Agenda Jangka Panjang: Memutus Bencana Kabut Asap
Memutus mata rantai kabut asap adalah pekerjaan besar. Banyak kepentingan yang terlibat, dan perlu keseriusan dari semua pihak. Ini adalah perjuangan yang membutuhkan pemahaman kita tentang kebijakan dan perangkat penegakan hukum.
Masyarakat punya hak, dan jalur-jalur untuk menyuarakan pendapat dan masukannya. Kanal-kanal jurnalisme warga, diskusi dengan para pembuat kebijakan, kampanye, atau petisi, adalah beberapa jalan yang bisa ditempuh. Ini salah satu petisi #MelawanAsap yang saya dapati di Change.org:
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar pun sudah ikut menanggapinya. Beliau mengakui, tahun ini luasan lahan yang terbakar adalah 190 ribu hektare (ha) lebih. Jauh lebih luas bila dibandingkan dengan tahun lalu, yang sekitar 40 ribu saja.
Untuk bisa lebih didengarkan, ada pre-kondisi yang perlu kita penuhi. Sebelum mengajukan desakan, kita perlu tahu di mana kekurangan peraturan terkait pengelolaan hutan dan perkebunan, pembakaran lahan, dan penanggulangan bencana. Tujuannya bukan untuk memberikan permakluman, tapi agar memiliki pengetahuan yang cukup sebagai ‘amunisi’ untuk mendorong pemerintah memperbaiki dan memperkuat aturan hukum dan kebijakannya.
Dalam kasus darurat asap, setidaknya ada satu Undang-Undang (UU) dan satu peraturan pemerintah (PP) yang disebut-sebut terkait dengan isu kebakaran lahan, yang perlu diketahui:
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Menteri LHK telah menyuarakan perlunya revisi terhadap Undang-undang No. 32/2009 ini yang masih mengizinkan pembakaran lahan. UU No. 32/2009 ini memang cukup rancu. Di Pasal 69 Ayat (1) huruf h terdapat larangan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Sementara, ayat (2) menjelaskan bahwa ketentuan pada ayat (1) huruf h tersebut “memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”
Sementara, penjelasan Pasal 69 ayat (2) berbunyi: “kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga…”
Tanpa mekanisme pengawasan yang baik, ‘peluang’ ini tentu rawan disalahgunakan.