Mohon tunggu...
Afif M Taftazani
Afif M Taftazani Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, professional

Pemerhati financial, valuasi, manajemen risiko

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gempuran E-Commerce, Perlukah Pedagang Pasar Tanah Abang Beralih ke Penjualan Online?

29 November 2023   11:25 Diperbarui: 29 November 2023   16:17 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Beberapa waktu belakangan kita diramaikan dengan pemberitaan sepinya Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang yang sempat berjaya dan disebut pusat perdagangan konveksi/fashion terbesar di Asia Tenggara sekarang mulai sepi seperti yang dikeluhkan banyak pedagang.

Adanya platform social commerce (Tik Tok Shop dan sejenisnya) disinyalir sebagai penyebab utama sepinya pasar Tanah Abang. Bahkan beredar informasi pemerintah akan menutup platform Tik Tok Shop. Yang jadi pertanyaan, haruskah pedagang Pasar Tanah Abang beralih ke sistem penjualan online? Benarkah pemerintah akan menutup platform Tik Tok Shop? Apa yang harus dilakukan pelaku usaha di Pasar Tanah Abang untuk terus bersaing? Bagaimana seharusnya peran pengelola Pasar Tanah Abang dan Pemerintah dalam menyikapi kondisi ini?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih dahulu perlu dipahami perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2023, dari total pelaku usaha di Indonesia, 37,46% adalah usaha e-commerce dan sisanya 62,54% usaha non e-commerce. Ditinjau dari sisi geografis, tercatat 76,38 % usaha eCommerce berada di pulau Jawa dan sisanya (23,62%) tersebar pada provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa.

Dilihat dari perkembangan usaha, jumlah usaha ecommerce tahun 2022 sejumlah 2.995.986 usaha atau meningkat 4,46% dari tahun sebelumnya. Namun apabila dilihat perkembangan selama tiga tahun terakhir, 71% bisnis eCommerce beroperasi dari sebelum tahun 2020.  Artinya dibandingkan tahun 2020, jumlah usaha eCommerce tahun 2022 telah meningkat 40,85%. Hal ini menunjukkan perkembangan usaha eCommerce yang meningkat tajam dan apabila tren ini berlanjut, eCommerce akan menjadi usaha yang dominan di Indonesia.

Berdasarkan data BPS di atas, pergeseran preferensi konsumen dan dunia usaha dalam bertransaksi telah menjadi keniscayaan. Perubahan paradigma ini (Shifting in Paradigm) telah berkembang dalam satu decade terahir dengan adanya disruptive technology yang membawa pada Digital Revolution.

Digital revolution ditandai munculnya eCommerce, Fintech, AI, Robot, Cryptocurrency, Smart City, Internet of Thing (IOT), Internet of Everything (IoE), Clouds, Big Data dan lainnya. Di sini saya tidak mengulas terkait disruptif technology dan digital revolution, karena ulasan seperti ini sudah banyak. Namun, sebagai contoh jika perusahaan internasional bidang teknologi terkemuka seperti Blackberry, Motorolla, Nokia, Sony tidak dapat bertahan menghadapi badai besar (big wave) disruptive ini, bagaimana dengan perusahaan kecil?

Jika perusahaan establish dengan dukungan financial besar, system manajemen yang tertata, SDM yang kompeten dan mumpuni, akses informasi yang luas, peralatan dan teknologi yang mutakhir tidak dapat bertahan, bagaimana dengan usaha perseorangan yang lebih sederhana?

Kembali ke pertanyaan awal, dengan semakin berkembangnya eCommerce, apakah pedagang di Pasar Tanah Abang perlu beralih ke penjualan online? Di satu sisi, pelaku usaha di Pasar Tanah Abang banyak mengeluh penurunan omzet penjualan akibat menjamurnya eCommerce. Namun jika dilihat lebih dalam, persaingan yang terjadi bukan persaingan produk, mengingat produk Pasar Tanah Abang terkenal dengan kualitas dan harganya yang relative terjangkau.

Artinya Pasar Tanah Abang sudah punya customer eksisting yang luas. Pertanyaannya, jika bukan karena produk, kenapa customer eksisting pindah ke produk lain? Dalam teori Porter Five Forces Model, persaingan selain ditentukan dari ancaman pendatang baru dan produk substitusi, persaingan juga ditentukan dari posisi tawar pemasok dan pembeli. Pelaku usaha eCommerce banyak pendatang baru, tidak akan cukup kuat menyaingi brand equity Pasar Tanah Abang sebagai icon bisnis fashion terbesar di Asia Tenggara.

Ancaman produk substitusi juga tidak signifikan, seperti yang telah dijelaskan d iatas, produk Pasar Tanah Abang cukup berkualitas dengan harga relative terjangkau.  Dengan demikian faktor utama adalah dari posisi tawar pembeli dan pemasok menjadi kunci utama. Dalam berbisnis, sering pelaku usaha mencoba berbagai strategi untuk sukses menjual. Promosi yang gencar, dengan berbagai promo dan diskon untuk menarik minat konsumen.

Sebenarnya itu pola lama. Sekarang terjadi pergeseran, bukan lagi bagaimana sukses menjual tetapi bagaimana konsumen sukses membeli. Barang bagus, harga bersaing, juga harus diimbangi dengan kemudahan bertransaksi. Ketika semakin banyak supplier dengan kualitas dan harga yang selatif seimbang, maka kemudahan bertransaksi akan menjadi pembeda.

Dalam eCommerce, konsumen dimanjakan dengan katalog produk, live promotion yang memudahkan konsumen berinteraksi langsung, ditunjang system pembayaran yang mudah (COD, transfer, atau sarana digital lainnya) serta didukung pengiriman barang yang juga dapat dipantau pembeli.

Dengan demikian, konsumen merasa seperti dimanjakan.  Bagi suplier, mereka dapat memotong biaya sewa tempat dan tenaga kerja, sehingga bisa memotong harga jual produk. Berdasarkan data BPS 2023, 79,28% pelaku usaha eCommerce adalah perorangan.

Usaha perorangan artinya tempat usaha bisa di rumah sendiri, dan dilakukan sendiri. Efisien biaya, berdampak langsung pada pemotongan harga jual. Kombinasi ini yang membuat bisnis eCommerce menjadi primadona bagi konsumen. Pola transaksi online ini mendapat booster pada pandemi covid19 tahun 2020-2022 dimana batasan mobilitas memantik orang untuk bertransaksi via online. Ini telah menjadi habit baru.

Jika demikian, apa yang seharusnya dilakukan pelaku usaha di Pasar Tanah Abang? Jawabannya sangat simple, berubah. Ini bukan bagaimana kita menunggu perubahan, tetapi bagaimana perubahan akan menjemput kita dengan tawaran, mau ikut atau tidak. Jika ingin sustain, maka tentunya kita harus ikut.

Namun demikian, dampak perubahan akibat badai disruptif kepada seseorang atau untitas bisnis dapat berbeda beda tergantung karakteristik usahanya. Ketika datang badai disruptif, akan berpengaruh kepada perubahan tiga hal: model infrastruktur, model operasional dan model bisnis.

Perubahan model infrastruktu, terjadi seperti dampak hadirnya smartphone terhadap perusahaan real estate.  Perusahaan real estate tidak akan terpengaruh model bisnisnya, tetap akan beroperasi seperti ketika smartphone belum muncul. Namun demikian, manajemen perlu menggunakan smartphone dalam kegiatan usaha, untuk komunikasi dengan tim kerja dan customer, memantau produktivitas agen dan kegunaan lainnya tanpa adanya perubahan operasional yang signifikan.

Perubahan model operasional, seperti dampak era digtal pada perusahaan penerbangan. Konsumen akan menggunakan smartphone mereka untuk mengecek jadwal, membeli tiket, check in dan mendapatkan boarding pass. Dengan demikian perusahaan penerbangan harus berinvestasi dengan tools yang dapat memfasilitasi konsumen dengan jadwal penerbangan, penjualan tiket sampai boarding pass yang dapat diakses secara online menggunakan smartphone. 

Perubahan model bisnis, sebagai contoh perusahaan periklanan. Perubahan pada industry perikanan cukup dramatis, dimana iklan di papan billboard, koran, radio dan bahkan iklan TV sudah mulai tergantikan iklan online.  Iklan online tersebut diakses di berbagai peralatan seperti desktop, laptop, tablet dan juga smartphone. Hal ini sejalan dengan munculnya platform periklanan seperti di Google Ads, facebook ads, tik tok shop, dll.

Berdasarkan karakteristik diatas, usaha fashion di Tanah Abang masuk katagori Model Operasional. Dalam model operasional, pelaku usaha perlu menyesuaikan operasional usaha dengan perkembangan teknologi dan preferensi konsumen. Bagaimana cara melakukannya? Untuk hal ini, ada dua cara yang perlu dilakukan.

Pertama harus memodernisasi operasional usaha saat ini semampu dan sesegera mungkin. Modernisasi dilakukan dengan menyiapkan perangkat untuk promosi dan penjualan online serta menggunakan platform marketplace seperti facebook ads, traveloka, tokopedia, dan sejenisnya maupun social commerce seperti Tik Tok Shop dengan tetap mempertahankan model penjualan konvensional seperti yang ada sekarang.

Pada tahap ini, sistem penjualan metode konvensional pararel tetap diterapkan. Pertanyaannya, apakah hal ini mudah dilakukan? Bagaimana mengubah kebiasaan dan cara kerja yang sudah menjadi habit atau kebiasaan?

Berdasarkan data BPS 2023, hampir semua penjualan secara online melalui aplikasi pesan instan (WhatsApp, Line, Telegram, dan sebagainya) sebanyak 95,17%. 41,30% berjualan online melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube. 19,75% usaha yang memiliki akun penjualan di marketplace/platform digital. 7,05% usaha yang menggunakan e-mail. Dan hanya 2,09% usaha yang menggunakan website.

Data ini menunjukkan bahwa infrastruktur yang digunakan untuk penjualan online masih sederhana. Masih banyak ruang untuk masuk ke berbagai platform digital. Dengan demikian, perubahan model operasional cukup mungkin dilakukan. Sebagai contoh perusahaan taksi konvensional seperti Blue Bird, menyikapi perubahan dengan menggunakan sarana aplikasi online untuk pemesanan dan bekerja sama dengan GoCar untuk mendapatkan pelanggan. 

Permasalahaan yang ada adalah bukan tidak mau berubah atau beradaptasi, namun karena minimnya informasi dan pelatihan terkait eCommerce. Data BPS menunjukkan hanya 4,42% usaha pernah mendapat pelatihan terkait pemanfaatan teknologi informasi untuk pemasaran secara digital.

Dari jumlah tersebut pelatihan dari swasta sebesar 65,51% dan hanya 34,49% mendapatkan pelatihan dari instansi pemerintah. Dengan demikian dalam hal ini pemerintah khususnya pengelola pasar Tanah Abang perlu secara proaktif memberikan pelatihan IT dan digital marketing kepada tenant-tenant di Pasar Tanah Abang.

Cara yang kedua, secara pararel, dengan pendekatan Portofolio. Dalam pendekatan ini, pelaku usaha tidak berdiri sendiri tetapi terintegrasi dengan seluruh tenant yang ada. Tentunya harus ada peran dari Pengelola Pasar. Pengelola Pasar harus melihat usaha Pasar Tanah Abang sebagai satu kesatuan usaha dan menyiapkan perangkat dan system digital yang mengintegrasikan seluruh tenant dan memudahkan konsumen berbelanja. Perangkat ini dapat berupa website yang simple namun informative, yang memuat seluruh produk yang ada dan dapat dilihat berdasarkan kategori produk, tenant, harga, bahan atau yang lainnya. Dengan demikian konsumen akan sangat terbantu dalam mencari produk yang diingikan dengan mudah dan simple.

Singkatnya pengelola berperan seperti marketplace khusus untuk tenant yang ada di Pasar tanah Abang. Tentunya ini harus didukung dengan perangkat-perangkat seperti digital marketing yang efektif ke konsumen, system pembayaran yang mudah, jaminan suplai chain (pengiriman) yang cepat dan aman, serta SOP yang mengikat keseluruhan tenant untuk menjamin keseragaman kualitas layanan. Dengan melakukan dua langkah ini, dimungkinkan iklim usaha di Pasar Tanah Abang mulai menggeliat, tumbuh dan berkembang seperti era kejayaan sebelumnya.

Selanjutnya, bagaimana peran Pemerintah? Pemerintah harus menjalankan fungsi sebagai regulator, fungsi pembinaan dan pengawasan dalam waktu yang bersamaan.

Sebagai regulator, Pemerintah telah mengeluarkan Kepmen No 31 Tahun 2023. Dalam Kepmen tersebut, dijelaskan mengenai mekanisme perijinan, pelaksanaan, pengawasan termasuk sangsi perdagangan eCommerce.  Kepmen tersebut mengatur pelaku usaha (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PMSE) maupun platform eCommerse (Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PPMSE).

Sangat disayangkan framing yang terjadi seolah-olah pemerintah akan menutup social commerse seperti Tik Tok Shop. Padahal justru pemerintah mengatur agar PPMSE luar negeri memiliki kantor perwakilan di Indonesia dan dapat menyelenggarakan perdagangan berbasis online dengan baik serta melindungi dan mengutamakan produk dalam negeri.

Selanjutnya sebagai Pembina, pemerintah perlu memperluas edukasi dan pelatihan bagi pelaku usaha eCommerce di Indonesia yang mayoritas dilakukan perseorangan. Terakhir dalam fungsi pemgawasan, pemerintah harus menjamin perlindungan dan hak-hak konsumen tanpa mengganggu iklim investasi dan operasional penyelenggara platform eCommerce.(*)

(*) Artikel ini telah penulis tulis di portal berita ketik tanggal 3 Oktpber 2023
https://ketik.co.id/berita/gempuran-ecommerce-perlukah-pedagang-pasar-tanah-abang-beralih-ke-penjualan-online#google_vignette 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun