Selama pandemi Covid-19 lalu, guru dan pelajar terpaksa harus melakukan pembelajaran secara daring. Rupanya hal tersebut menjadi masalah baru bagi kesehatan mental keduanya.Â
Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 77% pelajar usia anak-anak dan remaja merasa lelah berujung stres akibat sistem pembelajaran daring.
Sebab, interaksi antara guru dan pelajar menjadi tidak maksimal akibat kendala teknis seperti sulit mendapatkan sinyal maupun perangkat pembelajaran digital yang terkadang mengalami human error. Hal tersebut menyebabkan guru lebih banyak memberikan tugas-tugas yang menumpuk untuk dikerjakan secara mandiri.
Di samping itu, pelajar mendapatkan banyak distraksi ketika melaksanakan pembelajar di rumah. Entah itu karena orangtua mereka dapat melakukan pengawasan lebih, banyak mainan pribadi yang seakan 'menggoda' untuk dimainkan, dan masih banyak lagi.Â
Pembelajaran klasikal di kelas saja sulit maksimal dalam mengakomodir kebutuhan masing-masing pelajar, apalagi jika dilakukan secara daring.
Dari sekian jenjang pendidikan, tingkatan yang paling tidak disarankan untuk pembelajaran dari rumah yakni Taman Kanak-kanak (TK)/sederajat.Â
Sebab, pelaksanaan pembelajaran di TK jauh berbeda dengan jenjang pendidikan lainnya mulai dari segi metode, media, strategi, hingga evaluasi. Berikut penjelasan selengkapnya:
Pertama, studi ahli perkembangan dari York University of Canada, Laurie McNelles mengungkap bahwa batas waktu konsentrasi pada anak usia 4-6 tahun hanya mencapai kisaran 12-14 menit. Hal ini sangat jauh berbeda dengan anak usia 6-12 tahun yang mencapai kurang lebih 30-45 menit.Â
Bayangkan bila anak dituntut untuk sekolah daring, maka mereka akan sangat merasa bosan dan kesulitan untuk tetap berada di depan layar gadget.