Pada kegiatan rutin “Ngaji Ramadan Edisi Malam Likuran” di Musholla Al-Fattah Sambong, Abah K.H. Mohammad Idris Djamaluddin dalam pembukaannya menyampaikan satu cerita tentang pentingnya menjaga ketulusan dalam ibadah. (Jombang, 04/04/2024).
Dalam Kitab Raudhur Royahin karya Asy-Syaikh Al Yafi'i diceritakan ada seorang laki-laki bernama Manshur bin ‘Ammar (wafat 225 H). Manshur bercerita bahwa ia punya teman dekat. Sangat dekat dengan Manshur apapun keadaanya, dalam keadaan senang mereka dekat dan dalam keadaan susah keduanya juga dekat. Saking dekatnya sudah se perti saudara sendiri (أخ فى الله).
Begini kata Ammar: rekanku itu sangat rajin melakukan ibadah, tahajjud setiap malam, kalau wiridan sampai menangis. Tapi beberapa hari ini aku tidak bertemu dengannya. Padahal biasanya ia menjemput kalau aku terlambat berangkat ngaji, atau kalau aku dalam keadaan susah dia kerap datang membantu. Ini beberapa hari kok tidak bertemu.
Kemudian aku mencari informasi tentang bagaimana sebenarnya keadaan saudaraku itu. Akhirnya ada yang memberi kabar bahwa saudaraku itu sedang dalam keadaan lemah dan sakit. Segera aku datang ke rumahnya untuk menjenguk.
Sesampaiku di depan rumahnya, aku mengetuk pintu. Seorang anak perempuan membukakan daun pintu kemudian bertanya, “Mohon maaf, ada apa, Pak?”
“Begini, bilang kepada Ayahmu, aku ini teman dekat ayahmu. Bahkan sudah dianggap seperti saudara sendiri. Sampaikan kepada Ayahmu, aku ingin bertemu dengannya”.
“Baik, Pak. Sebentar, saya sampaikan dulu ke Ayah”. Anak perempuan itu kemudian masuk, lalu kembali dan berkata, “Pak, silahkan masuk”.
Aku masuk ke rumahnya. Kemudian aku melihat bahwa rekanku sedang terlentang di lantai ruang tamu. Wajahnya menghitam, matanya dan bibirnya biru. Itu menunjukkan bahwa ia sedang sakit keras. Aku begitu khawatir dengan keadaannya. Kemudian aku berkata:
“Saudaraku, perbanyak mengucap Laa Ilaha IllAllah (لا اله الا الله)”
Mendengar suaraku, ia membuka mata dan kemudian melihat kepadaku. Begitu melihatku, ia pingsan. Mendapati hal demikian, aku menunggunya sampai sadar. Sebab aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku sangat khawatir. Aku menunggunya sampai ia sadar.
Begitu sadar, aku berkata lagi: “Saudaraku, perbanyak mengucap Laa Ilaha IllAllah (لا اله الا الله)”
Mendengar ucapanku, ternyata ia pingsan lagi. Aku tetap menunggunya. Begitu ia sadar, aku berkata kepadanya “Ayo, saudaraku, perbanyak mengucap Laa Ilaha IllAllah (لا اله الا الله). Kalau kamu tidak mau mengucap kalimat itu, aku tidak mau memandikanmu kalau kamu mati. Aku tidak mau memakaikanmu kain kafan, aku tidak mau mensholati jenazahmu. Aku tidak mau menguburkanmu”.
Akhirnya teman dekatku itu membuka kedua matanya, memandang kepadaku sekali lagi dan berkata: “Saudaraku, Manshur. Aku tidak bisa mengucapkan kalimat yang kau ucapkan tadi”
Aku kaget dan bertanya “Lalu dimana atsar (bekas) sholatmu, dimana atsar tangisan-tangisanmu, dimana atsar puasamu, dimana atsar dari ibadahmu sehingga dalam kondisi seperti ini kamu tidak bisa mengucapkan kalimat yang sangat penting itu?”
Kemudian rekanku menjawab bahwa sebenarnya yang selama ini ia lakukan bukan karena Allah. Rajin sholat, rajin mengaji, rajin melakukan ibadah-ibadah, semua itu ada dengan niatan pamer agar dilihat manusia. Agar orang lain menilainya baik diantara teman-teman dan tetangga. Semua yang ia lakukan dulu bukan karena Allah.
Ia melanjutkan: “Ketika aku dalam keadaan sendiri, aku suka melakukan apapun yang menjadi kepuasan nafsuku. Tapi ketika bersamamu, atau bersama manusia lain, aku suka melakukan ibadah. Aku suka menampakkan seakan-akan aku orang yang ahli ibadah. Tapi kalau sendirian, aku sangat suka melakukan maksiat-maksiat. Sampai suatu ketika aku sakit, sangat keras. Sudah berobat kemanapun tidak kunjung sembuh hingga keadaanku parah seperti orang yag akan meninggal.
Suatu kertika aku bilang kepada anak perempuanku, “Nak, ambilkan aku Al-Qur’an”
Kemudian diambilkanlan Al-Qur’an, dan ku baca surah Yasin. Setelah selesai, aku berdo’a, “Ya Allah. Dengan barokah surat Yasin, dengan barokah Al-Qur’an al-Adzim, hamba taubat dan janji tidak akan mengulangi kembali dosa-dosa itu jika Engkau memberikan kesembuhan”
Allah akhirnya memberikan kesembuhan. Aku aktif kembali ngaji dan beribadah dengamu. Tapi setelah sekian lama, kembali aku melakukan dosa-dosa. Aku lupa dengan janjiku kepada Allah.
Kalau sedang sendiri, aku suka melakukan banyak hal yang menyenangkan nafsu. Sampai kemudian Allah memberikan sakit sama seperti yang pertama, saking parahnya sampai aku seperti orang yang akan meninggal.
Kemudian aku bilang lagi kepada anakku untuk mengambilkan Al-Qur’an. Ku baca lagi surat Yasin dan berdo’a lagi. Allah memberi kesembuhan lagi untuk yang kedua kalinya.
Waktu berselang lama, aku lupa lagi dengan janjiku dan kembali melakukan dosa-dosa. Aku suka melakukan hal-hal yang menyenangkan nafsu. Tidak ada yang mengerti sebab secara dhohir aku terkenal sebagai orang yang baik dan ahli ibadah.
Allah kemudian memberikan sakit kembali, untuk yang ketiga kalinya. Aku teringat cara-cara sebelumnya. Aku meminta anakku untuk memgambilkan Al-Qur’an. Tapi setelah ku buka, bersih, tidak ada tulisannya. Aku meminta ankku mengambilkan Al-Qur’an yang lain. Ku buka, tidak ada tulisannya. Ku minta lagi anakku untuk mengambilkan Al-Qur’an yang lain, tapi setelah ku buka tidak ada tulisannya sampai berkali-kali tetap sama. Saat itulah aku sadar bahwa barangkai Allah sudah tidak mengampuni aku lagi.
_____
Mendengar cerita itu, Manshur bin Ammar keluar rumah sambil menangis sebab masih belum percaya dengan apa yang menimpa rekan dekatnya itu.
Belum jauh dari rumah rekannya tadi, anak perempuan dari karibnya memanggil, “Pak, Pak!! Ayah saya sudah meninggal”
Kemudian Manshur mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H