"Aduh, Bang. Maaf ya telat, gimana kabar?" sapaku yang langsung duduk di hadapannya sembari meletakkan tas.
"Santailah, Dik. Baik Abang, kau sendiri gimana kabarnya?" jawab Tomi sambil mengulurkan tangannya untuk dijabat.
"Baik pun, Bang. Udah pesan, Abang?" tanyaku.
"Udah, Dik. Kau mau pesan? Kalau iya, Â Abang panggilkan pelayannya," respons Tomi.
Ramah? Iya, dari awal aku kenal dia, tak pernah terbesit prasangka buruk dalam sosoknya. Sebab, aku selalu dipesani keluargaku untuk terus mengedepankan prasangka baik terhadap siapapun karena jika ada keburukan yang menyertai pribadi seseorang, pasti akan nampak dengan sendirinya.
Dua jam kami berdiskusi, banyak informasi yang berhasil aku himpun darinya. Syukur, akhirnya dataku bertambah. Semoga penelitianku segera selesai dengan apresiasi yang memuaskan dari dosen penguji. Aku pun berkemas dan bersiap untuk pulang, tapi tiba-tiba Tomi menahan.Â
"Kau ke sini naik apa tadi, Dik?" tanyanya sembari menarik tangan kananku.
"Naik taxi online, Bang. Lagi malas bawa motor karena tadi pun gerimis, gimana?" jawabku sambil menarik tanganku pelan dari cengkeramannya.
"Abang antar aja lah, ya! Kan searah kita, Dik!" katanya.
Entah kenapa, aku lantas mengiyakan. Padahal biasanya, aku menolak tawaran-tawaran serupa karena lelakiku selalu berpesan agar aku waspada. Bajingan tidak selalu hadir dalam sosok sangar, pribadi yang tampak alim pun bisa menjadi orang yang lebih brengsek dari kaum-kaum yang memang bangga mempertontonkan kebejatannya.
Kami berjalan menuju parkiran dan aku masuk ke dalam mobilnya. Dinyalakannya mesin mobil dan kami pun mulai melaju.