"Mana ada aku bercanda? Seriusnya aku bilang, Bang! Kalau kau nggak percaya, sekarang pun aku telpon Abangku!" langsung aku memanggil Bang Juntak yang seketika mengangkat.
"Halo, Dik? Ada apa?" jawabnya tegas.
"Tol....." belum selesai aku bicara, ponselku dirampas Tomi dan dilihatnya nama kontak yang aku panggil. Beruntung, aku sempat mengganti nama kontak Bang Juntak dengan kata "Abangku Na Burju", sesuai diktenya. Aku lihat, Tomi lekas mematikan ponselku dan aku pun merebut ponselku kembali yang telah mati.
"Bujass! Kenapa kau nggak bilang kalau kau ini boru Batak?" bentaknya balik.
"Apa pentingnya aku bilang? Lagian, mau boru Batak atau pun tidak, Abang nggak pantas perlakukan perempuan seperti ini. Cok lah bayangkan, Bang! Seandainya nanti calon istrimu ternyata pernah menjadi korban pelecehan seperti apa yang Abang lakukan sekarang!" kataku yang makin takut, tapi harus tetap berlagak garang.
Tomi menatapku tajam dan menghela napas yang cukup dalam.
"Kalau Abang susah bayangkan, sekarang posisikan jika aku ini adik kandung Abang. Pudan di keluargamu perempuan kan, Bang? Aku tahu karena kau pernah cerita samaku. Terus, suatu ketika, adik yang kau sayang itu diperlakukan nggak sopannya sama lelaki macam apa yang hendak Abang lakukan ini. Kek mana perasaanmu, Bang? Hah?" tambahku.
Tomi semakin menarik diri dan terduduk tegak menghadap depan. Dinyalakannya kembali mesin dan perlahan, mobil pun melaju. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, entah apa yang kini ada dalam pikirannya. Aku yang masih takut pun kini mengatur ritme napas untuk menenangkan diri. Aku pun membisu, aku lebih fokus pada ponselku yang baru saja nyala dan aku lihat, sudah ada 48 pesan dari Bang Juntak.
"Dik, sorry ya!" tiba-tiba Tomi bicara.
Aku tidak merespons dan tetap fokus pada ponselku untuk menjawab pesan Bang Juntak.
"Sorry banget kalau kelakuanku udah berlebihan, andai aku tahu kalau kau itu boru......" belum selesai dia bicara, sontak aku memotongnya.