Syifa terduduk lesu di salah satu kursi panjang rumah sakit itu. Bibirnya tak henti mengucap dzikir dan sholawat untuk teman terbaiknya yang kini sedang berjuang di ruang operasi. Lampu merah di atas pintu masih menyala sejak 6 jam yang lalu, tanda operasi masih belum usai juga.
Ia pun teringat apa yang diucapkan dokter ---entah siapa namanya tadi. Kata beliau, Nazila harus segera melakukan transplantasi karena ia terkena sirois hati.
"Seharusnya operasi ini terjadi 6 bulan yang lalu, mbak. Tapi pasien keukeuh tidak ingin melakukannya" kata dokter tersebut menjelaskan.
"Kenapa?"
"Entahlah, dia bilang semua akan baik-baik saja walau tanpa operasi. Jadi, kami hanya memberi beberapa resep untuk memperlambat perkembangan sirois hati-nya"
Sirois hati? Innalillahi... Sahabatnya terkena penyakit mengerikan seperti itu dan ia tidak tahu sama sekali? Syifa merutuki diri.
Terlebih lagi, hari ini adalah hari spesial bagi Nazila karena dia bilang akan ada yang melamarnya. Seandainya Syifa tahu siapa orang tersebut, pastilah ia akan memberitahu orang itu agar tidak datang hari ini. Tidak dengan keadaan Nazila yang seperti ini.
Tiba-tiba, seorang perawat keluar dari ruang operasi dengan menggiring hospital bed. Itu dia sahabatnya! Nazila tersenyum setengah sadar begitu melihat Syifa ada di sana.
Operasinya berhasil. Nazila akan baik-baik saja.
***
"Bagaimana keadaanmu, Nduk?" Bu Nyai Karim langsung mengelus dan menciumi dahi Nazila begitu sampai di rumah sakit. Bagi Nazila, beliau bukan hanya guru yang sangat dihormatinya, tapi juga sudah seperti Ibu kandungnya sendiri.