Afrida Arinal Muna
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Kajian non-muslim terhadap al-Qur'an sampai saat ini masih menjadi isu yang hangat dalam ranah kajian Qur'an. Setiap orang mendekati al-Qur'an dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan Farid Esack yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang memposisikan diri ketika berinteraksi/ sebagai pengkaji teks, utamanya al-Qur'an. Al-Qur'an digambarkan sebagai sosok wanita yang begitu menarik perhatian sehingga banyak mata yang tertuju padanya. Disinilah kita bisa melihat bagaimana seseorang memposisikan diri untuk mulai mendekati wanita tersebut, diantaranya adalah berlaku sebagai 'pecinta buta', 'pecinta yang terpelajar', 'pecinta yang kritis', 'kawan sang pecinta', 'pengelana', serta 'pecinta polemik. Mereka memainkan posisinya masing-masing dengan misi, tujuan, dan target yang diinginkan. Mereka adalah seseorang baik dari kalangan sarjana muslim maupun non-muslim yang mengkaji al-Qur'an dengan melakukan pemetaan, mengkaji secara linguistik, historis baik hanya mendeskripsikan atau mengkritik al-Qur'an.[1] Â Â Â Â Â Â
Dalam melakukan kajian terhadap al-Qur'an, sebagaimana disebutkan oleh A. Hanafi, kajian para orientalisini cenderung diiringi dengan subyektifitas, artinya tidak terlepas dari kefanatikan, khususnya dalam bidang keagamaan.[2] Terlepas dari itu, para orientalis mempunyai latar belakang yang berbeda serta tingkat emosional yang berbeda, maka output dari pemikiran mereka pun berbeda-beda, baik dalam bentuk sikap maupun tindakan yang mereka lakukan terhadap Islam baik itu Al-Qur'an maupun Nabi Muhammad sendiri sebagai penerima wahyu.[3] Para orientalis ini melakukan usaha penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa dunia terutama bahasa inggris maupun latin serta mendalami kajian islam sebagai upaya untuk menyaingi pola piikir umat muslim. Mereka menyatakan hanya ada satu cara untuk memerangi umatt muslim yaitu dengan mengungguli  kemampuan rasional umat muslim, tidak lagi dengan kekuatan militer.
Sebagaimana Richard Bell yang ingin mengubah susunan ayat dan surah al-Qur'an secara kronologis,[4] madzhab-madzhab revisionis yang ingin melakukan rekonstruksi pemahaman atas al-Qur'an seperti dikatakan bahwa al-Qur'an sebenarnya tidak muncul pada abad 7 tetapi pada abad ke -9 dan tidak turun di Makkah tetapi di Irak karena melihat konteks al-Qur'an dengan narasinya yang sangat luar biasa ketika turun pada orang-orang badui dianggap tidak mungkin. Tetapi hal ini semua tidak melulu bertujuan menghancurkan karena mereka ini berangkat dari asumsi sejarah. Itu hanya kecenderunggan awal para pemikir outsider.
Dalam mengkaji al-Qur'an, orientalis tidak hanya mempertanyakan keotentikan al-Qur'an sebagai 'otoritas wahyu tuhan', tetapi juga melakukan kritik teks karena dinilai terjadi kesalahan penulisan terhadap al-Qur'an. Salah satu kajian yang dilakukan oleh orientalis modern adalah kritik teks.[5]Para orientalis menggunakan kritik sastra untuk mengkaji al-Qur'an. Kritik sastra disebut studi sumber berasal dari metodologi Bibel. Dalam studi kritis terhadap bibel, kritik sastra telah muncul pada abad 17 dan 18 ketika para sarjana kristen yang menemukan banyak pertentangan, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa dan kosa kata bibel.[6] James A Bellamy muncul sebagai salah tokoh yang konsentrasi pada kritik teks ( textual crictism). Sebagaimana A.E. Housman mendefinisikan textual crictism sebagai:
" Science of discovering error in texts and the art of removing it"[7]
F.F Bruce, M.A juga menyatakan bahwa textual crictism merupakan salah satu disiplin dalam Bible. Textual crictismini merupakan disiplin dalam menganalisis teks dengan cara menggali naskah-naskah yang paling kuno, dimana naskah-naskah yang pertama merupakan naskah yang paling baik.[8] Oleh karena itu, dalam hal ini memilih manuskrip al-Qur'an awal sebagai pijakan untuk melakukan kritik terhadap teks.
James A Bellamy menyatakan bahwa ada tiga tahapan klasik yang paling dasar dalam melakukan kritik teks, yaitu:
" Classicits divide the process of textual criticsm into three phases: recension, examination and emendation. Recension is the establishment of a                 plemininary text, one examines it to determine whether it is the best possible text and where it is not, one tries to emend."[9]
Kritik teks dimulai dengan mengumpulkan manuskrip-manuskrip yang berkualitas (recension),dikoreksi dan dipilih naskah terbaik dan kemudian diperbaiki.
Bellamy mengakui menemukan fakta sejarah yang menyatakan bahwa muslim generasi awal juga memiliki kecurigaan terhadap penulisan dan penyalinan al-Qur'an yang menyebabkan ada kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang besar.setelah selesai penulisan lalu mengatakan: "don't correct them for the Bedouin Arabs will correct them with their thongues",sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib yang pada awalnya ingin mengganti ayat wa thalhin mandud dengan wa tal'in mandud, tetapi pada akhirnya ia menghapuskan keinginannya untuk mengubah nash yang telah ditulis tersebut.[10]
Di antara contoh kesalahan penulisan pada suatu kata yang Bellamy kemukakan adalah :
- Kata  (fuel : bahan bakar) dalam QS. Al-Anbiya' ayat 98. Kata ini dinilai rancu. Yang benar adalah dibaca , karena kata tersebut lebih tepat digunakan untuk menyebut bahan bakar neraka sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Jinn ayat 15. Dalam hal ini, terjadi kesalahan dalam melakukan penyalinan dari menjadi .
- Kata  ( time: waktu) yang disebutkan dalam QS. Hud ayat 8 dan QS. Yusuf ayat 45 dinilai salah. Seharusnya kata tersebut dibaca dengan kata karena kata amad yang berarti waktu dipakai empat kali dalam QS. Ali Imran ayat 30, al-Kahfi ayat 12, al-Hadid ayat 16 dan QS. Al-Jin ayat 25.
- Kata ( fodder : makanan hewan dan  pasturage: rerumputan) dalam QS. 'Abasa ayat 31. Kata ini dinilai salah penyalinan dari sebuah kata yang berarti biji.
Ada beberapa petunjuk dari Bellamy atas kecurigaannya, diantaranya adalah: (1) jika kata-kata dalam al-Qur'an  terdapat hal yang tidak masuk akal, terutama jika dibaca ayat-ayat di sekitarnya secara keseluruhan, (2) para mufassirsaling berbeda pendapat tentang makna dari suatu kata , (3) jika ada kata yang ditransmisikan dalam form yang beragam dan kontradiksi antara satu dengan yang lain, (4) secara leksikografis, kata tersebut asing dan tidak dikenal dalam tradisi Makkah maupun Madinah. Bellamy tidak merumuskan langkah-langkah metodologis tertentu untuk memperbaiki kata-kata yang menurutnya salah. Tetapi ia hanya mensyaratkan bahwa perubahan yang dilakukan harus masuk akal, lebih baik dari sebelumnya, sesuai dengan gaya bahasa al-Qur'an dan bisa dijustifikasi secara' paleografis'.[11]
Kesimpulan
Melihat para orientalis yang memiliki  kecenderungan yang berbeda-beda dalam mengkaji al-Qur'an, kritik sastra terhadap al-Qur'an  ini menjadi salah satu kecenderungan orientalis di era modern ini. Mulai banyak yang menggeluti kajian kritik teks ini, tidak hanya berputar pada kritik historis yang berbicara tentang keotentikan al-Qur'an. Salah satu tokoh yang fokus terhadap kajian kritik teks ini adalah James A. Bellamy. Ia menawarkan tiga tahap sederhana dalam melakukan kritik teks yaitu recension ( mengumpulkan manuskrip-manuskrip yang berkualitas), examination ( memilih naskah terbaik) serta perbaikan. Dalam melakukan perbaikan, salah satu yang ia lakukan adalah kritik leksikologi dengan melihat kesalahan-kesalahan maupun kekeliruan penyalinan sehingga tidak sesuai dengan makna yang diharapkan oleh al-Qur'an.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin . Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press. 2008.
Bellamy, James A. "Textual Cricticsm " dalam Encyclopedia of  The Qur'an . Leiden: E.J. Brill.
       2001-2006.
Esack, Farid. Samudera al-Qur'an. Yogyakarta : Diva Press. 2007.
F.F. Bruce, MA, "Textual Crictism". The Cristian Graduate 6.4 ( Desember) 1953.
Hanafi, A. Orientalisme Ditinjau  Menurut Kacamata Agama (Qur'an dan Hadis). Jakarta :
       Pustaka al-Husna. 1981.
Karim, Abdul. "Pemikiran Orientalis terhadap Kajian Tafsir Hadis". Ad-Din. Vol.7. No.2.
       Agustus 2013.
Qadafi, Mu'ammar Zayn. "Kritik Sastra al-Qur'an  James A. Bellamy".  Jurnal Hermenia.
       Vol.14. No.1. 2014.
[1] Farid Esack, Samudera al-Qur'an, ( Yogyakarta : Diva Press, 2007), hlm.13-33.
[3] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press,2008), hlm.6.
[4] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, hlm.5
[6] Abdul Karim, "Pemikiran Orientalis terhadap Kajian Tafsir Hadis", , hlm.135.
[8] F.F. Bruce, MA, "Textual Crictism", The Cristian Graduate 6.4 ( Desember, 1953), hlm.135.
[9] James A Bellamy, "Textual Cricticsm ", hlm. 237.
[11] Mu'ammar Zayn Qadafi, "Kritik Sastra al-Qur'an  James A. Bellamy", hlm.6.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H