Oleh : Afiandari Nur Ardiati
Di Indonesia, unjuk rasa atau umumnya biasa disebut demonstrasi sudah menjadi hal yang lazim semenjak jatuhnya rezim kekuasaan Soeharto tahun 1998. Unjuk rasa biasa terjadi di berbagai bagian wilayah Indonesia, khususnya Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan negara ini.
Tahun ini sudah banyak sekali demo yang terjadi di Indonesia. Mulai dari demonstrasi dan kerusuhan di Jakarta, pada tanggal 21-22 Mei 2019 yang berkaitan dengan penolakan hasil penghitungan suara pemilihan Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 hingga menimbulkan bentrokan massa dengan aparat yang terjadi di beberapa tempat di Jakarta sejak tanggal 21 Mei malam.
Bayangkan saja, pemungutan suara yang seharusnya menjadi upaya dalam mewujudkan perdamaian dengan saling menghargai dan menerima perbedaan pendapat, justru menimbulkan kericuhan.
Kemudian, demonstrasi besar terjadi di bulan-bulan menuju penghujung 2019. Para mahasiswa mengadakan demo di depan gedung DPR untuk mengemukakan pendapatnya terhadap RUU KUHP yang dirasa memiliki pasal-pasal yang kontroversial, aneh dan tak masuk akal sehingga memicu protes besar-besaran.
Dengan cara itulah, mahasiswa menyerukan kekecewaannya dan menuntut agar DPR membatalkan RUU tersebut. Para mahasiswa merasa kecewa terhadap rencana dialog bersama Presiden Jokowi yang tak kunjung terlaksana hingga dilantik di periode keduanya.
Jika kita melihat dari pandangan syariat Islam, akan kita temukan bahwa demonstrasi dalam bahasa Arab ialah "Muzhaharat". Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menganggap demonstrasi sebagai tindakan yang dihalalkan secara syariat, hal tersebut berdasarkan pada pendapatnya, yaitu "Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi (aksi damai) adalah sesuatu yang disyariatkan, karena termasuk seruan dan ajakan kepada perubahan (yang lebih baik) serta sebagai sarana untuk saling mengingatkan tentang haq, juga sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar."
Kemudian, bila kita merujuk kepada Alquran, maka dapat dilihat landasan diperbolehkannya demonstrasi dari sebuah ayat:
Artinya: "Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan tenang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Pendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa: 148)
Ayat tersebut secara jelas menunjukkan diperbolehkannya kita dalam menyatakan perlawanan secara terang-terangan di hadapan orang yang zalim, terlebih jika ia adalah penguasa atau orang yang mendapat amanat untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Karena, nyatanya di zaman Rasulullah pun pernah terjadi demonstrasi secara individu dan diperbolehkan oleh Rasulullah.
Kisah tersebut terdapat dalam hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa terdapat laki-laki yang mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh aku mempunyai tetangga yang (kebiasannya) menyakitiku." Kemudian Rasulullah menjawab, "Sabarlah!" (diucap tiga kali).