Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masihkah Sastra Mampu Menjadi Media Kritik?

27 Juni 2020   04:22 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:57 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun respons yang diterima Bintang didominasi oleh apresiasi positif, ternyata ada juga respons di luar prediksi yang berwujud serangan buzzer melalui tagar (tanda pagar) yang bertendensi untuk menggiring opini. Tagar yang sempat menduduki peringkat pertama trending topic di Twitter tersebut diramaikan oleh para buzzer melalui cuitan-cuitannya.

Tidak hanya satu, tapi ribuan cuitan senada mewarnai jagad Twitter dan lucunya, cuitan sumbang tersebut diunggah oleh akun-akun bodong. Akun yang validasi kepemilikannya diragukan dan cenderung palsu yang sengaja dibuat untuk menyerang pihak-pihak tertentu. 

Pada konteks ini jelas bahwa pihak yang ingin dijatuhkan adalah Bintang, pelawak yang mengkritisi hasil putusan terhadap salah satu kasus besar di negara ini. 

Negara yang (konon) menerapkan sistem demokrasi, namun untuk jaminan terhadap kebebasan berekspresi saja perlu dipertanyakan realisasinya. Sebagai mahasiswa di bidang sastra dan budaya, saya merasa miris dan tentu saja, kasus Bintang ini seolah membuka luka lama. 

Luka yang diakibatkan oleh misteri hilangnya Wiji Thukul, aktivis yang memberontak penguasa melalui sastra. Bagaimana tidak? Bintang mengkritisi negara dengan lawakannya, Wiji Thukul memberontak dengan puisinya. 

Dua orang yang nasibnya tidak dapat diperbandingkan, meski mendapat perlakuan yang mirip dari negara. Perlakuan yang mengarah pada pembungkaman tersebut benar-benar mempertontonkan sebuah keegoisan satu pihak yang menurut saya pribadi merujuk pada oknum yang terusik dan dalam kasus ini adalah penguasa (red: pemerintah).

Agar pembahasan ini tidak meluas terlalu lebar, saya akan persempit pembahasan pada sepenggal rekam jejak sastra yang digunakan sebagai media pemberontakan di negara ini. 

Kemudian, berpijak dari paparan rekam jejak tersebut, saya akan berargumen soal relevansinya di era yang semakin meningkatkan skeptisme terhadap pemerintah Indonesia. 

Namun sebelum itu, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa karya sastra dapat diartikan dokumen sosio-budaya yang dapat digunakan untuk melihat suatu fenomena yang terjadi pada suatu masyarakat dan pada masa tertentu. 

Oleh karena itu, karya sastra juga dapat disebut sebagi cerminan zaman. Selain itu, dengan melakukan pembacaan secara cermat terhadap karya satra akan diketahui apa yang terjadi pada masyarakat tersebut (Lauerenson, D. & Alan S., 1972:13). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun