Aku mengambil jaket di balik pintu dan kemudian beranjak keluar. Malam ini aku akan bertemu dengan seorang informan untuk penelitianku.
Sendiri. Iya, aku akan berangkat sendiri karena lelakiku sedang sibuk dengan kegiatannya. Kalau tidak keliru, malam ini dia sedang berada di venue untuk mempersiapkan kompetisi gim antar kota yang diselenggarakan komunitasnya.
Kami memang terbiasa untuk menikmati rutinitas masing-masing. Kadang, beberapa temanku bertanya, "kenapa pacarmu jarang menemani nugas?" dan aku hanya bisa tersenyum heran tiap kali mendengar pertanyaan-pertanyaan semakna.
Bagiku, "berpacaran" hanyalah sebuah status yang tidak mengikat kedua belah pihak untuk harus saling menemani ke mana pun dan kapan pun. Tidak! Tidak seperti itu konsepnya. Aku dan dia punya rutinitas masing-masing. Kesibukan kami berbeda dan kami tidak ingin menghambat satu dengan yang lain.Â
Status yang kami labelkan dalam hubungan ini ibarat pengingat bahwa kami sama-sama punya bahu tambahan ketika lelah dan jauh dari keluarga. Aku punya dia yang siap menopang di saat sedih dan dia memilikiku, seseorang yang akan pasang badan untuk menatihnya ketika terseok. Itu konsep yang kami gunakan. Sepintas naif, namun menyenangkan saat diterapkan. Kami sama-sama menikmati kebebasan yang terikat.
Dia selalu mengajariku untuk pribadi yang mandiri dan membebaskanku bergaul dengan siapapun. Begitu juga aku yang tidak akan pernah membatasinya untuk berproses dengan siapa saja. Tanggung jawab dan kepercayaan bukan untuk dipaksakan dengan pembatasan, keduanya bisa menguat jika ditanam dan dipupuk dengan kedewasaan. Begitulah kira-kira prinsip kami dalam menjalani hubungan ini.
"Sayang, aku berangkat ya!" pamitku lewat aplikasi pesan singkat.
"Hati-hati, ya!" jawabnya pun singkat.
Haha, kami memang jauh dari keromantisan karena kami sama-sama sering menertawakan ke-uwu-an pasangan di aplikasi joget yang tengah viral. Bagi kami, romantisme adalah bagian dari keintiman yang bersifat privat. Tidak perlu diumbar, cukup dinikmati saja.
**
Lima belas menit, waktu yang aku butuhkan untuk sampai di tempat janjian. Ternyata, Tomi sudah berada di sana.
"Aduh, Bang. Maaf ya telat, gimana kabar?" sapaku yang langsung duduk di hadapannya sembari meletakkan tas.
"Santailah, Dik. Baik Abang, kau sendiri gimana kabarnya?" jawab Tomi sambil mengulurkan tangannya untuk dijabat.
"Baik pun, Bang. Udah pesan, Abang?" tanyaku.
"Udah, Dik. Kau mau pesan? Kalau iya, Â Abang panggilkan pelayannya," respons Tomi.
Ramah? Iya, dari awal aku kenal dia, tak pernah terbesit prasangka buruk dalam sosoknya. Sebab, aku selalu dipesani keluargaku untuk terus mengedepankan prasangka baik terhadap siapapun karena jika ada keburukan yang menyertai pribadi seseorang, pasti akan nampak dengan sendirinya.
Dua jam kami berdiskusi, banyak informasi yang berhasil aku himpun darinya. Syukur, akhirnya dataku bertambah. Semoga penelitianku segera selesai dengan apresiasi yang memuaskan dari dosen penguji. Aku pun berkemas dan bersiap untuk pulang, tapi tiba-tiba Tomi menahan.Â
"Kau ke sini naik apa tadi, Dik?" tanyanya sembari menarik tangan kananku.
"Naik taxi online, Bang. Lagi malas bawa motor karena tadi pun gerimis, gimana?" jawabku sambil menarik tanganku pelan dari cengkeramannya.
"Abang antar aja lah, ya! Kan searah kita, Dik!" katanya.
Entah kenapa, aku lantas mengiyakan. Padahal biasanya, aku menolak tawaran-tawaran serupa karena lelakiku selalu berpesan agar aku waspada. Bajingan tidak selalu hadir dalam sosok sangar, pribadi yang tampak alim pun bisa menjadi orang yang lebih brengsek dari kaum-kaum yang memang bangga mempertontonkan kebejatannya.
Kami berjalan menuju parkiran dan aku masuk ke dalam mobilnya. Dinyalakannya mesin mobil dan kami pun mulai melaju.
Baru sekitar 500 meter, perasaanku mulai tidak enak. Dua kali sudah tangan kirinya mencoba untuk meraba pahaku yang terlapisi kain berbahan jins.
Sialnya, ponsel lelakiku kehabisan batre. Setengah jam sebelum aku selesai wawancara, dia sudah mengabari kalau sebentar lagi ponselnya mati dan dia lupa membawa powerbank. Sumpah, aku mulai gemetar.
Titik tuju ke arah kosku yang harusnya bisa ditempuh dengan rute cepat, justru diputarnya dan dibuat jauh.
"Kenapa harus lewat jalan Sawunggaling, Bang? Jadi jauhnya ini, kan!" kataku ketus.
"Ya sesekali lah, Dik. Kita nikmati waktu berdua lebih lama, lagian kapan lagi kan bisa berduaan samamu kek gini?" jawabnya dengan intonasi dan lirikan yang menjinjikkan.
Aku benar-benar panik, tapi aku tidak boleh terlihat takut. Kebetulan, aku sedang bertukar pesan dengan karibku yang tengah berada di Medan. Dia bermarga Simanjuntak dan dia pun sudah seperti abangku sendiri. Aku menceritakan kondisiku padanya lewat pesan dan dia mulai mendiktekan skenario licik yang harus aku ikuti jika terjadi hal yang membahayakan.
"Nanti, kalau dia mulai aneh-aneh. Bilang saja kalau kau sebenarnya pun boru Batak. Bilang kau adikku dan lansung saja telpon aku, ya!" inti pesan Bang Juntak.
Belum juga aku selesai membalas pesan tersebut, Tomi menghentikan mobilnya tepat di waduk kampus yang sepi dan minim pencahayaan.
"Kenapanya berhenti?" tanyaku dengan nada yang semakin naik.
"Dik, kalau Abang lihat-lihat, kau ini cantik sebenarnya. Mukamu sensual, bibirmu pun seksi. Nggak kuat Abang lihatnya, Dik!" kata Tomi  yang mulai mendekatkan mukanya ke arah mukaku.
Refleks, aku pun menamparnya. Tak ada perlawanan, dia justru tertawa.
"Makin galaknya kau, makin bisa kau bikin Abang bergairah, Dik. Hahahaha!" ungkapnya yang semakin nyata menampakkan muka binal.
"Anjing!" bentakku yang berusaha keluar dari mobil, tapi tak bisa karena dikunci olehnya.
"Sadar kau ini, Bang! Katamu, sebagai lelaki Batak, kau akan menghormati dan menghargai perempuan karena dari lahir, kita sudah diajari untuk menjunjung tinggi konsep penghormatan itu!" kataku.
"Kita?" responsnya bingung. Dahinya mengerinyit, alis kanannya naik.
"Iya, kita. Kau pikir, aku orang mana? Kau sangka, kita ini nggak sesuku?" kataku sok tegas di tengah ketakutan.
"Sebentar, apa ini maksudnya?" Tomi mulai kebingungan dalam mencerna kalimatku. Perlahan, dia menarik tubuhnya yang hampir menimpahku.
"Aku ini sama sepertimu, Bang. Kita sama-sama orang Batak, aku boru Simanjuntak, Bang! Kau sendiri kan yang bilang tadi bahwa dalam budaya Batak, ada konsep Boru ni Raja yang merujuk pada penghormatan dan penghargaan pada perempuan. Terlebih jika perempuan itu boru Batak yang bisa dibilang masih satu keluarga samamu, dengan kita!" tuturku bohong.
Iya, aku berbohong karena aku tidak teraliri darah Batak dan rahangku pun tak petak. Tapi, aku memang bisa mengecoh orang dengan logat bicaraku dan mengimbangi bahasan orang Batak karena lelakiku berasal dari suku tersebut.Â
Bahkan, terlepas dari pengaruh lelakiku, ketertarikan pada budaya Batak juga telah menjadikanku pribadi yang sedikit-banyak paham akan hal-hal yang berkaitan dengan pranata sosial yang dijaga oleh masyarakat suku tersebut.Â
Terlebih lagi, alasan aku menjadikan Tomi sebagai informan adalah karena aku sedang penelitian tentang budaya Batak dan dia sempat menyinggung perihal konsep penghormatan terhadap perempuan dan menjelaskan istilah Boru ni Raja. Tadi, saat aku mewawancarainya. Jadi, belum kelewat lama karena baru saja beberapa menit berlalu.
"Bercandanya kau? Hahaha, nggak ada percaya aku samamu, Dik!" kelakarnya menertawakanku.
"Mana ada aku bercanda? Seriusnya aku bilang, Bang! Kalau kau nggak percaya, sekarang pun aku telpon Abangku!" langsung aku memanggil Bang Juntak yang seketika mengangkat.
"Halo, Dik? Ada apa?" jawabnya tegas.
"Tol....." belum selesai aku bicara, ponselku dirampas Tomi dan dilihatnya nama kontak yang aku panggil. Beruntung, aku sempat mengganti nama kontak Bang Juntak dengan kata "Abangku Na Burju", sesuai diktenya. Aku lihat, Tomi lekas mematikan ponselku dan aku pun merebut ponselku kembali yang telah mati.
"Bujass! Kenapa kau nggak bilang kalau kau ini boru Batak?" bentaknya balik.
"Apa pentingnya aku bilang? Lagian, mau boru Batak atau pun tidak, Abang nggak pantas perlakukan perempuan seperti ini. Cok lah bayangkan, Bang! Seandainya nanti calon istrimu ternyata pernah menjadi korban pelecehan seperti apa yang Abang lakukan sekarang!" kataku yang makin takut, tapi harus tetap berlagak garang.
Tomi menatapku tajam dan menghela napas yang cukup dalam.
"Kalau Abang susah bayangkan, sekarang posisikan jika aku ini adik kandung Abang. Pudan di keluargamu perempuan kan, Bang? Aku tahu karena kau pernah cerita samaku. Terus, suatu ketika, adik yang kau sayang itu diperlakukan nggak sopannya sama lelaki macam apa yang hendak Abang lakukan ini. Kek mana perasaanmu, Bang? Hah?" tambahku.
Tomi semakin menarik diri dan terduduk tegak menghadap depan. Dinyalakannya kembali mesin dan perlahan, mobil pun melaju. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, entah apa yang kini ada dalam pikirannya. Aku yang masih takut pun kini mengatur ritme napas untuk menenangkan diri. Aku pun membisu, aku lebih fokus pada ponselku yang baru saja nyala dan aku lihat, sudah ada 48 pesan dari Bang Juntak.
"Dik, sorry ya!" tiba-tiba Tomi bicara.
Aku tidak merespons dan tetap fokus pada ponselku untuk menjawab pesan Bang Juntak.
"Sorry banget kalau kelakuanku udah berlebihan, andai aku tahu kalau kau itu boru......" belum selesai dia bicara, sontak aku memotongnya.
"Apa? Kalau kau tahu aku boru Batak, kau nggak akan kek tadi? Terus berarti, kau berpikiran kalau kau ini bisa seenaknya dengan perempuan di luar sukumu? Iya? Begitunya nalarmu?" kataku.
Dia tertegun.
"Cacat akalmu, Bang! Nggak habis pikir aku! Gini ya, mau dari suku yang sama atau pun tidak denganmu, semua perempuan itu punya hak untuk dihargai dan dijaga. Jangan asal-asalan kau itu, Bang! Udah dewasanya kau, kan? Harusnya pun udah bisa berpikir bijak kau itu!" tambahku.
"Iya, aku salah, Dik. Sorry, sorry banget lah Dik, ya!" jawabnya.
Aku tak peduli. Aku tidak mengiyakan, tapi aku juga tidak menolak permohonan maafnya. Aku hanya nyaman dengan diamku hingga akhirnya, kami pun sampai di kosanku. Tak ada pamit dan ucapan terima kasih, aku lantas turun dari mobil dan bergegas masuk. Setengah berlari aku menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.
Pecah! Tangisku pecah dan aku langsung menelpon Bang Juntak.
"Abanggggggggg...takutnya aku, Bang! Takut!" ucapku dengan terisak.
"Tenanglah dulu, tenang! Udah di kos kaunya, kan?" respons Bang Juntak.
"Udah, Bang!"
"Syukurlah! Baik-baik aja kau kan, Dik?"
"Ya begitulah, Bang. Masih takut aku, deg-degan ini rasanya. Serem Bang, serem!"
"Tangiskanlah dulu, Dik. Biar kaunya lega!"
"Iya"
"Sambil kau menenangkan diri, dengarkan Abang baik-baik, ya!"
"Iya, Bang!"
"Tembalang udah nggak seramah dulu, Dik. Abang tahu pasti karena kawan-kawan Abang masih banyak yang di sana. Abangmu ini bisa bilang kek gininya juga karena dulu, Abang sempat menjadi orang yang diperbudak nafsu seperti Tomi si brengsek itu. Puji Tuhan, Abang sadar bahwa itu salah dan sekarang, Abang ingin menjaga orang-orang yang berada di circle Abang agar terhindar dari pencobaan macam itu. Jujurnya Dik, Abang terkejut waktu kaunya cerita tadi dan Abang sempat panik saat telponmu mati. Abang takut si Tomi nekat dan melukaimu, tapi lagi-lagi Abang bersyukur karena kau selamat. Tuhan baik, Dik! Mengucap syukurlah pada Dia, ya!"
"Iya, Bang. Setelah ini aku akan salat dan mengucap syukur atas perlindungan yang telah Dia berikan."
"Mulai sekarang, kau harus lebih waspada dan Abang harap kau jangan pernah takut! Abang tahu ini sulit, Dik. Namun Abang harap, kau bisa mempraktikannya jika berada dalam situasi yang seperti tadi lagi. Semoga sih jangan terulang, tapi tetap waspada kan nggak ada salahnya."
"Gimana, Bang?"
"Jangan pernah tunjukkan kalau kau takut! Kau harus bisa garang dan galak! Semakin kau takut atau tunjukkan kepanikan, orang-orang yang brengsek itu akan bahagia karena mereka merasa punya kuasa lebih untuk menikammu. Jadi, mau setakut apapun kau, coba untuk tetap galak untuk melawan, ya!"
"Susah sebenarnya, Bang."
"Memang! Semua itu pasti susah, Dik. Tapi, nggak ada hal yang benar-benar susah kalau kau mulai berlatih untuk mengelola emosi diri. Banyak-banyak latihan bela diri juga kau ya, Dik. Abang nggak bisa jagain kaunya langsung, jadi hanya pesan-pesan kek gini aja yang bisa Abang kasihkan."
"Sudah lebih dari cukup lah ini, Bang. Mauliate ya, Bang! Makasih udah mendiktekan skenario dan berdrama denganku, hehe."
"Iya, santai aja. Setidaknya, meskipun harus dengan kebohongan, kaunya jadi selamat, Dik. Hehe."
"Iyalah Bang, sesekali nggak masalah bohong itu kalau memang untuk kebaikan. Untungnya, logat Batakku kental ya, Bang! Hahaha."
"Iya loh, paten kali lah logatmu, Dik. Lebih Batak dari yang Batak, yekan? Haha! Emmmmm, jangan sampai larut dalam trauma ya! Abang tahu, kau adalah orang yang kuat. Kalau ada apa-apa cerita aja, jangan dipendam sendiri dan selalu berpikirlah kreatif untuk mengantisipasi hal-hal buruk. Haha.."
"Iya, Bang. Hahaha, sekali lagi, mauliate ya, Bang!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H