"Alhamdulillah sae, Nyai..."
"Kau tahu? Seluruh santri mengkhawatirkanmu tadi. Bahkan para Asatidz mengeluh karena tidak ada yang fokus mengaji pagi ini. Semua blablablablabla..." kemudian Bu Nyai Karim bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi di pesantren beberapa waktu terakhir.
Sedangkan yang diajak bicara tetiba melamun. Pandangannya mulai kosong. Namun sepertinya Bu Nyai Karim tidak menyadari hal itu karena beliau masih saja melanjutkan ceritanya.
Apakah Nazila masih menunggu seseorang sudah berjanji datang hari ini? Hmmm...
Sepertinya begitu. Karena saat pintu terbuka, mata beningnya melebar dan ia berseru, "Dia telah datang... dia telah datang... ahlan wa sahlan"
Sosok yang berjanji akan melamarnya tujuh hari yang lalu telah tiba. Ia berpakaian serba hitam dengan tudung kebesaran di kepalanya. Postur tubuhnya tinggi dan kurus, nyaris seperti kerangka hidup. Tatapan matanya amat tajam, membuat siapapun akan menggigil ketakutan bila ia mendekat.
Tapi, tak ada yang bisa mengelak lamarannya, sekalipun orang tersebut berkuasa atas dunia ini. Tiada yang mampu membuatnya urung "melamar" kecuali Allah Azza wa Jalla.
Sosok itu perlahan mendekat dan berbisik lembut, "Hai, sayang... Apakah kamu sudah siap?"
Nazila mengangguk dengan penuh ketenangan. Dia sudah tahu, telah tiba gilirannya untuk dilamar malaikat maut dan menikah dengan kematian. Setelah mengucap kalimat syahadat, ia mengulurkan kedua tangannya kepada sosok yang bernama Izroil tersebut. Sejurus kemudian, mereka berjalan perlahan menuju "altar pernikahan" yang abadi. Sungguh, penerimaan paling indah terjadi ketika seorang hamba bisa memeluk segala ketentuan-Nya dengan penuh keikhlasan. Tak peduli apakah suka atau tidak suka, siap atau tidak siap.
Nazila telah membuktikannya.
***