Kamu melambatkan langkah saat mendengar suara ayahmu dan seorang pria sedang bicara di ruang tamu.Â
Kamu tidak tahu siapa pria yang sedang bicara itu karena tidak melihat wajahnya, tetapi kamu jelas mendengar kalau pria itu menuduh ayahmu yang telah menjadi penyebab ibumu tiada.Â
Cepat-cepat kamu masuk rumah, kedua pria yang sedang saling mencengkeram kerah itu menoleh serempak ke arahmu.Â
"Arimbi!" Tatapanmu tertuju kepada pria yang menatapmu tajam itu. Pria itu menghempaskan ayahmu sampai hampir terjatuh. Pria itu menghampirimu dan menamparmu tanpa bisa kamu hindari.Â
"Apa yang kamu lakukan?" Ayahmu berteriak dan membuat pria yang tadi menamparmu itu terjatuh membentur dinding, sedangkan kamu menyentuh pipimu dengan mata berkaca-kaca.Â
"Dia anak enggak waras yang kamu pelihara! Dia yang sudah tega menghabisi Lia. Harusnya dia yang mati, bukan istriku!" Kamu hanya diam, menatap nyalang pria yang tengah menunjuk-nunjuk ke arahmu.Â
"Pergi kamu dari sini!" Kamu memilih diam, terus memperhatikan saat ayahmu menarik pria itu keluar dari rumah dan menutup pintu.Â
"Kenapa dia ke sini, Yah?"Â
"Dia masih mengira ibumu meninggal karena kita!"Â
Kamu mengangguk. "Dia harusnya yang ke psikolog bukan aku. Mencintai perempuan sinting yang jelas-jelas sudah punya keluarga."
"Arimbi!" Suara lembut ayahmu tidak membuat gurat-gurat amarah di wajahmu memudar. Kamu memilih pergi meninggalkannya.Â
***
"Aku yang sudah membuat ibuku meninggal, Al!" akuimu kepada pria itu saat kalian berada di rumah pria itu. Kamu membawa bubur ayam permintaannya.Â
Pria itu menatapmu lekat. "Apa maksudnya?"Â
"Aku yang sudah membuat perempuan itu meninggal." Kamu bicara dengan tenang, menoleh ke arah pria itu dan tersenyum tipis. "Makan lagi, Al. Jangan sakit terlalu lama!"Â
Pria itu menurut dan makan kembali buburnya. "Dua bulan lalu ibuku datang ke rumah, dia bilang menyesal telah meninggalkan kami, aku enggak percaya, Al. Mana mungkin dia menyesal setelah puluhan tahun pergi." Tanganmu mengepal erat di pangkuan.Â
"Lalu yang kamu lakukan?"
Kamu menatap pria itu kesal lalu memilih membalas pesan yang masuk di ponselmu. "Biarkan aku selesai bicara, oke!" Pria itu mengangguk.Â
"Aku melarang Ibu berobat, memintanya menghentikan semua pengobatan yang sedang dia jalani, padahal waktu itu aku tahu kalau dia sangat butuh pengobatan itu!"Â
Kamu kembali membalas pesan yang terus menganggumu. "Siapa, Rim?"Â
"Ayah memintaku untuk cepat pulang!" Kamu mendongak, menatap heran pria yang sedang sakit itu karena tiba-tiba berdiri. "Mau ke mana?"Â
"Mengantar kamu pulang. Sudah malam, Rim!"Â
"Nanti saja, aku belum selesai bicara!"Â
"Besok saja dilanjutkan!" Kamu menggeleng, menolak usulannya. Pria itu lantas kembali duduk.Â
"Biarkan aku selesaikan ucapanku. Belum tentu aku akan cerita masalah ini lagi, Al!"Â
Tidak ada balasan apa pun dari pria yang duduk di sampingmu itu. Kamu mengambil sesuatu dan menyerahkannya kepada pria tersebut.Â
"Positif Aids?" tanya pria tersebut setelah membaca hasil laporan yang kamu berikan kepadanya.Â
"Ya, dia sebenarnya sedang masa pemulihan setelah terinfeksi virus covid itu!" Kamu menghela napas pelan lalu melanjutkan ucapanmu. "Aku berjanji akan memaafkannya asal dia mau mempercepat mengakhiri hidupnya dan dia setuju!"Â
"Rim!" Kamu membiarkan saat pria tersebut mengenggam tanganmu.Â
"Padahal pria itu penyebabnya, Al. Aku yakin itu. Selama ini ibuku selalu dengan pria itu, tapi kenapa hanya aku yang dianggap bersalah?" Matamu mulai berkaca-kaca.Â
"Baiklah, sekarang aku antar kamu pulang. Enggak ada lagi bantahan!"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H