Mohon tunggu...
Afrianto Daud
Afrianto Daud Mohon Tunggu... -

penikmat buku, pendidik, pembelajar, dan pemulung hikmah yang terserak di setiap jengkal kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menerawang Hasil Tanding Ulang Jokowi-Prabowo

23 Agustus 2018   05:57 Diperbarui: 23 Agustus 2018   09:07 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pesta demokrasi pemilihan presiden sudah dimulai. Sejak drama pengumuman pasangan presiden dan wakil presiden itu selesai, kita sudah resmi memasuki tahun politik. 

Dua pasang calon presiden 2019-2024 telah mendaftar ke Kantor Pemilihan Umum (Jokowi -- Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi, selanjutnya akan disingkat dengan JM-PS) pada tanggal 10 Agustus 2018. Maka sejak itu gemuruh pesta sudah dimulai. Panasnya mulai terasa. Terutama di media sosial.

Tanding ulang Prabowo-Jokowi ini satu sisi sebenarnya sudah tak begitu menarik, karena keduanya telah pernah 'mati-matian' bertempur pada pilpres 2014 yang lalu. Tapi di sisi lain, tampilnya kembali dua tokoh ini ke gelanggang adalah suatu hal yang positif. 

Harapannya pada pemilihan presiden kali ini, bangsa Indonesia bisa lebih fokus kepada isu-isu substantif dan strategis untuk kepentingan bangsa ke depan. Tidak justru menghabiskan energi dengan kampanye negatif, propoganda hitam, pembunuhan karakter, seperti yang terjadi empat tahun lalu. Sepertinya segala propaganda itu telah mencapai klimaksnya dulu. Kalaupun akan diulang. Tak akan menarik. Tak akan laku. Kedua kubu sudah punya jawabannya masing-masing.

Waktu pencoblosan sebenarnya masih relatif lama (April 2019), dan karenanya agak masih pagi untuk bicara siapa akan menggungguli siapa. Namun, tulisan ini tetap akan mencoba melakukan analisa awal bagaimana peluang kedua pasang kandidat ini, siapa diantara mereka yang berpeluang lebih besar memenangkan pertarungan. Apa-apa saja faktor pendukung dan juga kelemahan masing-masing pasangan. Bagaimana semua faktor itu akan mempengaruhi preferensi pemilih.

Beberapa Faktor Berpengaruh

Secara umum, prediksi saya perolehan suara antara JM dan PS ini akan sangat ketat. Salah satu dari keduanya akan menang tipis saja. Walaupun sebagai incumbent, Jokowi tak akan menang mudah. Prabowo berpeluang menggungguli Jokowi. Berikut akan saya jelaskan beberapa faktor penting yang akan berpengaruh pada preferensi pemilih. Urutan penyebutan faktor random saja. Tidak menggambarkan tingkat kepentingannya. Dan perlu diingat, bahwa analisa saya ini hanya semacam 'terawangan', jadi jangan dipercaya seratus persen. Hehe :D

Pertama, faktor Pilpres 2014. Peta pilpres kali ini tidaklah sepenuhnya peta buta, mengingat Prabowo dan Jokowi bukanlah calon baru dalam kontes pilpres. Mereka sudah bertarung habis-habisan ketika pilpres 2014 yang lalu. Dengan demikian, landscape politik dan peta dukungannya sesungguhnya sudah lebih jelas. Data perolehan suara pilpres 2014, misalnya,  bisa menjadi starting point menganalisa peluang kemenangan masing-masing calon ini.

Empat tahun lalu, Jokowi-Kalla unggul tipis dari pasangan Prabowo-Hatta (53% : 47%). Pasangan Jokowi-Kalla memperoleh 70.997.85 suara, dan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara (selisih 'hanya' sekitar 8 juta suara). Dengan demikian, kedua calon bisa dikatakan telah punya modal awal untuk bertanding. Tergantung bagaimana mereka menjaga suara, agar tidak berpindah, dan kemudian pada saat yang sama berusaha menambah suara baru.

Bagi Prabowo, misalnya, perolehan suara lebih enam puluh juta itu adalah modal awal yang sangat penting. Saya perhatikan dalam empat tahun terakhir, Prabowo mampu menjaga suara ini agar tetap tidak beralih. 

Performa Prabowo sebagai kandidat yang kalah dalam pilpres 2014 cukup sering menuai simpati. Tidak seperti yang dikhawatirkan sebagian kalangan dulu bahwa dia tidak akan legowo dan sejenisnya, berkali-kali Prabowo menunjukkan kelasnya sebagai negarawan dengan tetap menjalin komunikasi yang baik dengan presiden Jokowi. Walaupun berada di kubu oposisi, Prabowo memperlihatkan posisi politiknya secara jelas bahwa dia menghormati pemerintahan yang sah. Selain kontroversi pemilihan Sandi sebagai wapresnya, nyaris tidak ada peristiwa luar biasa yang membuat Prabowo bakal ditinggalkan enam puluh juta pemilihnya pada 2014 itu.

Kedua, dari sisi performa pemerintahan sekarang. Sebagai incumbent, Jokowi lebih memiliki peluang untuk menarik lebih banyak suara dibanding Prabowo, jika Jokowi bisa perform selama masa kekuasaannya.  

Secara umum pemerintahan sekarang sudah terlihat bekerja cukup keras. Cukup banyak program pembangunan yang telah dan sedang terus dikerjakan, terutama pembangunan berbagai infrastruktur, seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah, dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur ini terlihat menjadi jawaban utama pendukung pemerintah ketika bicara tentang kinerja pemerintahan. Pemerintah, misalnya, mengklaim telah membangun 2.000 kilometer jalan nasional, 568 kilometer jalan tol, 2,2 juta unit rumah, 900 hektare irigasi, dan infrastuktur lainnya. 

Pembangunan infrastruktur ini diharapkan memberi pengaruh positif pada jalannya roda perekonomian, dan masuknya investasi, untuk kemudian bisa meningkatkan kemakmuran rakyat. Sektor lain yang relatif baik berkembang di masa Jokowi adalah sektor pariwisata, kelautan, dan perikanan.

Walaupun pemerintah mengklaim telah melakukan pembangunan signifikan pada beberapa sektor, termasuk di sektor ekonomi, tantangan utama Jokowi adalah meyakinkan calon pemilihnya (terutama kelas menengah terdidik) tentang bagaimana pemerintahan sekarang telah menjalankan daftar panjang janji-janji politiknya pada pemilihan presiden 2014 yang lain. Dari sekian banyak daftar janji Jokowi-Kalla, sepertinya perbaikan di sektor ekonomi tak begitu signifikan dirasakan. 

Di lapangan yang dirasakan justru cenderung sebaliknya. Banyak orang merasakan kehidupan mereka semakin sulit. Harga-harga terus naik, sebagai akibat (diantaranya) dicabutnya subsidi BBM. Banyak orang kehilangan lapangan kerja - menjadi pengangguran baru. Daya beli menurun. Pendeknya pemerintah belum bisa merealisasikan janji mereka untuk pertubuhan ekonomi nasional sampai di angka 7 persen. Ekonom nasional, Rizal Ramli, malah menyebut situasi ekonomi nasional sedang berada di zona merah.

Terkait kinerja pemerintahan ini, kita belum bicara tentang kegagalan lain pemerintah dalam mewujudkan janji mereka, seperti janji kedaulatan pangan, kedaulatan energi (pemerintah pernah sesumbar akan menjadikan pertamina lebih baik dari petronas), juga di bidang kesehatan dan pendidikan. Akan panjang daftar janji pemerintah yang belum terealisasi jika ingin diurai. Pendeknya, kinerja pemerintahan Jokowi dalam empat tahun terakhir cenderung 'biasa saja'. Kondisi ini bisa menjadi sebab Jokowi akan kehilangan sebagian pemilihnya di periode lalu. Sebagian mereka bisa jadi akan loncat pagar mencari harapan baru, dalam hal ini adalah Prabowo (walau belum terbukti).

Ketiga, faktor soliditas partai pendukung. Walaupun pemilihan presiden adalah pemilihan langsung, dimana kekuatan tokoh individu calon presiden menjadi faktor sangat penting, tetap saja keberadaan partai politik pendukung menjadi diantara faktor yang penting. Merekalah nanti yang akan menjadi corong dan atau juru kamapnye, baik resmi atau tidak resmi, dalam memasarkan masing-masing pasangan calon.

Pada poin ini, kedua pasang capres ini relatif seimbang. Koalisi partai pendukung JM terlihat sedikit lebih kuat, terutama setelah masuknya Golkar ke dalam koalisi pemerintah. Dari sisi komposisi suara partai, misalnya, sedikitnya ada sembilan partai yang sekarang bergabung dengan koalisi Jokowi (termasuk beberapa partai baru, seperti PSI). Mereka menguasai lebih 55% suara di parlemen. Sementara di kubu PS hanya didukung 4 partai saja (sekitar 45% suara)..

Walau akhirnya setuju, dukungan terhadap setiap pasangan dari partai koalisi tidaklah sempurna sejak awal. Di kubu Jokowi, misalnya, para pendukung Ahok yang selama ini bulat mendukung Jokowi bisa saja kecewa dengan pilihan Jokowi kepada Kiai Ma'ruf, sebagai sosok yang terkait dalam kisah jeblosnya Ahok ke penjara. Bukan tak mungkin sebagian mereka lebih memilih golput. Curhatan Prof Mahfud di acara ILC terkait kegagalannya menjadi capres juga bisa mengurangi simpati sebagian pemilih terdidik terhadap Jokowi. 

Kredibilitas dan kemampuan leadership Jokowi menjadi pertanyaan dan semakin diragukan. Kisah yang sama juga terjadi di kubu Prabowo. Mereka yang berafiliasi dengan GNPF dan juga sebagian kader PKS bisa saja tidak happy dengan pilihan Prabowo kepada Sandi. Sebagian kecil juga terdengar akan abstain dari pemilihan. Walaupun demikian, prediksi saya sebagian besar mereka akan bisa menerima kenyataan politik itu. Kemudian fokus pada usaha pemenangan.

Keempat, faktor wakil presiden. Walaupun pilpres sebenarnya lebih fokus pada presiden, saya pikir siapa wakilnya juga menjadi diantara faktor yang akan signifikan mempengaruhi peta suara dalam kontestasi pemilihan presiden kali ini. Jokowi atau Prabowo akan berusaha mencari poin menambah suara melalui pilihan wakil presiden yang tepat. Itulah mengapa pemilihan wakil presiden ini terlihat alot dan dramatis. Kedua kubu seperti bermain catur. Saling mengintip siapa yang bakalan menjadi pasangan di kubu lawan. Wakil presiden ini menjadi penting, terutama bagi kalangan pemilih yang tidak begitu happy dengan sosok sang presiden.

Dipilihnya Kiai Ma'ruf Amin, yang notabene adalah ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI), mudah ditebak adalah strategi kubu Jokowi dalam menutupi ruang atau sisi lemah sosok Jokowi selama ini. Sepanjang masa pilpres 2014 sampai beberapa tahun pemerintahannya, Jokowi terus saja ditembak dengan isu agama (keislaman). Apalagi ketika beberapa kebijakan pemerintahan sekarang terlihat sering kontraproduktif dengan kepentingan beberapa kelompok muslim. Kiai Ma'ruf diharapkan bisa menutupi kekurangan ini.

Posisi kiai Ma'ruf di kubu Jokowi bisa jadi dapat memastikan mayoritas suara kalangan NU tetap bersama Jokowi. Dipilihnya kiai Ma'ruf juga akan efektif menguatkan posisi pilihan sebagian kelompok muslim terdidik yang ideoliginya sebenarnya kanan, tapi selama ini memilih Jokowi. 

Selama ini mungkin mereka juga melihat bahwa ada beberapa kebijakan Jokowi yang tak sepenuhnya mereka terima terkait isu keIslaman di Indonesian, termasuk dulu ketika isu penistaan agama yang menjerat Ahok ke penjara. Jokowi sendiri sebenarnya tidak terkait secara langsung, namun persepsi sebagian kalangan terlanjur terbentuk bahwa Jokowi seperti ikut melindungi Ahok. Keberadaan Kiai Ma'ruf bisa menjadi legitimiasi spiritual akan pilihan mereka.

Walau demikian, hemat saya posisi Kiai Ma'ruf tak akan banyak menambah suara baru dari pemilih muslim ideologis lainnya, terutama muslim terdidik di perkotaan. 

Pamor Kiai Ma'ruf Amin dalam mempengaruhi masa muslim akan bersaing ketat dengan beberapa tokoh muslim lain di GNPF yang lebih terlihat berada di kubu Prabowo. Sebutlah itu Ustadz Abdul Somad, KH Arifin Ilham, Habib Riziek Syihab, Abdullah Gymnastiar, Felix Shaw, Hanan Attaki, dan Yusuf Mansur. Ini belum menyebut tokoh lain yang juga berpengaruh semisal Ipho Santosa, Salim Fillah dan lainnya. 

Mereka ini tidak hanya diantara tokoh muslim dengan ratusan ribu atau bahkan jutaan pengikut, tetapi juga pemain media sosial aktif yang berpotensi menjadi influencer opini di media sosial. Para tokoh muslim, seperti UAS, barangkali tidak akan langsung menjadi juru kampanye, namun endorsement yang diperlihatkan kelompok GNPF langsung atau tidak telah menjadi referensi tersendiri bagi sebagian pemilih muslim.

Berbeda dengan pilihan Jokowi terhadap Kai Ma'ruf, pilihan Prabowo terhadap Sandiaga Uno sepertinya akan menjadi nilai plus untuk penggaet suara baru bagi Parabowo. Sandi berpeluang lebih besar meraih simpati swing voters dari kalangan menengah terdidik, dan juga dari pemilih milineal. 

Survey LSI terakhir juga telah mengungkap fakta ini. Bahwa Sandi sebagai sosok pengusaha muda sukses berpotensi membuat kalangan swing voters lebih yakin bahwa pasangan Prabowo lebih mampu untuk perbaikan ekonomi nasional. Sandi dianggap sebagai sosok muda yang menjanjikan dalam membantu Prabowo dalam menyelesaikan masalahan perekonomian  nasional. Rekam jejak Sandi di dunia bisnis sangat meyakinkan. Sandi akan dinilai lebih rasional dalam menjawab tantangan perekonomian nasional, ketimbang kiai Ma'ruf yang lebih terkesan dimainkan untuk menjawab politik identitas.

Tampilan Sandi yang fresh, goodlooking, smart, dan generous berpotensi menggaet suara pemilih milineal lebih banyak, Termasuk tentu suara pemilih emosional, seperti emak-emak Indonesia yang excited sekali jika Sandi turun ke masyarakat. Walaupun kampanye dengan isu fisik seperti tampan atau tidak sebenarnya adalah kampanye tak elok dan tak mendidik, faktanya tetap ada pasar pemilih tertentu yang menjatuhkan pilihan dengan melihat aspek artifisial ini. Karena itulah mengapa caleg dari kalangan artis cukup sering memperoleh suara dan melaju ke parlemen dari pemilu ke pemilu.

Swing Voters dan Pemilih Pemula Sebagai Penentu

Sekali lagi, battle field Jokowi dan Prabowo sesunggunya ada di wilayah memperebutkan suara swing voters dan pemilih pemula. Jumlah swing voters di Indonesia cukup besar. 

Data dari berbagai lembaga survey menunjukkan bahwa angka mereka yang belum menentukan pilihan itu di kisaran 30 - 40 persen. Mereka adalah pemilih tidak loyal, yang biasanya 'wait and see', melihat dan mempertimbangkan banyak hal sebelum hari H pencoblosan. 

Mereka tidak terikat dengan primordialisme dan simbol-simbol tertentu. Mereka umumnya adalah pemilih rasional. Jokowi harus menjaga ritme performanya menjelang hari H pemilu untuk bisa meraih simpati para undecided voters ini. Semantara Prabowo-Sandi harus bisa meyakinkan mereka dengan tawaran program yang bisa menjawab kekurangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Data dari Kemendagri, sedikitnya akan ada 14 juta pemilih baru di pilpres 2019 mendatang. Angka ini signifikan. Karenanya mereka bakal menjadi penentu kemenangan. Calon yang bisa menggarap segmen pemilih ini berpeluang lebih besar menjadi pemenang. Jokowi sendiri sejak lama telah menyadari potensi suara dari segemen pemilih milineal ini. Tampilan Jokowi dengan motor gede, sepatu ket, kaos oblong, atau drama 'loncat pakai moge' di Asian Games itu adalah bagian dari kampanye terselubung dalam menyasar pemilih pemula ini. 

Pada sa'at yang sama, pilihan Prabowo terhadap Sandi yang berusia masih sangat muda dinilai banyak pengamat berpotensi meraih suara kaum milineal lebih banyak, sebagaimana sudah saya bahas sebelumnya. Ke depan, akan kita saksikan kreativitas kedua tim sukses dalam menggaet suara pemilih milenial ini.

Saat ini banyak survey memang masih mengunggulkan Jokowi, termasuk survey LSI terakhir. Ini wajar karena Jokowi adalah incumbent yang sedang menguasai panggung. Jokowi sudah manggung empat tahun. Prabowo-Sandi belum melakukan kampanye apapun. Pertempurannya baru saja dimulai. Bulan-bulan ke depan, kita akan menyaksikan adu strategi kelas wahid dari masing-masing kubu. Mengaca pada pilpres 2014 dimana awalnya survey-survey menyebut gap ketertinggalan Prabowo dari Jokowi lebih 10 digit, tetapi di hari-hari terakhir tim Prabowo-Hatta bisa mengejar bahkan hampir mengalahkan, maka tak mustahil bahwa pada kali ini gap itu sudah semakin mengecil. 

Apalagi angka survey tak selalu konsisten dengan angka akhir di hari pemilihan. Hasil pilkada Jabar terakhir adalah contoh kasus yang paling nyata. Tambahan lagi, ada poin menarik dari survey LSI itu bahwa Prabowo-Sandi lebih banyak dipilih oleh kalangan dengan pendidikan lebih tinggi. Kaum terpelajar ini seringkali menjadi tempat bertanya di lingkungan mereka. Bukan tak mungkin mereka akan ikut menentukan arah pilihan masyarakat pada hari H pemilihan.

Pilpres 2019 akan berlangsung alot. Suara pemilih di pulau Jawa tetap akan menjadi penentu. Jawa Barat sepertinya masih akan tetap dipegang Prabowo, walau Kang Emil menang dalam pemilihan gubernur. Demikian juga dengan DKI Jakarta. Auranya akan lebih ke Prabowo-Sandi. Tapi, Jawa Timur dan Jawa Tengah akan milik Jokowi-Ma'ruf. Sementara di Sumatera Barat, Jokowi akan tetap kalah signifikan, walau kemungkinan suara Jokowi akan sedikit bertambah dari 2014. Ini adalah hasil usaha tak kenal lelah Jokowi mendekatkan diri ke urang awak.

Walau tentu Jokowi-Ma'ruf tetap berpeluang memenangkan kontestasi pemilihan presiden ini dengan modal suara seperti sekarang, tetapi posisinya masih jauh dari aman. 

Menurut saya, jika Prabowo-Sandi mampu meyakinkan swing voters yang terlanjur kecewa dengan performa pemerintah dan meyakinkan para pemilih pemula dengan program yang menarik dalam beberapa bulan ke depan, dan jika mesin politik Prabowo-Sandi bekerja maksimal sebagaimana biasa, dan jika tak ada kejadian luar biasa terhadap status Sandi (tidak terjerat masalah hukum, misalnya), bukan tak mungkin tahun 2019 itu kita benar-benar akan memiliki presiden baru. Wallauhu a'lam.

* Penulis adalah pendidik, bukan politisi. Membahas isu politik hanya sebagai kegiatan sambilan :D

Oleh Afrianto Daud

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun