Mohon tunggu...
Wafaul Ahdi
Wafaul Ahdi Mohon Tunggu... Jurnalis - MAHASISWA

Affah

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Meneruskan Impian yang Tak Kunjung Mendapatkan Restu Orangtua

26 September 2020   06:49 Diperbarui: 26 September 2020   11:20 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: janatiyoga.com

Keputusanku sudah Final, aku lebih memilih melanjutkan dan enggan untuk meninggalkan separuh kebahagiaanku.

Seharusnya keputusan ini dapat memecahkan masalah di keluarga kecilku, namun ternyata keputusanku justru mengundang masalah yang cukup besar, lantaran menurut kedua orang tuaku apa yang aku lakukan tidak ada gunanya sama sekali. Rasanya aku ingin menangkis semua omongan yang terlontar dari mulut kedua orang tuaku, karena ia menghina suatu hal yang membahagiakan darah dagingnya sendiri. Bukan hanya sekali dua kali, tetapi ini sudah berkali-kali. Aku tidak berani melawan apa yang di sampaikan oleh orang tuaku karena menurutku yang terpenting saat ini adalah pembuktian bukan perlawanan. 

Aku terlahir dari keluarga berdarah pengusaha, dan aku adalah buah hati mereka satu-satunya sehingga aku memikul secercah harapan kedua orang tuaku bisa melanjutkan perjuangannya tersebut. Namun, aku menyimpang dari bayang-bayang impian orang tuaku karena ternyata aku mencintai di bidang sastra. Berkali-kali orang tuaku mengarahkanku seperti mereka namun berkali-kali itu juga aku memutuskan untuk berbelok arah karena aku sangat tidak rela meninggalkan sebongkah harapanku menjadi penulis yang sukses.

Berada di titik down sering kali aku rasakan, bahkan aku sampai-sampai membenci diriku sendiri lantaran aku berbeda dengan mereka. Tidak ada sedikitpun rasa kecintaanku di dunia usaha sejak kecil, karena aku melihat kedua orang tuaku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku benci dengan profesinya yang menjadikan orang tuaku kurang memperhatikanku sejak kecil. Aku tidak mau bernasib sepertinya karena aku ingin mempunyai banyak waktu untuk keturunanku kelak.

Mulai dari situlah dengan berawal dari menulis diary aku cinta di dunia kesastraan. Aku cinta karena aku dapat mencurahkan hatiku melalui goresan demi goresan tinta yang tertuang di lembaran buku. Teman sejak kecilku adalah buku bukan kedua orang tuaku. Hampir seharian aku bisasaja tidak bertemu dengan ayah bunda. Ketika aku terbangun mereka sudah tidak ada, dan ketika aku ingin tertidurpun mereka tidak ada di sampingku. Sehingga di awal-awal aku suka menulis orang tuaku tidak mengetahuinya.

Ketika ada berita perlombaan menulis yang ku dengar, dengan jiwa semangatku aku ingin mengikuti perlombaan tersebut.  Hari demi hari aku lewati dengan memikirkan puisi yang seperti apa yang akan kubuat. Sampai akhirnya tibalah waktu dimana pengumpulan itu datang, dan aku hanya tinggal menunggu keputusan dewan juri. Setelah beberapa hari menunggu aku mendapatkan kabar yang sangat menggembirakan. Aku masuk dalam kategori penulis yang terbaik dan aku mendapatkan sebuah piagam penghargaan.

Berawal dari situlah aku menunjukkan bakatku kepada kedua orang tuaku.

"Ayah, bunda. Aku mendapatkan penghargaan menjadi penulis terbaik loh kemarin" (Ujarku dengan semangat)

Namun seperti apakah respon kedua orangtuaku?

"Sejak kapan ayah dan bunda mengajarkan kamu menjadi penulis seperti ini. kamu yakin kamu ingin menjadi penulis dengan bayaran yang tidak ada kepastian? kamu tidak mau se sukses ayah bundamu sekarang? (Ujar kedua orang tuaku dengan melempar sertifikat penghargaanku)

Kecewa sekali terhadap respon yang aku dapatkan. Padahal aku sudah membayangkan aku mendapatkan hadiah, aku mendapatkan pujian.Namun, itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Realitanya tidak ada sama sekali. Sekali di rendahkan akan tetap di rendahkan. Dan pada saat itu juga aku merasakan yang namanya  Depresi  berat. Hal ini mengharuskan aku mendapatkan perawatan lebih lanjut untuk dapat menangani masalah mentalku.

Apa yang bisa kita ambil dari cerita di atas?

- Menghargai sebuah keputusan -

Ya, menghargai sebuah keputusan, terlebih keputusan yang di ambil oleh buah hati kita sendiri. Sebagai orangtua tidak boleh memaksakan kehendak anaknya karena akan berdampak besar bagi mentalnya kelak

Semua orang berhak mewujudkan keinginannya masing-masing

Tidak semua bakat yang tertanam anak berdasarkan karena keturunan, ada sebagian dari mereka yang justru menyimpang. Namun menjadi orangtua yang bijak sangat di perlukan dalam kondisi ini. Tidak semua anak memiliki sifat patah semangat. Ada yang dari mereka ocehan orang lain dijadikan semangat tetapi tidak menutup kemungkinan banyak dari mereka pula yang justru akan menganggu kondisi mentalnya. Posisikanlah dirimu menjadi anak dan apa yang kamu rasakan ketika bibit bakatmu ada di tanaman tomat tetapi orangtuamu menuntutmu harus menanam bibit lain di tanaman cabai. Sulit bukan untuk mengikuti apa yang di inginkan nya itu?

Para orangtua masih saja berfikiran bahwa yang terbaik adalah yang mengharuskan anak mengikuti keinginan orangtuanya itu. seakan-akan ia tidak percaya bahwasannya anak pun bisa menentukan mana yang baik menurutnya dan mana yang tidak baik menurutnya. Berada di lingkungan Toxic memang menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kita sebagai anak. Tetapi alangkah baiknya jadikanlah itu obor semangat untuk bisa melangkah lebih maju ke depan, dan membuktikan bahwa kesuksesan itu bukan di ukur dari seberapa banyak penghasilan yang di dapat tetapu ketika bisa berada dalam perangkap bakat kita sendiri dan membuat hati menjadi bahagia tentunya.

Orangtua mempunyai peranan besar untuk mendukung apa yang menjadi keputusan anak tersebut, karena dengan dukungan orangtua anak dapat lebih percaya diri, lebih semangat, lebih ingin terus berjuang untuk mewujudkan apa yang di inginkannya. Ketika anak sudah sukses sesuai dengan ranahnya, orangtua akan ikut menjadi kebanggaan bukan? 

Cita-cita adalah hak paten anak bukan ambisi orangtua

Semoga tulisan sederhana ini dapat memotivasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun