Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masihkah Sastra Mampu Menjadi Media Kritik?

27 Juni 2020   04:22 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:57 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasar pada pendapat tersebut, maka bukan hal yang berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa melalui karya sastra, kita dapat memahami fenomena yang ada di peradaban lampau. Termasuk di dalamnya adalah fenomena-fenomena pergerakan dan pemberontakan terhadap situasi politik yang menyudutkan rakyat.

Salah satu tokoh yang berjuang melalui sastra dalam mempertontonkan kekritisannya terhadap pemerintah dan menyuarakan keadilan adalah Wiji Thukul. Namanya abadi sebagai penyair yang gencar menyuarakan jeritan rakyat di era Orde Baru dan nahasnya, hingga saat ini sosoknya masih hilang secara misterius. 

Tidak ada yang tahu, apakah Wiji masih hidup atau sudah wafat. Namun yang pasti, Wiji lenyap bak ditelan bumi tak berjejak. Satu-satunya jejak yang ditinggalkannya adalah karya-karya sastra berupa puisi yang semangat perjuangannya seolah tumbuh dan semakin berkembang hingga saat ini. 

Kumpulan puisi dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru (2000) dan Para Jenderal Marah-Marah (2013) merupakan footprints Wiji yang merefleksikan betapa pedihnya kehidupan rakyat kecil di era kepemimpinan Soeharto kala itu. 

Hilangnya Wiji yang misterius sebenarnya menjadi bukti bahwa pada dasarnya, sastra juga bisa dijadikan media untuk mengkritisi negara dengan lebih jujur. 

Mengapa "lebih jujur"? Sebab, media kritik yang dinaungi bidang jurnalistik sudah dikuasai framing yang minim keberpihakan terhadap rakyat. Tentu saja, minimnya keberpihakan tersebut berbanding lurus dengan pertaruhan eksistensi media. 

Oleh sebab itu, berita-berita yang sekalipun dilabeli "valid" dan "netral" pun tidak dapat dijamin seratus persen objektif. Terlebih di era digital seperti ini, validitas berita benar-benar dirancukan oleh hoax dan kabar pesanan yang justru kian memperkeruh situasi.

Kembali ke masalah Wiji, senjata berwujud puisi yang dimiliki Wiji memang memiliki daya serang yang luar biasa. Pernyataan saya tersebut selaras dengan pendapat Robertus Robet (dalam Putra, 2020:19) yang mengatakan bahwa, Wiji Thukul boleh dibilang sebagai artikulasi paling optimum dari suatu imaji ekstrem mengenai gerakan kelas (TEMPO, 2013:86). 

Robertus yang merupakan dosen di UNJ pun beranggapan bahwa masyarakat menganggap puisi Wiji pro pada nasib rakyat. Namun, anggapan tersebut berbeda dalam pandangan penguasa Orde Baru. Pemerintahan di masa itu menganggap puisi-puisi Wiji adalah bentuk dari konfrontasi terhadap kebijakan pemerintah. 

Terlebih lagi, Wiji merupakan kordinator jaringan kerja kebudayaan rakyat (jaker) yang menjadi organ PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan selalu aktif dalam setiap gerakan unjuk rasa. 

Oleh sebab itu, sosok Wiji dianggap sebagai orang yang membahayakan pemerintah dan karena itu juga, buku-bukunya dirampas dan terdapat larangan terhadap persebaran karya-karyanya. Miris, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun