Mohon tunggu...
Asri Wijayanti
Asri Wijayanti Mohon Tunggu... Konsultan - Penyintas Autoimun, Konsultan Komunikasi

Perempuan asal Semarang, penyintas autoimun, pernah bekerja lembaga internasional di Indonesia dan Myanmar, di bidang pengurangan risiko bencana. Saat ini bekerja sebagai konsultan komunikasi di sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi. Alumni State University of New York di Albany, AS, Departemen Komunikasi. Suka belajar tentang budaya dan sejarah, menjelajah, dan mencicipi makanan tradisional. Berbagi cerita juga di www.asriwijayanti.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdaya di Kepungan Asap

7 Oktober 2015   09:30 Diperbarui: 7 Oktober 2015   09:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut asap mendera enam provinsi di Indonesia. Foto-foto yang menggambarkan pekatnya asap, dan berita-berita yang mengabarkan penderitaan yang saat ini dialami oleh warga yang mengalami sesak nafas dan mata yang pedih, beredar tiap hari di media massa dan media sosial. Saya selalu miris memandang foto-foto itu.  

Merasa Tak Berdaya, Padahal Berdaya

Tapi percakapan di sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti kemarinlah membuat saya ingin menulis artikel ini. Pembicaraan tentang kabut asap di grup itu hanya berkisar pada ungkapan kasihan dan kemarahan, terutama kepada pemerintah dan pembakar hutan. Berjam-jam, pemikiran yang konstruktif tak kunjung muncul. 

Seorang teman di grup itu bahkan menulis, “yah, kita sebagai rakyat memang tidak bisa apa-apa. Paling kita cuma bisa berdoa.”

Teman saya, yang bilang ia hanya bisa berdoa itu adalah pria yang sehat, berumur tigapuluhan, tinggal di wilayah Jabodetabek, punya pekerjaan yang bagus, punya banyak teman dan kenalan, diantaranya orang ternama. Padahal, saudara-saudara kita yang dikepung asap, susah bernafas dan pedih matanya, tetap teguh berjuang. Tagar #MelawanAsap yang tersebar di media sosial jadi pesan yang menginspirasi dan menggerakkan banyak orang.

Pernyataan pasrah saat bencana memang sangat sering muncul dalam perbincangan. Di sepanjang pengamatan saya, bersedih, mengeluh, mengecam, menyalahkan, mengutuk, atau ungkapan kepasrahan sudah menjadi biasa di linimasa media sosial dan kolom komentar pada berita-berita tentang bencana alam maupun non-alam. 

Pertanyaan yang juga sering muncul ketika bencana datang bukanlah, “Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan?”, tapi justru “Ini salah siapa?”

Seorang teman yang cukup bijak sempat berkata, “sudah cukup bagus mereka bisa berempati pada korban bencana.” Ya. Saya sepakat. “punya empati sudah bagus” . Namun, bukankah lebih bermanfaat bila empati dibarengi juga dengan tindakan? Kesedihan dan kemarahan adalah emosi yang kuat dan sanggup menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu. Kenapa kekuatan emosi itu tak disalurkan menjadi energi untuk membuat perubahan positif?

Padahal, sebetulnya banyak yang bisa kita berdayakan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Misalnya, teman-teman di Facebook kita tak hanya berpotensi jadi komentator. Mereka juga berpotensi jadi kontributor dan donatur. Jejaring saja, adalah adalah aset penting bagi sebuah gerakan sosial.

Agenda Jangka Pendek: Membantu Meringankan Penderitaan

Untuk membantu perjuangan  melawan asap, dalam jangka pendek ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

1. Masker: mengingat asap belum juga memudar, kita bisa membantu mengurangi paparan polusi asap di skala individual. Anak-anak muda hebat di Riau memulai inisiatif ini sejak pertengahan September. Mereka menunjukkan, masker adalah benda kecil yang bisa membuat perubahan. Inspirasinya menyebar ke seluruh penjuru negeri. Mereke membuat masyarakat tahu bahwa warga yang yang tinggal di wilayah kabut asap perlu memakai masker yang layak. Masker N95 yang bisa menyaring partikel-partikel berbahaya di udara sangat disarankan. Ia bisa terpasang lebih erat namun juga lebih nyaman dipakai daripada masker kedokteran biasa. 

Untuk informasi, berikut organisasi-organisasi yang saya ketahui sedang bergerak mengumpulkan dana untuk menyediakan masker N95 bagi masyarakat yang terdampak:

SSEAYP International Indonesia

Kita Bisa

Akademi Berbagi Pekanbaru

Anda juga bisa ikut membantu melalui mereka, atau langsung mengirimkan bantuan Anda pada orang/organisasi yang Anda kenal.

2. Air Purifier: alat pembersih udara ini bisa membantu meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan. Ada yang berminat mengirimkan ini sebagai kado, mungkin untuk bangsal anak-anak di rumah sakit, atau untuk panti perawatan lansia?

3. Layanan kesehatan: rekan-rekan yang memiliki latar belakang medis dapat memberikan layanan kesehatan pada masyarakat yang terdampak. Yang lainnya bisa tetap membantu dengan menyumbangkan obat atau peralatan yang diperlukan.

4. Tak punya dana untuk disumbangkan, atau tak punya keahlian medis? Tidak apa-apa. Kita tetap bisa membantu dengan ikut membagikan informasi tentang cara membantu saudara-saudara kita yang terdampak kabut asap, level pencemaran udara, atau cara-cara menjaga kesehatan.

5. Rekan-rekan Kompasianer punya ide cemerlang lainnya? Silakan dituliskan di kolom komentar di bawah ya…

Apa yang bisa kita pikirkan, biasanya bisa kok, kita laksanakan.

Agenda Jangka Panjang: Memutus Bencana Kabut Asap

Memutus mata rantai kabut asap adalah pekerjaan besar. Banyak kepentingan yang terlibat, dan perlu keseriusan dari semua pihak. Ini adalah perjuangan yang membutuhkan pemahaman kita tentang kebijakan dan perangkat penegakan hukum.

Masyarakat punya hak, dan jalur-jalur untuk menyuarakan pendapat dan  masukannya. Kanal-kanal jurnalisme warga, diskusi dengan para pembuat kebijakan, kampanye, atau petisi, adalah beberapa jalan yang bisa ditempuh. Ini salah satu petisi #MelawanAsap yang saya dapati di Change.org:

Cabut izin usaha dan pengelolaan hutan perusahaan-perusahaan pembakar hutan di Riau dan sekitarnya! Usir mereka dari Riau!

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar pun sudah ikut menanggapinya. Beliau mengakui, tahun ini luasan lahan yang terbakar adalah 190 ribu hektare (ha) lebih. Jauh lebih luas bila dibandingkan dengan tahun lalu, yang sekitar 40 ribu saja.

Untuk bisa lebih didengarkan, ada pre-kondisi yang perlu kita penuhi. Sebelum mengajukan desakan, kita perlu tahu di mana kekurangan peraturan terkait pengelolaan hutan dan perkebunan, pembakaran lahan, dan penanggulangan bencana. Tujuannya bukan untuk memberikan permakluman, tapi agar memiliki pengetahuan yang cukup sebagai ‘amunisi’ untuk mendorong pemerintah memperbaiki dan memperkuat aturan hukum dan kebijakannya.

Dalam kasus darurat asap, setidaknya ada satu Undang-Undang (UU) dan satu peraturan pemerintah (PP) yang disebut-sebut terkait dengan isu kebakaran lahan, yang perlu diketahui:

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

Menteri LHK telah menyuarakan perlunya revisi terhadap Undang-undang No. 32/2009 ini yang masih mengizinkan pembakaran lahan. UU No. 32/2009 ini memang cukup rancu. Di Pasal 69 Ayat (1) huruf h terdapat larangan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Sementara, ayat (2) menjelaskan bahwa ketentuan pada ayat (1) huruf h tersebut “memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”

Sementara, penjelasan Pasal 69 ayat (2) berbunyi: “kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga…” 

Tanpa mekanisme pengawasan yang baik, ‘peluang’ ini tentu rawan disalahgunakan. 

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2014 tentang Pengelolaan Ekosistem Gambut

Mengingat terbakarnya lahan gambut berkontribusi pada tebalnya kabut asap, aturan ini penting untuk diketahui. Pasal 25 di PP yang merupakan salah satu peraturan turunan UU 32/2009 ini menegaskan, “Setiap orang dilarang: a. membuka lahan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung; b. membuat saluran drainase yang mengakibatkan Gambut menjadi kering;  dan c. membakar lahan gambut…”

PP No. 71/2014 juga menegaskan kewajiban penanggungjawab usaha untuk menanggulangi kerusakan Ekosistem Gambut. Oleh karena itu, sehubungan dengan desakan penetapan bencana kabut asap menjadi bencana nasional, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Raffles B. Panjaitan dan Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi Zenzi Suhadi justru khawatir bila penetapan status kabut asap menjadi  bencana nasional justru akan menguntungkan pihak korporasi. Pasalnya, jika status kebakaran lahan gambut berubah menjadi bencana nasional, nantinya seluruh tanggung jawab akan diambil alih oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan penyulut hutan melepaskan tanggung jawabnya.

Sebetulnya ada celah untuk menghentikan aksi perusahaan-perusahaan pembakar hutan. Azas otonomi daerah menggariskan urusan  pengelolaan sumberdaya kehutanan dan pemberian izin untuk usaha perkebunan sebagai urusan pemerintah daerah dan pusat. Maka sebetulnya mereka pun sebetulnya punya kewenangan untuk menghentikan langkah perusahaan-perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

Penetapan Status Bencana

Menurut UU N0. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 7 ayat (2), status dan tingkatan bencana didasarkan pada  indikator yang meliputi a) jumlah korban, b) kerugian harta benda, c) kerusakan sarana dan prasarana, d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Hingga kini hanya Tsunami Aceh 2004 yang ditetapkan menjadi bencana nasional, karena masifnya dampak bencana, hancurnya sarana dan prasarana publik, dan melemahnya pemerintah daerah akibat bencana tersebut.

Siaran pers BNPB menyebutkan, ketentuan penetapan status dan tingkatan bencana seharusnya diatur dengan Peraturan Presiden (PP). Sayangnya, hingga kini PP tersebut belum ditetapkan karena belum tercapainya kesepakatan dengan berbagai pihak, meskipun rancangan PP atau Raperpres Penetapan Status dan Tingkatan bencana ini sudah dibahas sejak tahun 2009. (BNPB, 2015)

Di era otonomi daerah, urusan bencana adalah urusan bersama yang juga didesentralisasikan. Bupati/Walikota menjadi penanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana di wilayahnya. Gubernur, dengan sumber daya yang dimiliki provinsi, memberikan bantuan kepada kabupaten/kota yang terkena bencana. Sementara, Pemerintah Pusat memberikan bantuan yang yang tidak dimiliki daerah, yang meliputi bantuan manajerial, pendanaan, logistik dan peralatan, dan administrasi.

Penetapan status bencana akan berdampak pada penguasaan dan penggerakan aset dan sumberdaya dan penggunaan kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Di sisi lain, penetapan status bencana nasional sebagai bencana nasional juga sering dibaca oleh negara-negara luar sebagai indikasi bahwa pemerintah yang bersangkutan memerlukan bantuan eksternal. Karena itulah, sebelum memutuskan status bencana nasional, Presiden memerlukan masukan dan rekomendasi dari kementrian dan lembaga terkait.

Apapun implikasinya, sudah saatnya pemerintah menuntaskan pekerjaan rumah yang tertunda: menyepakati dan menetapkan peraturan yang jelas tentang penentuan status bencana.

Urusan Penanggulangan Bencana sangat memerlukan kontribusi dari semua pihak, termasuk komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana yang memandai bagi urusan penanggulangan bencana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya. Di wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan, semestinya Pemerintah Daerah mengalokasikan lebih banyak sumberdaya untuk mencegah dan menanggulangi kabut asap, dan tegas menindak para pembakar hutan. Pertanyaannya, sudahkah perjuangan melawan asap dengan cara ini ini dilakukan?

Kembali pada apa yang bisa dilakukan oleh “rakyat biasa”, pertanyaannya kini adalah, bersediakah kita mengubah sikap dalam menghadapi bencana? Maukah kita beralih dari orang yang hanya mengeluh menjadi orang yang ikut menggerakkan bantuan dan menyuarakan perubahan?

Mampukah kita terus belajar, supaya  bisa melihat celah dan peluang untukmemperbaiki sistem penanggulangan bencana di Indonesia, lalu terus menyuarakan masukan kita?

Saya yakin, kita semua bisa.

 

****

 

Sumber:

BNPB: Belum Ada Penetapan Asap Sebagai Bencana Nasional

PP No. 71 tahun 2014

Tempo.Co: Kabut Asap Jadi Bencana Nasional, Ini yang Dikhawatirkan[caption caption="Sumber: https://twitter.com/studentsvaganza"][/caption]

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

UU No. 24 Tahun 2004 tentang Penanggulangan Bencana

Waspada Online: UU Lingkungan Hidup Bolehkan Pembakaran Hutan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun