(lanjutan dari bagian 1)
Hari H
... Innama amruhu idza aroda syai'an ay-yakula lahu kun fayakuun...
Fasubhanal-ladzi biyadihi ma lakutu kulli syai'in wa ilaihi turja'uun... (QS. Yaasiin: 82-83)
***
"Minggir! Minggiiir!"
Syifa dan beberapa santriwati setengah tergesa sambil membopong tubuh Nazila dan membawanya ke Unit Kesehatan Santri. Selepas sholat shubuh berjamaah, Nazila ditemukan tak sadarkan diri di teras masjid. Hidung dan mulutnya mengeluarkan darah cukup banyak hingga mengotori mukenah putih yang ia kenakan.
"Bagaimana cara kita membawanya ke rumah sakit?! Sepertinya angkutan umum belum mulai beroperasi sepagi ini" tanya salah satu santriwati.
"A... aku juga belum tahu. Aku masih memikirkannya" jawab Syifa dengan penuh kepanikan. Tentu tidak hanya ia yang cemas, seluruh warga pesantren tersebut juga riuh melihat kondisi Nazila yang tiba-tiba parah. Padahal selama ini ia tak pernah mengeluh sakit apapun.
Tiba-tiba saja Ustadz Rifki ---salah satu guru di pesantren tersebut muncul dengan mengendarai mobil jenis pick up dan berteriak, "Kita akan membawanya dengan ini. Bergegaslah!"
***
Syifa terduduk lesu di salah satu kursi panjang rumah sakit itu. Bibirnya tak henti mengucap dzikir dan sholawat untuk teman terbaiknya yang kini sedang berjuang di ruang operasi. Lampu merah di atas pintu masih menyala sejak 6 jam yang lalu, tanda operasi masih belum usai juga.
Ia pun teringat apa yang diucapkan dokter ---entah siapa namanya tadi. Kata beliau, Nazila harus segera melakukan transplantasi karena ia terkena sirois hati.
"Seharusnya operasi ini terjadi 6 bulan yang lalu, mbak. Tapi pasien keukeuh tidak ingin melakukannya" kata dokter tersebut menjelaskan.
"Kenapa?"
"Entahlah, dia bilang semua akan baik-baik saja walau tanpa operasi. Jadi, kami hanya memberi beberapa resep untuk memperlambat perkembangan sirois hati-nya"
Sirois hati? Innalillahi... Sahabatnya terkena penyakit mengerikan seperti itu dan ia tidak tahu sama sekali? Syifa merutuki diri.
Terlebih lagi, hari ini adalah hari spesial bagi Nazila karena dia bilang akan ada yang melamarnya. Seandainya Syifa tahu siapa orang tersebut, pastilah ia akan memberitahu orang itu agar tidak datang hari ini. Tidak dengan keadaan Nazila yang seperti ini.
Tiba-tiba, seorang perawat keluar dari ruang operasi dengan menggiring hospital bed. Itu dia sahabatnya! Nazila tersenyum setengah sadar begitu melihat Syifa ada di sana.
Operasinya berhasil. Nazila akan baik-baik saja.
***
"Bagaimana keadaanmu, Nduk?" Bu Nyai Karim langsung mengelus dan menciumi dahi Nazila begitu sampai di rumah sakit. Bagi Nazila, beliau bukan hanya guru yang sangat dihormatinya, tapi juga sudah seperti Ibu kandungnya sendiri.
"Alhamdulillah sae, Nyai..."
"Kau tahu? Seluruh santri mengkhawatirkanmu tadi. Bahkan para Asatidz mengeluh karena tidak ada yang fokus mengaji pagi ini. Semua blablablablabla..." kemudian Bu Nyai Karim bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi di pesantren beberapa waktu terakhir.
Sedangkan yang diajak bicara tetiba melamun. Pandangannya mulai kosong. Namun sepertinya Bu Nyai Karim tidak menyadari hal itu karena beliau masih saja melanjutkan ceritanya.
Apakah Nazila masih menunggu seseorang sudah berjanji datang hari ini? Hmmm...
Sepertinya begitu. Karena saat pintu terbuka, mata beningnya melebar dan ia berseru, "Dia telah datang... dia telah datang... ahlan wa sahlan"
Sosok yang berjanji akan melamarnya tujuh hari yang lalu telah tiba. Ia berpakaian serba hitam dengan tudung kebesaran di kepalanya. Postur tubuhnya tinggi dan kurus, nyaris seperti kerangka hidup. Tatapan matanya amat tajam, membuat siapapun akan menggigil ketakutan bila ia mendekat.
Tapi, tak ada yang bisa mengelak lamarannya, sekalipun orang tersebut berkuasa atas dunia ini. Tiada yang mampu membuatnya urung "melamar" kecuali Allah Azza wa Jalla.
Sosok itu perlahan mendekat dan berbisik lembut, "Hai, sayang... Apakah kamu sudah siap?"
Nazila mengangguk dengan penuh ketenangan. Dia sudah tahu, telah tiba gilirannya untuk dilamar malaikat maut dan menikah dengan kematian. Setelah mengucap kalimat syahadat, ia mengulurkan kedua tangannya kepada sosok yang bernama Izroil tersebut. Sejurus kemudian, mereka berjalan perlahan menuju "altar pernikahan" yang abadi. Sungguh, penerimaan paling indah terjadi ketika seorang hamba bisa memeluk segala ketentuan-Nya dengan penuh keikhlasan. Tak peduli apakah suka atau tidak suka, siap atau tidak siap.
Nazila telah membuktikannya.
***
"Syif..."
"Hm?"
"Ada berapa jumlah jodoh manusia?"
"Ha? Pertanyaan macam apakah itu? Hahaha... Akhir-akhir ini lo bahas jodoh mulu, Zil. Tahu, deh, yang mau dilamar"
"Udaaah coba jawab dulu"
"Hmmm... menurut gue sih ada banyak, mungkin? Nah, selanjutnya manusia akan dipertemukan dengan salah satu yang terbaik versi Allah berdasarkan cerminan dirinya"
"Nalar lo bagus juga, Syif. Sorry to say but you're wrong. Ternyata jodoh kita hanya di antara 2 pilihan saja"
"How can?"
"Kalau bukan manusia, ya kematian"
***
Malang, 12 Agustus 2018
Afif Auliya Nurani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H