Sementara, lembaga survei yang mengunggulkan Anies-Sandi adalah survei yang dilakukan oleh SPIN (Survei& Polling Indonesia). Rilis terakhir mereka menemukan bahwa elektabilitas Anies-Sandi adalah sebesar 41,74 persen. Posisi kedua ditempati oleh Ahok-Djarot 30,04 persen. Pasangan Agus-Sylvi di posisi buncit dengan elektabilitas 24,95 persen.
Lembaga lain yang menempatkan Anies –Sandi sebagai peraih suara terbanyak adalah hasil survei PolMark. Lembaga pimpinan Eeep Saiful Fatah ini melaporkan pasangan Anies-Sandi berada di posisi elektabilitas teratas dengan persentase 25,3 persen. Menyusul pasangan Agus-Sylvi sebesar 23,9 persen dan pasangan Ahok-Djarot sebesar 20,4 persen.
Berbedanya perolehan atau rilis beberapa lembaga surveiini, sekali lagi, menunjukkan bahwa peta kekuatan pilkada DKI relatif seimbang. Tidak ada yang terlalu dominan. Pertarungannya akan sangat sengit. Segala kemungkinan masih bisa terjadi. Ini tentu adalah kompetisi yang alot dan menarik.
Peta Kekuatan
Ketatnya persaingan pilkada Jakarta ini tak lepas dari beberapa kekuatan sekaligus kelemahan yang dimiliki oleh setiap pasang calon. Pasangan Agus-Sylvi, misalnya, populer di kalangan pemilih pemula. SurveiLSI mengklaim bahwa lebih 52 persen pemilih pemula akan memilih pasangan Agus-Sylvi. Populernya pasangan ini di kalangan anak muda mudah dipahami karena sosok Agus yang masih muda, pintar, dan ganteng. Tim Agus-Sylvi sepertinya serius menggarap pemilih pemula ini, karena jumlah pemilih pemula di DKI Jakarta mencapai 700,000 orang (10.07 persen dari total pemilih pilkada DKI).
Keseriusan itu, misalnya, terlihat dari tampilan Agus yang senantiasa terlihat segar, stylish, dan smart look dalam berbagai kegiatan. Selain unggul di kalangan pemilih pemula ini, Agus-Sylvi juga diuntungkan karena Sylvi satu-satunya calon perempuan. Ini belum bicara tentang pamor politik SBY yang belum sepenuhnya pudar. Tentu juga akan menguntungkan Agus-Sylvi. Walau pada saat yang sama, fakta bahwa Agus adalah anaknya SBY juga bisa menjadi kelemahan pasangan ini, karena dia bisa menjadi sasaran tembak, terutama dari kalangan kritis yang menolak dinasti politik di Indonesia.
Selain dukungan PDIP sebagai pemenang pileg 2014 di DKI Jakarta (walau tak bulat) dan dukungan kuat etnis Tionghoa, paslon Ahok-Djarot diuntungkan karena sebagai incumbent yang telah bekerja di Jakarta. Dalam beberapa kampanye dan debat paslon, Ahok-Djarot dengan gamblang menceritakan apa yang telah mereka kerjakan. Suka ataupun tidak, walau masalah Jakarta masih jauh dari selesai, karena kemacetan dan banjir masih tetap menjadi kisah berulang di Jakarta, bahwa secara fisik Jakarta memang mengalami perubahan cukup berarti dalam beberapa tahun terakhr. Kalangan menengah (non-ideologis) sepertinya sangat merasakan perubahan fisik Jakarta ini. Jakarta menjadi lebih nyaman dan terlihat lebih tertata dari sebelumnya. Banyak sungai yang mulai bersih. Pembangunan taman kota dan tempat bermain keluarga di beberapa titik kota, dan sistem transportasi yang makin nyaman adalah diantara alasan kalangan menengah Jakarta untuk mendukung Ahok-Djarot.
Selain masalah kebijakan pembangunannya yang terlihat kentara pro-pengembang dan kurang bersahabat dengan rakyat kecil (terutama dalam kasus reklamasi pantai Jakarta), dan aroma korupsi dalam kasus Sumber Waras, masalah terbesar Ahok adalah dalam hal komunikasi politik dengan banyak pihak. Berkali-kali Ahok membuat blunder yang merugikan elektabilitasnya. Dia dipersepsi sebagai gubernur yang angkuh, kasar, dan tidak empatik. Kasus Al-Maidah:51 itu adalah puncak blunder yang justru mengancam eksistensi politiknya di pilkada Jakarta mendatang. Blunder itu dia perparah saat dia dan tim kuasa hukumnya berlaku kasar kepada KH Ma’ruf Amin di persidangan. Perlakukan yang bikin gerah warga NU. Bunuh diri politik. Ahok bakan disebut sebagai ancaman serius kebhinnekaan Indonesia.
Anies-Sandi kemudian muncul sebagai paslon yang menawarkan diri sebagai alternatif pimpinan Jakarta. Anies-Sandi tidak hanya datang dengan tawaran program baru, misalnya mereka dengan tegas akan menghentikan proyek reklamasi, tetapi juga menempatkan diri sebagai paslon anti tesa Ahok. Jika Ahok dipersepsi angkuh dan kasar, maka Anies-Sandi muncul sebagai calon yang cerdas dan santun. Sebagai mantan aktivis dan mantan menteri, Anies cukup pandai menari dalam irama pilkada DKI yang keras. Beberapa buly yang diarahkan kepadanya bisa direspon dengan proporsional oleh mantan mentri pendidikan ini. Latar belakangnya yang relatif bersih menutup pintu lawan politiknya untuk melakukan serangan black campaign kepadanya.
Dukungan Prabowo (Gerindra) dan PKS adalah juga diantara kekuatan lain pasangan Anies-Sandi. Jangan lupa bahwa pada pileg terakhir, Gerindra dan PKS adalah dua parpol dengan suara terbanyak di Jakarta setelah PDIP (masing-masing 592.568 suara dan 424.400 suara). Bintang politik Prabowo masih bersinar terang sampai sekarang. Sementara PKS dikenal dengan mesin politik yang tangguh dan dengan kadernya yang militan. Mereka hampir pasti akan all out memenangkan Anies Sandi. Anies-Sandi akan lebih banyak dipilih oleh pemilih muslim ideologis. Gelombang energi Al-Maidah:51 itu sepertinya akan lebih banyak menguntungkan pasangan ini.
Dua Putaran