Mohon tunggu...
Nur Afiah
Nur Afiah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Menyukai bacaan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

#2 Rayuan Perempuan Gila

26 September 2023   14:17 Diperbarui: 26 September 2023   14:30 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2

Malam itu ternyata pertemuan terakhir kamu dan anak laki-laki itu, perempuan yang diam-diam kamu kagumi karena berbeda dari ibumu itu benar-benar melarang kalian bertemu. Membuat kalian terpisah jarak puluhan kilo dan bertahun-tahun lamanya.

Tidak ada lagi anak laki-laki yang bisa kamu ajak untuk melakukan hal-hal membahagiakan, seperti terbang. Namun, malam itu di saat sedihmu masih menganak di pelupuk mata karena perempuan yang kamu benci telah tiada, anak laki-laki itu datang dan menjelma menjadi pria tampan bertubuh tinggi.  

Anak laki-laki itu membuatmu terpana, tatapanmu tidak lepas dari senyum di wajahnya.

"Hai!"

Setelah sekian lama pertemuan kalian kembali terjadi, kamu bisa kembali melihatnya. Dengan langkah ringan, kamu menghampirinya yang berdiri di ambang pintu rumahmu. Mengabaikan ayahmu dan menariknya pergi dari rumah.

"Arimbi, kita mau ke mana?"

Kamu tidak mendengarkan pertanyaan pria itu, kamu terus mengajaknya berlari dan berhenti saat kalian tepat berada di depan jembatan, saksi perpisahan kalian selama ini.

"Rim?"

"Al, di sini perpisahan kita, jadi seharusnya di sini juga perjumpaan kita! Kamu tiba-tiba datang ke rumah, jadi aku ajak kamu ke sini." Kamu melepaskan genggaman tangan kalian, berjalan tanpa menoleh ke belakang.

"Rim, jangan bilang kamu mau lompat lagi?"

Kini kamu kembali berdiri di pagar pembatas jembatan itu, satu tanganmu memegang tiang penyangga agar tidak jatuh walau sebenarnya aman saja.

"Mau melakukannya?"

"Jangan gila, Rim!"

"Kenapa? Bukankah ibumu sudah tiada? Enggak akan ada lagi yang melarangku mengajakmu terbang, kan, Al?"

Kamu melirik kepada pria tersebut lalu memilih turun. "Selama ini kita hanya berkomunikasi lewat surat, berganti email, berganti lagi SMS, dan terus berganti, tapi pikiran-pikiran gilaku itu masih belum pergi, Al. Kamu janji mau menemaniku melewati semua itu saat kita bertemu bukan?"

Kamu menatap pria tersebut yang memilih diam itu. Kamu mencebikkan bibir dan memilih kembali naik ke pagar pembatas jembatan mengabaikan diamnya pria itu.

"Aku janji, ah ini gila! Pertemuan pertama kita, Rim!"

"Menceburkan diri lagi, setelah itu aku janji kita bicara!"

"Rim!"

Kamu terkekeh pelan. Mengulurkan tangan dan dengan cepat pria itu menerimanya. Kamu tersenyum saat pria itu ikut berdiri di sampingmu. "Sungainya enggak deras dan dangkal, kita enggak akan tenggelam atau hanyut!"

Kamu melirik pria itu yang terus saja menatap ke bawah. Senyummu terbit lalu benar-benar membawanya menceburkan diri lagi. Setelah dua puluh tahun berlalu.

Kalian tertawa dengan tubuh basah. Duduk-duduk di taman dekat rumahmu yang sepi dan hanya ada satu lampu taman dengan cahaya terang.

Lampu itu sumbangan dari ayahmu dan kamu senang.

Kamu dan dia hanya diam. Tubuhmu menggigil. "Kenapa datang enggak kasih kabar?"

"Sengaja dan mungkin aku merindukanmu."

Kamu berdeham. "Aku tahu, makanya aku mengajakmu mandi malam. Virus itu bisa saja menempel di tubuhmu, Al!"

"Aku sehat, Rim! Sebelum ke sini aku sudah tes swab dan tes kesehatan lainnya."

Kamu menggeleng. Meniup kedua telapak tangan yang sebelumnya saling menggosok. "Jangan percaya dengan tes seperti itu, Al. Aku sudah muak dengan ucapan dari medis kalau aku sehat." Kamu terdiam sesaat. "Kalau aku sehat, pikiran gila ini enggak mungkin terus ada di pikiranku, kan? Aku enggak mungkin dikatakan perempuan aneh, atau seenggaknya ada satu saja yang tetap bertahan di sisiku. Mereka ada, tapi hanya saat butuh saja. Menyebalkan."

"Rim, ada aku di sini. Aku ke sini untuk membantumu menyelesaikan semuanya! Aku akan lakukan apa pun yang kamu mau!"

Kamu mengangguk dan tiba-tiba berdiri. "Kamu semakin dewasa setelah ibumu tiada, ya. Aku akan pastikan kamu tepati janjimu!"

Kamu meninggalkan anak laki-laki yang kini menjelma menjadi pria dewasa itu. "Al, besok kita bertemu lagi?" Dalam jarak yang sedikit jauh, kamu berbalik dan hanya menanyakan itu.

"Tentu."

"Janji pertama harus dipenuhi!"

***

"Maaf, karena semalam sekarang kamu jadi demam!"

Pria yang tengah mengemudi di sampingmu itu tertawa pelan. Kamu menatapnya, memandangi wajah pucat itu lekat lalu tanganmu terulur menyentuh dahinya. "Panas! Harusnya kamu enggak perlu jemput aku di sekolah! Istirahat saja, Al!"

"Aku cuma demam, Rim."

"Ya, tapi virus itu masih ada, kan? Gimana kalau kamu akhirnya terinfeksi juga?"

"Kamu tenang saja, itu enggak akan terjadi!"

"Kita ke rumahmu saja, aku akan obati kamu." Kamu menatap pria itu tajam saat akan protes. Pria itu akhirnya mengangguk pasrah. "Jangan membantah!"

"Baik Bu Guru!"

Kamu tidak menanggapi ucapan pria itu. Tatapanmu tertuju keluar kaca jendela mobil, memandangi deretan ruko yang sudah banyak buka, padahal beberapa waktu lalu memilih tutup atau hanya buka setengah hari saja.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Bagaimana kalau kedatanganmu buat aku ingin mewujudkan semua hal gila itu? Semalam saja, tiba-tiba aku mengajakmu melompat lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun