Oleh: Afrianto Daud
(Analis Politik di Centre for Democracy and Political Education)
Masa kampanye pilkada serentak baru saja selesai. Semua kandidat telah melakukan performa terbaiknya selama kampanye. Kini semua sedang berada pada minggu tenang, menunggu hari pencoblosan tanggal 15 Februari besok. Bagi paslon dan pendukungnya, minggu tenang selain minggu untuk beristirahat dari kampanye, ini adalah minggu yang juga bermanfaat sebagai waktu untuk merefleksi tentang apa yang sudah dikerjakan, sambil berharap yang terbaik dengan hasil yang diinginkan. Untuk refleksi dan memperoleh ketenangan itu, sebagian paslon bahkan ada yang berangkat umrah ke tanah suci.
Saat ini sedikitnya ada 101 daerah yang akan melakukan pencoblosan di seluruh nusantara pada Rabu besok, namun tulisan ini hanya mencoba menganalisa bagaimana peta dukungan terakhir di Pilkada Jakarta. Siapa yang bakal memperoleh suara terbanyak. Apakah pilkada ini bisa diselesaikan dengan satu putaran saja, atau harus dua putaran. Faktor apa saja yang paling dominan mempengaruhi keputusan pemilih, dan siapa yang akhirnya akan memimpin ibu kota dalam lima tahun ke depan.
Sebagai barometer politik nasional, pilkada Jakarta adalah pilkada yang paling heboh, dan menjadi pusat perhatian ratusan juta orang di saentero Indonesia, bahkan dunia. Tidak mengejutkan, karena secara politik, Jakarta memang jadi rebutan hampir semua partai politik. Karenanya, semua parpol harus memutar otak sangat keras agar bisa memenangkan pertaruangan politik di Jakarta itu. Munculnya tiga paslon di Jakarta membuat kompetisinya menjadi multi front battle– pertempuran segitiga dengan banyak sisi. Ini diantara alasan lain yang membuat pilkada DKI makin menarik dicerimati.
Memperhatikan performa ketiga pasang paslon dan segala dinamika politik yang mengiringi kampanye pilkada Jakarta, saya menduga bahwa perolehan suara akan berlangsung sengit antara ketiga pasangan calon, terutama nomor urut 3 (Anies-Sandi) dengan paslon nomor 2 (Ahok-Djarot). Pada saat yang sama, pasangan nomor urut 1 (Agus-Sylvi) dipekirakan juga akan memperoleh suara signifikan. Bukan tak mungkin, Agus Silvi bisa menjadi kuda hitam di Pilkada Jakarta.
Ketatnya angka perolehan dari ketiga pasang calon bisa dilihat dari naik turunnya prediksi perolehan suara dari setiap pasangan pada survei yang dirilis oleh beberapa lembaga. Walau sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian (atau malah semua?) lembaga survei biasanya bekerja sebagai bagian tim pemenangan atau konsultan politik paslon tertentu, boleh jugalah hasil survei mereka dijadikan gambaran awal.
Beda Survei, Beda Pemenang
Pola persentase suara di beberapa lembaga tidak konsisten, dimana paslon dengan suara terbanyak berbeda-beda antar lembaga survei. Survei terakhir dari Lingkaran Survei Indonesia(LSI) pimpinan Denny JA, misalnya, merilis survei terbaru mereka pada Selasa (17/1/2017). Survei tersebut dilakukan pada 5-11 Januari 2017 terhadap 880 responden. Hasilnya, elektabilitas Agus-Sylvi tertinggi dengan angka 36,7 persen, Ahok-Djarot 32,6 persen, dan Anies-Sandi 21,4 persen. Undecided voters dalam survei ini sebesar 9,3 persen.
Unggulnya Agus-Sylvi juga dilaporkan Poltracking Indonesia yang merilis hasil survei Pilkada DKI pada Kamis (19/1/2017). Berdasarkan survei tersebut, elektabilitas Agus-Sylvi sebesar 30,25 persen, pasangan Ahok-Djarot 28,88 persen, dan pasangan Anies-Sandi 28,63 persen. Sebanyak 12,24 persen pemilih masih belum menentukan pilihan.
Berbeda dengan kedua lembaga survei ini, lembaga Survei Populi melaporkan Ahok-Djarot memperoleh angka tertinggi dengan 40 persen suara, diikuti Anies-Sandi (30,3 persen) dan Agus-Sylvi (21,8 persen). Urutan suara yang mirip dilaporkan hasil survei SMRC yang dilakukan pada 14-22 Januari 2017, pasangan Ahok-Djarot mendapat elektabilitas sebesar 34,8 persen. Pasangan Anies-Sandi menyusul dengan elektabilitas 26,4 persen, dan pasangan Agus – Sylvi diurutan terakhir dengan 22,5 persen.
Sementara, lembaga survei yang mengunggulkan Anies-Sandi adalah survei yang dilakukan oleh SPIN (Survei& Polling Indonesia). Rilis terakhir mereka menemukan bahwa elektabilitas Anies-Sandi adalah sebesar 41,74 persen. Posisi kedua ditempati oleh Ahok-Djarot 30,04 persen. Pasangan Agus-Sylvi di posisi buncit dengan elektabilitas 24,95 persen.
Lembaga lain yang menempatkan Anies –Sandi sebagai peraih suara terbanyak adalah hasil survei PolMark. Lembaga pimpinan Eeep Saiful Fatah ini melaporkan pasangan Anies-Sandi berada di posisi elektabilitas teratas dengan persentase 25,3 persen. Menyusul pasangan Agus-Sylvi sebesar 23,9 persen dan pasangan Ahok-Djarot sebesar 20,4 persen.
Berbedanya perolehan atau rilis beberapa lembaga surveiini, sekali lagi, menunjukkan bahwa peta kekuatan pilkada DKI relatif seimbang. Tidak ada yang terlalu dominan. Pertarungannya akan sangat sengit. Segala kemungkinan masih bisa terjadi. Ini tentu adalah kompetisi yang alot dan menarik.
Peta Kekuatan
Ketatnya persaingan pilkada Jakarta ini tak lepas dari beberapa kekuatan sekaligus kelemahan yang dimiliki oleh setiap pasang calon. Pasangan Agus-Sylvi, misalnya, populer di kalangan pemilih pemula. SurveiLSI mengklaim bahwa lebih 52 persen pemilih pemula akan memilih pasangan Agus-Sylvi. Populernya pasangan ini di kalangan anak muda mudah dipahami karena sosok Agus yang masih muda, pintar, dan ganteng. Tim Agus-Sylvi sepertinya serius menggarap pemilih pemula ini, karena jumlah pemilih pemula di DKI Jakarta mencapai 700,000 orang (10.07 persen dari total pemilih pilkada DKI).
Keseriusan itu, misalnya, terlihat dari tampilan Agus yang senantiasa terlihat segar, stylish, dan smart look dalam berbagai kegiatan. Selain unggul di kalangan pemilih pemula ini, Agus-Sylvi juga diuntungkan karena Sylvi satu-satunya calon perempuan. Ini belum bicara tentang pamor politik SBY yang belum sepenuhnya pudar. Tentu juga akan menguntungkan Agus-Sylvi. Walau pada saat yang sama, fakta bahwa Agus adalah anaknya SBY juga bisa menjadi kelemahan pasangan ini, karena dia bisa menjadi sasaran tembak, terutama dari kalangan kritis yang menolak dinasti politik di Indonesia.
Selain dukungan PDIP sebagai pemenang pileg 2014 di DKI Jakarta (walau tak bulat) dan dukungan kuat etnis Tionghoa, paslon Ahok-Djarot diuntungkan karena sebagai incumbent yang telah bekerja di Jakarta. Dalam beberapa kampanye dan debat paslon, Ahok-Djarot dengan gamblang menceritakan apa yang telah mereka kerjakan. Suka ataupun tidak, walau masalah Jakarta masih jauh dari selesai, karena kemacetan dan banjir masih tetap menjadi kisah berulang di Jakarta, bahwa secara fisik Jakarta memang mengalami perubahan cukup berarti dalam beberapa tahun terakhr. Kalangan menengah (non-ideologis) sepertinya sangat merasakan perubahan fisik Jakarta ini. Jakarta menjadi lebih nyaman dan terlihat lebih tertata dari sebelumnya. Banyak sungai yang mulai bersih. Pembangunan taman kota dan tempat bermain keluarga di beberapa titik kota, dan sistem transportasi yang makin nyaman adalah diantara alasan kalangan menengah Jakarta untuk mendukung Ahok-Djarot.
Selain masalah kebijakan pembangunannya yang terlihat kentara pro-pengembang dan kurang bersahabat dengan rakyat kecil (terutama dalam kasus reklamasi pantai Jakarta), dan aroma korupsi dalam kasus Sumber Waras, masalah terbesar Ahok adalah dalam hal komunikasi politik dengan banyak pihak. Berkali-kali Ahok membuat blunder yang merugikan elektabilitasnya. Dia dipersepsi sebagai gubernur yang angkuh, kasar, dan tidak empatik. Kasus Al-Maidah:51 itu adalah puncak blunder yang justru mengancam eksistensi politiknya di pilkada Jakarta mendatang. Blunder itu dia perparah saat dia dan tim kuasa hukumnya berlaku kasar kepada KH Ma’ruf Amin di persidangan. Perlakukan yang bikin gerah warga NU. Bunuh diri politik. Ahok bakan disebut sebagai ancaman serius kebhinnekaan Indonesia.
Anies-Sandi kemudian muncul sebagai paslon yang menawarkan diri sebagai alternatif pimpinan Jakarta. Anies-Sandi tidak hanya datang dengan tawaran program baru, misalnya mereka dengan tegas akan menghentikan proyek reklamasi, tetapi juga menempatkan diri sebagai paslon anti tesa Ahok. Jika Ahok dipersepsi angkuh dan kasar, maka Anies-Sandi muncul sebagai calon yang cerdas dan santun. Sebagai mantan aktivis dan mantan menteri, Anies cukup pandai menari dalam irama pilkada DKI yang keras. Beberapa buly yang diarahkan kepadanya bisa direspon dengan proporsional oleh mantan mentri pendidikan ini. Latar belakangnya yang relatif bersih menutup pintu lawan politiknya untuk melakukan serangan black campaign kepadanya.
Dukungan Prabowo (Gerindra) dan PKS adalah juga diantara kekuatan lain pasangan Anies-Sandi. Jangan lupa bahwa pada pileg terakhir, Gerindra dan PKS adalah dua parpol dengan suara terbanyak di Jakarta setelah PDIP (masing-masing 592.568 suara dan 424.400 suara). Bintang politik Prabowo masih bersinar terang sampai sekarang. Sementara PKS dikenal dengan mesin politik yang tangguh dan dengan kadernya yang militan. Mereka hampir pasti akan all out memenangkan Anies Sandi. Anies-Sandi akan lebih banyak dipilih oleh pemilih muslim ideologis. Gelombang energi Al-Maidah:51 itu sepertinya akan lebih banyak menguntungkan pasangan ini.
Dua Putaran
Memperhatikan ketatnya persaingan antar calon, besar kemungkinan pilkada akan berlangsung dua putaran. Menurut saya pasangan Anies-Sandi dan Ahok-Djarot lebih berpeluang maju ke putaran kedua. Agus-Sylvi diprediksi akan tersingkir, walau dengan perolehan suara yang tetap signifikan. Selain faktor ketokohan, visi misi, rekam jejak, dan program kerja masing-masing kandidat, faktor yang paling dominan mempengaruhi pilihan warga Jakarta, menurut saya, adalah karena sentimen agama. Kita mungkin bisa berbeda pandangan apakah agama relevan dijadikan alasan memilih pemimpin, namun setelah kasus penistaan agama atau Al-Maidah:51 itu, sentimen agama ini semakin kuat. Kecendrungan menguatknya faktor ini juga terkonfirmasi dalam surveitentang preferensi pemilih oleh LSI pada awal Januari 2017.
Sentimen agama ini tidak hanya terjadi di kalangan muslim, dimana kalangan pemilih muslim ideologis akan lebih banyak memilih Anies-Sandi, kecenderungan yang sama juga terlihat bagi pemilih yang beragama Kristen yang cendrung memilih pasangan Ahok-Djarot. Survei Saiful Mujani Research Centre mengungkap bahwa 96 persen responden beragama Kristen memilih pasangan Ahok-Djarot. Kecenderungan yang sama walau dengan persentase lebih rendah juga terjadi pada pemilih beragama non-Islam lainnya yang cendrung ke pasangan Ahok-Djarot (51 persen).
Jika Anies-Sandi dan Ahok-Djarot akhirnya bertemu pada putaran kedua, maka ini tentu akan menguntungkan pasangan Anies-Sandi. Besar kemungkinan bahwa mayoritas mantan pemilih Agus-Sylvi akan mengalihkan suara ke Anies-Sandi. Selain karena sentimen agama tadi, juga tentu karena pemilih Agus-Sylvi pada dasarnya adalah pemilih yang menginginkan perubahan di Jakarta. Saya memperkirakan suara Ahok-Djarot akan mentok di kisaran 35-40 persen, sementara sisanya akan milik Anies-Sandi. Ketika sudah sampai di sini, Anies-Sandi akan menjadi gubernur Jakarta lima tahun yang akan datang. Dengan kata lain, Ahok-Djarot tamat.
Analisa ini tentu dengan tidak mempertimbangkan faktor X, seperti kecurangan pada saat akan pemungutan suara atau saat penghitungan. KTP ganda, pemilih siluman, dan money politic sangat mungkin terjadi dan bisa membalik keadaan. Kita berharap semoga pilkada DKI bersih dari kecurangan. Semoga pilkada ini bisa menghasilkan pemimpin yang terbaik untuk semua, yang membawa ibu kota menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Selamat memilih dan selamat berpesta warga Jakarta! Wallahu’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H