Jadi awalnya, tuh, pas aku masih SMP kan lagi jamannya nulis status "alay" di Fesbuk. Nah, suatu hari aku nulis kata-kata kasar kayak "a****g, g****k!" karena lagi jengkel banget sama temenku tapi lupa dah apa masalahnya. Biasalah, remaja alay lagi cari jati diri, wkwkwk. Habis itu pas di rumah, tetiba mamaku marah-marah gak jelas. Beliau bilang gagal mendidik aku-lah, merasa a****g dan g****k-lah, bilang kalau aku anak durhaka yang tega menghardik orangtua di Fesbuk. Lah? Padahal itu tuh bukan buat beliau, sumpah!
Kejadian itu berulang setiap aku bikin status di media sosial manapun, apalagi pas bikinnya di rumah. Hal seperti itu teruuus aja diungkit sampai sekarang, apalagi kalau aku lagi berbuat salah. Dan, sampai sekarangpun, beliau tidak memberikan kesempatan untuk klarifikasi. Itulah, asal mula kenapa semua media sosial-ku buat mode privat, beberapa bahkan ku blokir orangtuaku. Story Wassap-pun aku sembunyikan dari mereka, selamanya. Kalau ada kejadian apapun, aku juga jadi gak mood cerita ke mereka. Males aja, gitu. Lebih males lagi kalau sekalinya aku beranikan diri buat cerita, malah diumbar ke anggota keluarga lain, bahkan gak segan diunggah di story beliau! Huft.
-Aurora (nama disamarkan), 2022.
Cerita dari Aurora dan pertanyaan pada judul di atas barangkali mewakili banyak di antara kita sebagai orangtua maupun anak.Â
Hal tersebut juga mengingatkan kita pada kasus pembunuhan di bulan November lalu yang dilakukan oleh seorang anak kepada seluruh anggota keluarganya dengan cara meracuni mereka.Â
Dari pengakuan pelaku, motif pembunuhan tersebut didasarkan atas rasa sakit hati dan trauma psikis yang telah lama terpendam.Â
Dilansir dari Kompas, orang terdekat keluarga tersebut mengaku sangat terkejut mengingat pelaku dikenal sebagai anak yang pendiam. Memang, anak yang pendiam tidak selamanya dapat dianggap sebagai sesuatu yang positif.
Anak yang disebut pendiam biasanya cenderung menarik diri dari lingkup sosial, "malas" berinteraksi, dan enggan untuk banyak bicara.Â
Jones (2014) dalam buletin Teach Early Years mengemukakan bahwa sikap pendiam yang berkelanjutan berdampak pada kemampuan berkomunikasi yang nantinya akan merembet pada kepercayaan diri yang rendah, senantiasa ragu atau merasa serba salah dalam mengambil keputusan, dan tidak yakin atas perbuatan maupun perkataannya sendiri.Â
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa permasalahan komunikasi semestinya segera diatasi karena berdampak besar dalam kelangsungan hidup seseorang.
Tak dapat dipungkiri pula bahwa komunikasi merupakan salah satu pondasi dalam membangun hubungan --baik antara orangtua dan anak, pasangan, teman sepermainan, kolega, dan sebagainya.Â
Bercermin dari kedua cerita di atas, ending yang dipilih tentu bukanlah solusi yang tepat. Aurora memilih untuk menutup diri dari orangtuanya, sedangkan pelaku memilih untuk mengakhiri hidup seluruh keluarganya.Â
Sebagian di antara kita mungkin menanggapi bahwa sesungguhnya hal tersebut tidak harus terjadi dan dapat diperbaiki. Namun, bagaimana bisa seorang anak merasa begitu syulit untuk terbuka pada orangtuanya sendiri?
Otoriter dan Oversharing dalam Pengasuhan
Selain komunikasi, hal esensial yang harus dicapai dalam hidup berkeluarga adalah pola pengasuhan yang berkualitas.Â
Berdasarkan cerita Aurora, dia mengaku menjadi anak "tertutup" sejak orangtuanya melakukan judging tanpa memberikan kesempatan untuk menjelaskan perspektif darinya.Â
Lebih lanjut, dia merasa tidak nyaman jika permasalahan yang --dengan keberanian penuh dia ceritakan kepada orangtuanya justru diumbar kepada khalayak. Sedikit gambaran tersebut menandakan bahwa orangtuanya bersikap dominan dan memegang kendali penuh di dalam keluarganya. Pada ilmu pengasuhan, hal tersebut termasuk dalam tipe pengasuhan otoriter (mengekang).
Sharma dan Pandey (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Parenting Styles and Its Effect on Self-Esteem of Adolescents menyampaikan bahwa anak usia remaja yang "terjebak" dalam pengasuhan otoriter memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan anak dengan pengasuhan permisif maupun demokratis.Â
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian dari Sawar (2016) yang menunjukkan hasil bahwa pengasuhan otoriter menyebabkan anak lebih menutup diri atau bahkan menjadi rebel dan problematik.Â
Jarak afektif antara orangtua dan anak akan semakin renggang, sebab anak hanya akan merasa selalu disalahkan dan diatur sedemikian rupa oleh orangtuanya tanpa mengindahkan consent dari anak tersebut.
Selain karena gaya pengasuhan otoriter, terdapat penyebab lain yang membuat anak enggan bercerita banyak hal kepada orangtuanya.Â
Dikutip dari IDN Times, pemicu hal tersebut di antaranya yaitu faktor kesibukan orangtua sehingga jarang mengajak anak berkomunikasi dengan baik, sering memotong pembicaraan, selalu berprasangka negatif, terlalu sering menegur anak di depan umum, dan termasuk juga orangtua yang tidak bersikap terbuka pada anaknya sehingga mereka juga akan mencontoh sikap tersebut.
Media sosial yang berkembang pesat kini juga menimbulkan permasalahan baru dalam pengasuhan. Banyak orangtua jaman now yang dikit-dikit spill kelakuan anak mereka.
Jujurly, jika diposisi Aurora tentu saya akan merasa tidak nyaman. Apalagi jika story tersebut mengandung aib atau kejujuran saya dalam mengekspresikan emosi.Â
Di lain waktu, tentu saya akan berpikir seribu kali untuk menceritakan sesuatu kepada orangtua. Selain nantinya akan mengundang pro dan kontra oleh netizen, oversharing di media sosial rupanya juga menjadi salah satu penyebab mengapa anak menjadi tertutup di hadapan orangtuanya. Seperti kata Aurora: males aja, gitu!
Healthy Communication, Healthy-Mentally-Family
Melakukan komunikasi yang "sehat" merupakan salah satu tindakan preventif dan solutif bagi orangtua agar anak lebih terbuka.Â
Komunikasi yang dibentuk dengan baik antara orangtua dan anak sangat penting untuk membangun hubungan positif dan memudahkan orangtua untuk membicarakan hal-hal yang lebih kompleks di kemudian hari.Â
Komunikasi tidak hanya soal mengekspresikan pikiran dan/atau perasaan, namun juga tentang respons dan tingkah laku yang ditunjukkan.Â
Sederhananya, terdapat 3 kata kunci yang harus diingat dalam membentuk komunikasi yang "sehat" di antaranya:
- Don't judge, jangan lekas menghakimi atau buru-buru mengambil kesimpulan tanpa alasan yang jelas. Ketika anak memutuskan untuk mengakui hal-hal yang kurang nyaman didengar, cobalah untuk tetap tenang dan menanggapinya tanpa tendensi. Usia anak-anak hingga remaja cenderung akan berhenti bercerita bila ia khawatir akan penghakiman dan kritikan yang akan diterimanya. Be a good listener.
- Don't interrupt, jangan menyela ketika anak sedang bercerita. Apalagi memberikan nasihat ketika anak tersebut tidak (atau mungkin, belum) membutuhkannya. Terkadang, anak memutuskan untuk membuka diri bukan untuk mencari solusi atau validasi, melainkan untuk menjadikan orangtua sebagai "cermin" agar mereka dapat mengintropeksi diri. Mengarahkan mereka untuk mendapat solusi dari pemikirannya sendiri akan jauh lebih bermakna dibandingkan menawarkan secara instan solusi itu sendiri.
- Don't force, terkadang anak tetap memilih untuk menutup diri meski orangtua sudah berusaha peduli dengan cara yang baik. barangkali mereka masih membutuhkan waktu untuk memroses emosi dan pengalaman mereka sebelum siap untuk menceritakannya. Oleh sebab itu, jangan sesekali mendesak anak. Give them times till they want to.
Namun, bagaimanapun, generasi orangtua dan anak yang rerata terpaut bertahun-tahun memang tidak dapat dipungkiri dalam perbedaan pola pikir dan pola asuhnya.Â
Saya yakin, orangtua dengan berbagai macam cara pengasuhan yang dipilih tentu dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak mereka. Panjang umur dan sehat selalu --untuk orangtua kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H