Bahkan waktu masih mondok, saya sangat suka mbaca berbagai literatur filsafat tingkat tinggi. Pelajaran saya kitab kuning tapi bacaan saya filsafat. Novel saya Ko Ping Ho dan novel-novel barat, satu-satunya Novel lokal cuma Novel Wiro Sableng, buat selingan. Harapan saya untuk bisa 'gelut' dengan anak kampus itu sudah sangat tinggi waktu itu.
Sudah menggebu-gebu seperti itu, lalu kok ya dapat dawuh tadi: Idris, gak usah kuliah! Satu kalimat sakti.
Berkali-kali saya itu merenung, selalu teringat dawuhnya Abah saya: guru mbek wong tuo, disikno guru. Sementara ibuk saya terus memompa saya untuk kuliah. Bahkan karena saya ndak punya ijazah formal, Beliau sampai mencarikan bagaimana biar saya bisa punya ijazah formal, dan jadilah saya ikut ujian akhir di Aliyah negeri itu.
Ibu saya pun juga dawuh: Dris, awakmu lek gak kuliah, ketinggalan zaman. Bakal kalah pinter dari murid-muridmu.
Nyatanya benar. Sekarang banyak murid-murid saya yang sudah jadi doktor. Gurunya tetap begini-begini saja.
Dawuh Ibu saya waktu itu: awakmu bakal kalah pinter dari murid-muridmu. Tapi guru yang sukses itu kalau ia bisa menjadikan muridnya lebih pintar dari dirinya. Murid-murid saya sudah banyak yang jadi doktor, kuliah S2 juga banyak. Lha gurunya, saya ini, ijazah S1 saja pemberian dari Pak Kholiq, rektor iaibafa.
Perjalanan setelah itu ndak saya ceritakan.
Kemudian, kebetulan waktu itu bertepatan dengan gerakan 98, reformasi. Saya diperintahkan Kyai Djalil untuk mendatangi berbagai macam seminar dan berbagai macam pergerakan. Jadi saya ada di pergerakan-pergerakan kampus tanpa terdaftar menjadi mahasiswa kampus tersebut.
Kyai ternyata memberi saya jalan lain.
Kemudian disini, dibuat yang namanya Diklat Ulil Albab, dosennya didatangkan kesini oleh Kyai. Termasuk diantara dosen yang datang kesini adalah menteri pendidikan Prof. Dr. Mohammad Nuh.
Ternyata Kyai memberi jalan lain. Nggak kuliah di kampus luar, malah dosennya yang didatangkan dan mengajarkan keilmuan secara langsung.