Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 tahun 2014 tentang Pengelolaan Ekosistem Gambut
Mengingat terbakarnya lahan gambut berkontribusi pada tebalnya kabut asap, aturan ini penting untuk diketahui. Pasal 25 di PP yang merupakan salah satu peraturan turunan UU 32/2009 ini menegaskan, “Setiap orang dilarang: a. membuka lahan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung; b. membuat saluran drainase yang mengakibatkan Gambut menjadi kering; dan c. membakar lahan gambut…”
PP No. 71/2014 juga menegaskan kewajiban penanggungjawab usaha untuk menanggulangi kerusakan Ekosistem Gambut. Oleh karena itu, sehubungan dengan desakan penetapan bencana kabut asap menjadi bencana nasional, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Raffles B. Panjaitan dan Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi Zenzi Suhadi justru khawatir bila penetapan status kabut asap menjadi bencana nasional justru akan menguntungkan pihak korporasi. Pasalnya, jika status kebakaran lahan gambut berubah menjadi bencana nasional, nantinya seluruh tanggung jawab akan diambil alih oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan penyulut hutan melepaskan tanggung jawabnya.
Sebetulnya ada celah untuk menghentikan aksi perusahaan-perusahaan pembakar hutan. Azas otonomi daerah menggariskan urusan pengelolaan sumberdaya kehutanan dan pemberian izin untuk usaha perkebunan sebagai urusan pemerintah daerah dan pusat. Maka sebetulnya mereka pun sebetulnya punya kewenangan untuk menghentikan langkah perusahaan-perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Penetapan Status Bencana
Menurut UU N0. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 7 ayat (2), status dan tingkatan bencana didasarkan pada indikator yang meliputi a) jumlah korban, b) kerugian harta benda, c) kerusakan sarana dan prasarana, d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Hingga kini hanya Tsunami Aceh 2004 yang ditetapkan menjadi bencana nasional, karena masifnya dampak bencana, hancurnya sarana dan prasarana publik, dan melemahnya pemerintah daerah akibat bencana tersebut.
Siaran pers BNPB menyebutkan, ketentuan penetapan status dan tingkatan bencana seharusnya diatur dengan Peraturan Presiden (PP). Sayangnya, hingga kini PP tersebut belum ditetapkan karena belum tercapainya kesepakatan dengan berbagai pihak, meskipun rancangan PP atau Raperpres Penetapan Status dan Tingkatan bencana ini sudah dibahas sejak tahun 2009. (BNPB, 2015)
Di era otonomi daerah, urusan bencana adalah urusan bersama yang juga didesentralisasikan. Bupati/Walikota menjadi penanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana di wilayahnya. Gubernur, dengan sumber daya yang dimiliki provinsi, memberikan bantuan kepada kabupaten/kota yang terkena bencana. Sementara, Pemerintah Pusat memberikan bantuan yang yang tidak dimiliki daerah, yang meliputi bantuan manajerial, pendanaan, logistik dan peralatan, dan administrasi.
Penetapan status bencana akan berdampak pada penguasaan dan penggerakan aset dan sumberdaya dan penggunaan kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Di sisi lain, penetapan status bencana nasional sebagai bencana nasional juga sering dibaca oleh negara-negara luar sebagai indikasi bahwa pemerintah yang bersangkutan memerlukan bantuan eksternal. Karena itulah, sebelum memutuskan status bencana nasional, Presiden memerlukan masukan dan rekomendasi dari kementrian dan lembaga terkait.
Apapun implikasinya, sudah saatnya pemerintah menuntaskan pekerjaan rumah yang tertunda: menyepakati dan menetapkan peraturan yang jelas tentang penentuan status bencana.
Urusan Penanggulangan Bencana sangat memerlukan kontribusi dari semua pihak, termasuk komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana yang memandai bagi urusan penanggulangan bencana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya. Di wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan, semestinya Pemerintah Daerah mengalokasikan lebih banyak sumberdaya untuk mencegah dan menanggulangi kabut asap, dan tegas menindak para pembakar hutan. Pertanyaannya, sudahkah perjuangan melawan asap dengan cara ini ini dilakukan?