Mohon tunggu...
Afid Alfian Azzuhuri
Afid Alfian Azzuhuri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - seorang pelajar - penikmat sastra - suka menulis- pendengar musik berbagai genre - masih manusia

Afid Alfian A | Kendal, Jateng 🏠. | 19 Des 🎂. | Sagitarius♐. | Bocah SMA yang suka mencoba banyak hal | Tolong bantu suport blog saya dengan like, share, dan komen disetiap tulisan-tulisan saya🙏 | ........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Aroma Kopi di Hutan

11 September 2024   14:35 Diperbarui: 11 September 2024   14:39 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mentari pagi menyapa dengan lembut, menerobos sela-sela dedaunan hijau di hutan.  Udara sejuk dan bersih menyapa paru-paru, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja terkena embun.  Di tengah hutan yang rimbun, berdiri sebuah gubuk kecil terbuat dari kayu dan bambu, dengan asap tipis mengepul dari cerobongnya.  Di dalam gubuk itu, seorang pria tua bernama Pak  Jaya sedang meracik kopi.

 

Pak Jaya adalah penjaga hutan, seorang pertapa yang memilih hidup sederhana di tengah rimbunnya pepohonan.  Dia hidup dengan alam, mencintai hutan, dan melindungi satwa yang hidup di dalamnya.  Setiap pagi, Pak Jaya selalu menyeduh kopi, aroma kopi yang khas menjadi penanda awal hari baginya.

 

"Kopi pagi, aroma yang menenangkan," gumam Pak Jaya, sambil mencium aroma kopi yang harum.  Dia menuangkan kopi hitam pekat ke dalam cangkir tanah liat, menghirup aroma kopi yang khas, dan menyesapnya perlahan.

 

Kopi pahit, namun terasa hangat di tenggorokan, seperti pelukan hangat di pagi hari.  Pak Jaya menikmati secangkir kopi sambil memandang ke luar gubuk, melihat hijaunya hutan yang terhampar luas.  Dia merasakan ketenangan dan kedamaian.

 

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat.  Pak Jaya menoleh ke arah pintu, dan melihat seorang perempuan muda sedang berdiri di ambang pintu.  Perempuan itu tampak lelah dan ketakutan.

 

"Permisi, Pak," kata perempuan itu.  "Bolehkah saya berlindung di sini?"

 

"Silakan, masuklah," jawab Pak Jaya.  "Ada apa, Nak?"

 

"Saya tersesat di hutan, Pak," jawab perempuan itu.  "Saya sedang mencari jalan keluar, tapi saya tidak tahu arah."

 

"Tenang, Nak," kata Pak Jaya.  "Duduklah dulu, minumlah kopi."

 

Pak Jaya menuangkan kopi untuk perempuan itu.  Perempuan itu menerima kopi dengan tangan gemetar.  Dia menghirup aroma kopi yang harum, dan menyesapnya perlahan.  Kopi pahit, namun terasa hangat di tenggorokan, seperti pelukan hangat di pagi hari.

 

"Terima kasih, Pak," kata perempuan itu.  "Kopi ini  menenangkan."

 

"Namaku Pak Jaya," kata Pak Jaya.  "Dan kamu?"

 

"Saya Maya," jawab perempuan itu.  "Saya sedang mencari saudara saya, Pak.  Dia tersesat di hutan ini."

 

"Tersesat?" tanya Pak Jaya.  "Sudah berapa lama dia tersesat?"

 

"Sudah tiga hari, Pak," jawab Maya.  "Saya sangat khawatir."

 

"Tenang, Nak," kata Pak Jaya.  "Kita akan mencari saudara kamu.  Ceritakan, seperti apa saudara kamu?"

 

Maya menceritakan tentang saudara laki-lakinya, yang bernama Rian.  Rian adalah seorang fotografer muda yang sedang mencari lokasi untuk membuat foto alam.  Dia tersesat di hutan saat mencari lokasi yang indah.

 

"Rian suka sekali dengan kopi," kata Maya.  "Dia selalu membawa kopi di ranselnya."

 

Pak Jaya mengangguk.  "Baiklah, Nak.  Kita akan mencari Rian.  Kamu tunggu di sini,  aku akan mencari jejak Rian di hutan."

 

Pak Jaya keluar dari gubuk,  mencari jejak Rian di hutan.  Dia mengikuti jejak kaki,  jejak ban motor,  dan aroma kopi yang khas.  Aroma kopi yang khas itu menjadi petunjuk utama Pak Jaya dalam mencari Rian.

 

Setelah beberapa jam mencari,  Pak Jaya akhirnya menemukan Rian.  Rian terbaring lemah di bawah pohon besar,  kehabisan tenaga.  Pak Jaya segera mendekati Rian,  dan membantunya berdiri.

 

"Rian!  Kamu baik-baik saja?" tanya Pak Jaya.

 

"Saya lelah, Pak," jawab Rian.  "Saya tersesat di hutan ini."

 

"Tenang,  Rian," kata Pak Jaya.  "Saya sudah menemukan kamu.  Maya sedang menunggumu di gubuk."

 

Pak Jaya membawa Rian kembali ke gubuk.  Maya langsung berlari menghampiri Rian,  memeluknya erat.  Rian merasa lega karena akhirnya bertemu dengan Maya.

 

"Terima kasih, Pak Jaya," kata Maya.  "Anda menyelamatkan saudara saya."

 

"Tidak apa-apa, Nak," jawab Pak Jaya.  "Itu tugas saya sebagai penjaga hutan."

 

Pak Jaya menyeduh kopi untuk Rian.  Rian menghirup aroma kopi yang harum,  dan menyesapnya perlahan.  Kopi pahit,  namun terasa hangat di tenggorokan,  seperti pelukan hangat di pagi hari.

 

"Kopi ini  menenangkan," kata Rian.  "Terima kasih, Pak."

 

"Sama-sama,  Rian," jawab Pak Jaya.  "Kopi ini  teman setia,  dalam suka dan duka."

 

Rian dan Maya berterima kasih kepada Pak Jaya,  dan berjanji untuk selalu mengingat kebaikan Pak Jaya.  Mereka berpamitan kepada Pak Jaya,  dan kembali ke desa mereka.

 

Pak Jaya kembali ke gubuknya,  menikmati secangkir kopi sambil memandang ke luar gubuk,  melihat hijaunya hutan yang terhampar luas.  Dia merasakan ketenangan dan kedamaian.  Aroma kopi yang khas menjadi penanda akhir hari baginya.  Aroma kopi yang khas itu menjadi penanda bahwa dia telah melakukan tugasnya sebagai penjaga hutan,  menyelamatkan jiwa manusia yang tersesat di hutan.

Kendal, 11/09/2024

Afid Alfian A.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun