Ia lahir dari pasangan Sutoto dan Naniek Sriniati.
Sigit kecil dikenalkan bulu tangkis oleh kedua orang tuanya. Ia tumbuh di keluarga yang memang senang bulu tangkis. Sang ayah lantas mengajari Sigit dan keempat saudaranya bermain bulu tangkis.
Saat menginjak usia enam tahun, Sigit mulai bergabung dengan klub PB Pancing Sembada, Sleman Yogyakarta. Di sana ia berlatih, hingga rutin mengikuti pertandingan di wilayah Jawa Tengah.
“Dulu ada satu klub di Jogja namanya PB Pancing. Itu yang punya PB Pancing namanya Pak Anton. Memang putranya sudah masuk di PB Djarum duluan dan mungkin ada satu kerja sama yang baik, sehingga pada saat itu saya diminta untuk bergabung di klub Pancing tersebut,” jelas Sigit dengan tenang.
Menapak jejak di PB Djarum
Sigit mengikuti pertandingan di Solo, turnamen se-Jawa Tengah. Ia berhasil sampai ke partai final dan sukses mengalahkan wakil dari PB Djarum Budi Santoso.
Tak lama kemudian, Sigit dipanggil ke PB Djarum saat baru saja naik kelas dua SMP.
“Pertama kali masuk di Kudus, setelah ada satu pertandingan yang mungkin pelatih dari Kudus pas ikut pertandingan itu dalam satu turnamen, mereka melihat kok kayaknya mungkin dilihatnya bagus gitu ya. Jadi disuruh daftar,” ujarnya.
Tepatnya tahun 1988, Sigit resmi bergabung dengan klub PB Djarum.
Sigit yang kala itu masih berusia 13 tahun, harus belajar hidup mandiri jauh dari kedua orang tua dan tinggal di asrama. Sigit mengakui dirinya sempat menangis tatkala ditinggal pulang orang tuanya saat pertama kali masuk asrama.
“Di situ saya ketemu Koh Hari (Hariyanto Arbi), sebelum dia pindah ke Pelatnas Cipayung. Jadi sempat nangis kan mau ditinggal orang tua,” katanya.
“Udah ngga apa-apa, latihan saja di sini. Orang tuanya suruh pulang,” lanjut Sigit yang menirukan ucapan Hariyanto Arbi.