Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apa Jadinya Bila Guru TK Lebih Banyak Memilih Bekerja dari Rumah?

16 Januari 2023   21:32 Diperbarui: 26 Januari 2023   17:47 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Sekolah Cikal berperan untuk memberikan masukan dan tanggapan melalui konferensi yang dilakukan secara individual alias satu per satu. (Dok. Sekolah Cikal)

Fleksibilitas bekerja dari rumah atau Work from Home (WFH) memang sudah tidak diragukan lagi. Setiap orang dapat bekerja tanpa harus mengalami kemacetan di jalan, menggunakan make up beserta wewangian yang proper, juga tak perlu overthinking apakah tadi sudah benar-benar mematikan kompor dan mengunci pintu rumah sebelum berangkat ke tempat kerja.

Dengan sistem WFH, seseorang bisa lebih 'santai' dalam bekerja sekaligus menghemat biaya transportasi, akomodasi, dan sebagainya. 

WFH sangat memungkinkan untuk dijalani sambil melakukan pekerjaan rumah lainnya sehingga terasa lebih kasual. Sistem ini sangat membantu bagi sebagian orang, apalagi ketika masa pandemi Covid-19 lalu.

Di samping WFH, muncul juga istilah Work from Away (WFA) dalam beberapa bulan terakhir. WFA dirasa lebih fleksibel lagi mengingat pekerjaan bisa dilakukan tidak hanya di rumah, tapi di mana saja. 

Istilah WFA muncul agar seseorang bisa melakukan beberapa hal sekaligus di luar tempat kerja. 

Dilansir dari Prosple, beberapa perusahaan sudah menerapkan sistem ini secara penuh seperti Flip, Bibit, Amartha, dan masih banyak lagi.

Transformasi digital yang semakin pesat sangat membantu pekerja untuk melaksanakan WFH maupun WFA. Kedua sistem tersebut diyakini lebih efektif dan efisien, bahkan berdasarkan riset dari USS Feed kalangan muda masa kini lebih menyukai bekerja tanpa harus repot menuju tempat kerja. 

Namun, rupanya tidak semua pekerjaan dapat dikerjakan dengan sistem ini. Atau lebih tepatnya, terdapat beberapa pekerjaan yang tidak akan bisa maksimal hasilnya dengan WFH/WFA.

Beberapa pekerjaan yang tidak dapat WFH/WFA secara mutlak yakni ojek online (yaiyalah!), kurir paket, juru parkir, serta banyak pekerjaan lapangan lainnya. 

Sedangkan, jenis pekerjaan yang kurang disarankan untuk dilakukan di luar tempat kerja yaitu hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar manusia seperti pekerjaan dalam sektor pendidikan.

Selama pandemi Covid-19 lalu, guru dan pelajar terpaksa harus melakukan pembelajaran secara daring. Rupanya hal tersebut menjadi masalah baru bagi kesehatan mental keduanya. 

Ilustrasi mengajar daring. Sumber: The 74
Ilustrasi mengajar daring. Sumber: The 74

Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 77% pelajar usia anak-anak dan remaja merasa lelah berujung stres akibat sistem pembelajaran daring.

Sebab, interaksi antara guru dan pelajar menjadi tidak maksimal akibat kendala teknis seperti sulit mendapatkan sinyal maupun perangkat pembelajaran digital yang terkadang mengalami human error. Hal tersebut menyebabkan guru lebih banyak memberikan tugas-tugas yang menumpuk untuk dikerjakan secara mandiri.

Di samping itu, pelajar mendapatkan banyak distraksi ketika melaksanakan pembelajar di rumah. Entah itu karena orangtua mereka dapat melakukan pengawasan lebih, banyak mainan pribadi yang seakan 'menggoda' untuk dimainkan, dan masih banyak lagi. 

Pembelajaran klasikal di kelas saja sulit maksimal dalam mengakomodir kebutuhan masing-masing pelajar, apalagi jika dilakukan secara daring.

Ilustrasi belajar daring. Sumber: UCL Blogs
Ilustrasi belajar daring. Sumber: UCL Blogs

Dari sekian jenjang pendidikan, tingkatan yang paling tidak disarankan untuk pembelajaran dari rumah yakni Taman Kanak-kanak (TK)/sederajat. 

Sebab, pelaksanaan pembelajaran di TK jauh berbeda dengan jenjang pendidikan lainnya mulai dari segi metode, media, strategi, hingga evaluasi. Berikut penjelasan selengkapnya:

Pertama, studi ahli perkembangan dari York University of Canada, Laurie McNelles mengungkap bahwa batas waktu konsentrasi pada anak usia 4-6 tahun hanya mencapai kisaran 12-14 menit. Hal ini sangat jauh berbeda dengan anak usia 6-12 tahun yang mencapai kurang lebih 30-45 menit. 

Bayangkan bila anak dituntut untuk sekolah daring, maka mereka akan sangat merasa bosan dan kesulitan untuk tetap berada di depan layar gadget.

Jika dipaksakan lebih lanjut, hal tersebut akan memicu timbulnya tantrum, frustrasi, hingga trauma. Bisa jadi anak akan menganggap bersekolah adalah kegiatan yang tidak menarik dan menyenangkan.

Oleh sebab itu, pembelajaran daring bagi anak usia dini tidak disarankan berlama-lama atau kecuali dalam kondisi darurat saja.

Selanjutnya, kita semua tahu bahwa anak usia dini tidak disarankan untuk berlama-lama menatap layar gadget (screen time). 

Dikutip dari UNICEF, screen time dapat mengikis rentang perhatian dan fokus anak, membatasi kemampuan untuk mengontrol impuls sehingga menghambat imajinasi dan motivasi, mengurangi empati, dan menyebabkan anak sulit meregulasi emosi.

Intensitas komunikasi dan Interaksi antara guru dengan anak usia dini dalam pembelajaran daring sangat terbatas jarak dan waktu, sehingga penyampaian materi menjadi tidak maksimal. 

Oleh sebab itu, diperlukan sikap kooperasi dari orangtua untuk mendampingi anak secara penuh ketika pembelajaran daring dilaksanakan. 

Bonding antara guru-anak-orangtua sangat diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran, kalau hal ini, sih, tidak hanya berlaku bagi pembelajaran daring saja, ya.

Hubungan teman sebaya bagi anak usia dini juga menjadi tidak optimal mengingat mereka tidak berinteraksi secara langsung. Anak usia dini dengan karakteristiknya yang unik, tingginya rasa ingin tahu, dan surplus energi sangat membutuhkan lingkungan sosial untuk mengekplorasinya. Maka, apa jadinya jika anak terbatas hanya belajar di rumah saja?

Di samping itu, salah satu prinsip pendidikan bagi anak usia dini adalah belajar seraya bermain. Artinya, penyampaian materi pembelajaran dikemas dalam bentuk permainan yang menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi anak. 

Dalam rangka memenuhi prinsip tersebut tentunya diperlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti lapangan yang cukup luas, Alat Permainan Edukatif (APE), dan sebagainya.

Terakhir, karena guru kesulitan mengevaluasi progres pembelajaran bagi anak selama pembelajaran berlangsung, maka seringkali guru akan memberikan lebih banyak tugas praktikal dari biasanya. 

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hal tersebut dapat membuat anak tertekan dan kelelahan. Kabar buruknya, dampak tersebut bisa jadi dibawa hingga dewasa.

Dari sekian dampak negatif di atas ---yang rerata berakibat buruk pada anak usia dini, diharapkan guru TK lebih bijak untuk berpikir ulang apabila diberi kesempatan memilih bekerja secara daring atau luring. 

Memang tidak mudah, mengingat banyak hal harus dikorbankan untuk menjalaninya seperti waktu, tenaga, jarak yang ditempuh, yang mana hal tersebut seringkali tidak sepadan dengan gaji yang didapat.

Semoga guru-guru kita senantiasa dilimpahkan keberkahan, kesehatan, dan kesejahteraan di manapun berada. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun