Mohon tunggu...
Humaniora

Kritik Leksikologi terhadap Al-Qur'an: Kajian atas Pemikiran James A. Bellamy

14 Juni 2017   12:04 Diperbarui: 14 Juni 2017   12:46 2181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Afrida Arinal Muna

afridaarinal@gmail.com

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendahuluan

Kajian non-muslim terhadap al-Qur'an sampai saat ini masih menjadi isu yang hangat dalam ranah kajian Qur'an. Setiap orang mendekati al-Qur'an dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan Farid Esack yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang memposisikan diri ketika berinteraksi/ sebagai pengkaji teks, utamanya al-Qur'an. Al-Qur'an digambarkan sebagai sosok wanita yang begitu menarik perhatian sehingga banyak mata yang tertuju padanya. Disinilah kita bisa melihat bagaimana seseorang memposisikan diri untuk mulai mendekati wanita tersebut, diantaranya adalah berlaku sebagai 'pecinta buta', 'pecinta yang terpelajar', 'pecinta yang kritis', 'kawan sang pecinta', 'pengelana', serta 'pecinta polemik. Mereka memainkan posisinya masing-masing dengan misi, tujuan, dan target yang diinginkan. Mereka adalah seseorang baik dari kalangan sarjana muslim maupun non-muslim yang mengkaji al-Qur'an dengan melakukan pemetaan, mengkaji secara linguistik, historis baik hanya mendeskripsikan atau mengkritik al-Qur'an.[1]            

Dalam melakukan kajian terhadap al-Qur'an, sebagaimana disebutkan oleh A. Hanafi, kajian para orientalisini cenderung diiringi dengan subyektifitas, artinya tidak terlepas dari kefanatikan, khususnya dalam bidang keagamaan.[2] Terlepas dari itu, para orientalis mempunyai latar belakang yang berbeda serta tingkat emosional yang berbeda, maka output dari pemikiran mereka pun berbeda-beda, baik dalam bentuk sikap maupun tindakan yang mereka lakukan terhadap Islam baik itu Al-Qur'an maupun Nabi Muhammad sendiri sebagai penerima wahyu.[3] Para orientalis ini melakukan usaha penerjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa dunia terutama bahasa inggris maupun latin serta mendalami kajian islam sebagai upaya untuk menyaingi pola piikir umat muslim. Mereka menyatakan hanya ada satu cara untuk memerangi umatt muslim yaitu dengan mengungguli  kemampuan rasional umat muslim, tidak lagi dengan kekuatan militer.

Sebagaimana Richard Bell yang ingin mengubah susunan ayat dan surah al-Qur'an secara kronologis,[4] madzhab-madzhab revisionis yang ingin melakukan rekonstruksi pemahaman atas al-Qur'an seperti dikatakan bahwa al-Qur'an sebenarnya tidak muncul pada abad 7 tetapi pada abad ke -9 dan tidak turun di Makkah tetapi di Irak karena melihat konteks al-Qur'an dengan narasinya yang sangat luar biasa ketika turun pada orang-orang badui dianggap tidak mungkin. Tetapi hal ini semua tidak melulu bertujuan menghancurkan karena mereka ini berangkat dari asumsi sejarah. Itu hanya kecenderunggan awal para pemikir outsider.

Dalam mengkaji al-Qur'an, orientalis tidak hanya mempertanyakan keotentikan al-Qur'an sebagai 'otoritas wahyu tuhan', tetapi juga melakukan kritik teks karena dinilai terjadi kesalahan penulisan terhadap al-Qur'an. Salah satu kajian yang dilakukan oleh orientalis modern adalah kritik teks.[5]Para orientalis menggunakan kritik sastra untuk mengkaji al-Qur'an. Kritik sastra disebut studi sumber berasal dari metodologi Bibel. Dalam studi kritis terhadap bibel, kritik sastra telah muncul pada abad 17 dan 18 ketika para sarjana kristen yang menemukan banyak pertentangan, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa dan kosa kata bibel.[6] James A Bellamy muncul sebagai salah tokoh yang konsentrasi pada kritik teks ( textual crictism). Sebagaimana A.E. Housman mendefinisikan textual crictism sebagai:

" Science of discovering error in texts and the art of removing it"[7]

F.F Bruce, M.A juga menyatakan bahwa textual crictism merupakan salah satu disiplin dalam Bible. Textual crictismini merupakan disiplin dalam menganalisis teks dengan cara menggali naskah-naskah yang paling kuno, dimana naskah-naskah yang pertama merupakan naskah yang paling baik.[8] Oleh karena itu, dalam hal ini memilih manuskrip al-Qur'an awal sebagai pijakan untuk melakukan kritik terhadap teks.

James A Bellamy menyatakan bahwa ada tiga tahapan klasik yang paling dasar dalam melakukan kritik teks, yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun