ketika seseorang lantang menyuarakan kritik terhadap penguasa. 

Sebagai contoh, satu kejadian konyol yang masih panas-panasnya diperbincangkan adalah tuduhan yang dilayangkan kepada stand up comedy-an (pelawak) yang memiliki nama panggung Bintang Emon pasca sentilannya terkait putusan dalam kasus Novel Baswedan. 

Bintang yang namanya mulai dikenal publik setelah memenangkan kompetisi lawak tunggal di salah satu stasiun TV nasional kini memang menjadi buah bibir karena sentilan menohoknya. 

Melalui unggahan vidio di IGTV tertanggal 12 Juni 2020, Bintang dengan gaya khasnya pun menyinggung soal hasil putusan pengadilan kepada pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang bisa dibilang sangat tidak masuk akal. 

Vidio yang berdurasi 1 menit 42 detik (dapat diakses melalui pranala https://instagram.com/p/CBVLwMhl6Gg/) ternyata mendapatkan respons yang beragam dari warganet. 

Meskipun respons yang diterima Bintang didominasi oleh apresiasi positif, ternyata ada juga respons di luar prediksi yang berwujud serangan buzzer melalui tagar (tanda pagar) yang bertendensi untuk menggiring opini. Tagar yang sempat menduduki peringkat pertama trending topic di Twitter tersebut diramaikan oleh para buzzer melalui cuitan-cuitannya.

Tidak hanya satu, tapi ribuan cuitan senada mewarnai jagad Twitter dan lucunya, cuitan sumbang tersebut diunggah oleh akun-akun bodong. Akun yang validasi kepemilikannya diragukan dan cenderung palsu yang sengaja dibuat untuk menyerang pihak-pihak tertentu. 

Pada konteks ini jelas bahwa pihak yang ingin dijatuhkan adalah Bintang, pelawak yang mengkritisi hasil putusan terhadap salah satu kasus besar di negara ini. 

Negara yang (konon) menerapkan sistem demokrasi, namun untuk jaminan terhadap kebebasan berekspresi saja perlu dipertanyakan realisasinya. Sebagai mahasiswa di bidang sastra dan budaya, saya merasa miris dan tentu saja, kasus Bintang ini seolah membuka luka lama. 

Luka yang diakibatkan oleh misteri hilangnya Wiji Thukul, aktivis yang memberontak penguasa melalui sastra. Bagaimana tidak? Bintang mengkritisi negara dengan lawakannya, Wiji Thukul memberontak dengan puisinya. 

Dua orang yang nasibnya tidak dapat diperbandingkan, meski mendapat perlakuan yang mirip dari negara. Perlakuan yang mengarah pada pembungkaman tersebut benar-benar mempertontonkan sebuah keegoisan satu pihak yang menurut saya pribadi merujuk pada oknum yang terusik dan dalam kasus ini adalah penguasa (red: pemerintah).

Agar pembahasan ini tidak meluas terlalu lebar, saya akan persempit pembahasan pada sepenggal rekam jejak sastra yang digunakan sebagai media pemberontakan di negara ini. 

Kemudian, berpijak dari paparan rekam jejak tersebut, saya akan berargumen soal relevansinya di era yang semakin meningkatkan skeptisme terhadap pemerintah Indonesia. 

Namun sebelum itu, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa karya sastra dapat diartikan dokumen sosio-budaya yang dapat digunakan untuk melihat suatu fenomena yang terjadi pada suatu masyarakat dan pada masa tertentu. 

Oleh karena itu, karya sastra juga dapat disebut sebagi cerminan zaman. Selain itu, dengan melakukan pembacaan secara cermat terhadap karya satra akan diketahui apa yang terjadi pada masyarakat tersebut (Lauerenson, D. & Alan S., 1972:13). 

Berdasar pada pendapat tersebut, maka bukan hal yang berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa melalui karya sastra, kita dapat memahami fenomena yang ada di peradaban lampau. Termasuk di dalamnya adalah fenomena-fenomena pergerakan dan pemberontakan terhadap situasi politik yang menyudutkan rakyat.

Salah satu tokoh yang berjuang melalui sastra dalam mempertontonkan kekritisannya terhadap pemerintah dan menyuarakan keadilan adalah Wiji Thukul. Namanya abadi sebagai penyair yang gencar menyuarakan jeritan rakyat di era Orde Baru dan nahasnya, hingga saat ini sosoknya masih hilang secara misterius. 

Tidak ada yang tahu, apakah Wiji masih hidup atau sudah wafat. Namun yang pasti, Wiji lenyap bak ditelan bumi tak berjejak. Satu-satunya jejak yang ditinggalkannya adalah karya-karya sastra berupa puisi yang semangat perjuangannya seolah tumbuh dan semakin berkembang hingga saat ini. 

Kumpulan puisi dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru (2000) dan Para Jenderal Marah-Marah (2013) merupakan footprints Wiji yang merefleksikan betapa pedihnya kehidupan rakyat kecil di era kepemimpinan Soeharto kala itu. 

Hilangnya Wiji yang misterius sebenarnya menjadi bukti bahwa pada dasarnya, sastra juga bisa dijadikan media untuk mengkritisi negara dengan lebih jujur. 

Mengapa "lebih jujur"? Sebab, media kritik yang dinaungi bidang jurnalistik sudah dikuasai framing yang minim keberpihakan terhadap rakyat. Tentu saja, minimnya keberpihakan tersebut berbanding lurus dengan pertaruhan eksistensi media. 

Oleh sebab itu, berita-berita yang sekalipun dilabeli "valid" dan "netral" pun tidak dapat dijamin seratus persen objektif. Terlebih di era digital seperti ini, validitas berita benar-benar dirancukan oleh hoax dan kabar pesanan yang justru kian memperkeruh situasi.

Kembali ke masalah Wiji, senjata berwujud puisi yang dimiliki Wiji memang memiliki daya serang yang luar biasa. Pernyataan saya tersebut selaras dengan pendapat Robertus Robet (dalam Putra, 2020:19) yang mengatakan bahwa, Wiji Thukul boleh dibilang sebagai artikulasi paling optimum dari suatu imaji ekstrem mengenai gerakan kelas (TEMPO, 2013:86). 

Robertus yang merupakan dosen di UNJ pun beranggapan bahwa masyarakat menganggap puisi Wiji pro pada nasib rakyat. Namun, anggapan tersebut berbeda dalam pandangan penguasa Orde Baru. Pemerintahan di masa itu menganggap puisi-puisi Wiji adalah bentuk dari konfrontasi terhadap kebijakan pemerintah. 

Terlebih lagi, Wiji merupakan kordinator jaringan kerja kebudayaan rakyat (jaker) yang menjadi organ PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan selalu aktif dalam setiap gerakan unjuk rasa. 

Oleh sebab itu, sosok Wiji dianggap sebagai orang yang membahayakan pemerintah dan karena itu juga, buku-bukunya dirampas dan terdapat larangan terhadap persebaran karya-karyanya. Miris, kan?

Sastra yang notabennya sejajar dengan karya seni, harusnya memiliki kedaulatan yang bebas dalam setiap diksi dan konteks isi yang membangunnya. Namun, narasi-narasi bertendensi yang dikandungnya, terkadang menjadi titik serang bagi pihak yang terguncang akibat keberadaanya. 

Kondisi tersebut sama persis dengan apa yang dialami oleh Bintang, meski medium kritiknya berbeda. Medium kritik yang digunakan Bintang adalah anekdot, sebuah sindiran jenaka yang tendensinya mengkritisi sebuah kondisi. 

Definisi tersebut sejalan dengan pendapat Wijana (1995: 24) yang menyatakan bahwa, teks anekdot adalah teks atau wacana yang bermuatan humor untuk menyindir, bersunda gurau atau mengkritik secara tidak langsung segala macam kepincangan atau ketidakberesan yang tengah terjadi di kalangan masyarakat penciptanya.

Bertumpu pada paparan di atas, saya jadi bertanya-tanya, apakah saat ini sastra masih bisa diunggulkan eksistensinya sebagai media untuk mengkritisi pemerintah? 

Masihkah permainan tata bahasa dalam seni peran, karya sastra dan hal-hal yang notabennya berdaulat atas kontennya itu masih bisa digunakan untuk menyuarakan keadilan? 

Entah! Saya sendiri kian skeptis untuk mengiyakan, sebab, berkaca dari kasus Bintang, saya jadi berpikir bahwa tulisan lugas dalam karya sastra juga mampu menjadi boomerang bagi penciptanya. Mengolah isu dengan menggoreng argumen untuk menggiring opini ibarat tradisi yang kiat menguat di negeri ini. 

Segala cara dilakukan oleh oknum yang tersentil sebagai upaya defensif agar posisinya terselamatkan. Termasuk cara picik yang menjadikan masyarakat yang berpikiran kritis kian terjepit ketika ingin menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi. Termasuk masyarakat yang menggunakan jalur sastra maupun rute lawakan seperti Wiji dan Bintang.

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda berpikiran sama dengan saya? Apakah Anda juga mempertanyakan eksistensi sastra ke depannya? Jika sekarang saja, pembungkaman terjadi di hampir seluruh aspek yang ada. Bahkan aspek lawakan yang juga dibawakan oleh pelawak. Seseorang yang identik dengan tingkahnya yang menghibur. 

Hmmm. Entah! Saya tidak bisa berkata dengan optimis, namun harapan atas kedaulatan yang bebas dalam bersuara melalui sastra dan mengkritik dengan karya, menurut saya masih ada. Meski dibayangi dengan kepicikan oknum penguasa dengan segala daya dan lembaga negara.

________

Artikel ini ditulis untuk memenuhi Ujian Akhir Semester dan kemudian diunggah oleh dosen pengampu pada laman berikut pada tanggal 23 Juni 2020 yang dapat diakses langsung melalui pranala berikut.

Hari ini, saya mengunggahnya di laman ini dan semoga, saya tidak hilang dari peradaban. Hahahaha, kalimat kedua hanya lelucon, cah! Jangan dibawa serius! Sebab, banyak pasangan yang ngakunya serius tapi ujung-ujungnya juga putus. Wuopppsss, canda! Selamat membaca, ya!
----

Sumber Referensi:

Swingewood, A. & D. L. (1972). The Sociology of Literature. London: Paladin

Putra, Candra Rahma Wijaya. 2020. Cerminan Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul) Karya Wiji Thukul: Kajian Sosiologi Sastra. (diakses pada 13 Juni 2020)

 Wijana, I Dewa Putu. 1994. Wacana Kartun Dalam Bahasa Indonesia. Desertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

TEMPO. (2013). Edisi Khusus: Tragedi Mei 1998-2013. Teka-teki Wiji Thukul. PT. Tempo Inti Media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun