Yang selalu menarik dari Abah K.H. Mohammad Idris, terlebih ketika Agenda Sowan Kelas Akhir kemarin, adalah cerita-cerita yang Beliau sampaikan. Agaknya hal demikian sudah menjadi ciri khas.
"Kali ini saya tidak akan memberi mauidzhoh atau arahan-arahan. Kalau saya beri arahan terus ndak dijalankan khawatirnya malah dosa". Begitu yang disampaikan Abah dalam pembukaannya.
Abah memberikan penjelasan bahwa santri sekarang tidak seperti santri dulu. Kalau santri dulu, dawuh dari guru adalah segala-galanya.
Bahkan kalau dawuh guru dan orang tua berseberangan, harus memilih dawuh guru.
. . .
Mengapa demikian? Karena orangtua itu yang merumat jasad: yang dipingini banyak orang tua pasti bagaimana anaknya sukses, hidup mapan, dapat pekerjaan yang layak. Kalau Guru, lebih mementingkan bagaimana biar muridnya selamat hingga akhirat.
Jasad manusia pasti selesai, tapi kalau ruh tidak. Ruh-lah yang akan kekal. Dan keselamatan ruh sampai ke akhirat jauh lebih diprioritaskan daripada kesejahteraan jasmani di dunia saja.
Santri itu idealnya seperti itu harusnya. Manut opo dawuh Guru. Tapi kalau Ndak di buktikan ya ndak bisa.
Abah Idris kemudian melanjutkan: Saya itu bolak-balik diuji sama Romo Kyai Djalil. Waktu saya lulus Aliyah, pengen sekali kuliah di luar negeri. Tapi saya ndak berani matur ke Abah saya. Karena ndak ada sinyal dari Abah untuk saya kuliah. Tapi kepengen banget kuliah di luar negeri