Lalu pas hari raya, saya sowan kepada Romo Kyai Djalil bersama Abah dan se keluarga. Tiba-tiba Kyai Djalil dawuh: "Gus, ndak usah boyong. Diteruskan saja di Lirboyo sampai selesai Ma'had Aly, tabarrukan tabaruukan sampai selesai Ma'had Aly. Ndak usah kepingin kuliah ke luar negeri, sama saja. Kuliah di luar negeri sama dalam negeri itu yang penting orangnya. Bermanfaat atau tidak.
Dawuh itu kadang-kadang sesuai dengan zamannya saja, kadang-kadang berlaku untuk terus. Tapi kayaknya dawuh Kyai Djalil itu khusus untuk saya saja. Karena beberapa tahun setelah itu Kyai Djalil mengirim santri ke Yaman satu bus.
Pupus sudah harapan, manut guru. Saya kemudian melanjutkan di Lirboyo.
Setelah Ma'had Aly, kemudian saya kepingin kuliah normal di perguruan tinggi pada umumnya. Apakah di Surabaya, di Jakarta, pokoknya kepingin kuliah normal.
Waktu saya lulus dari Ma'had Aly, bertepatan juga sama lulusnya Bu Ifa dari Aliyyah di Matholi' Kajen dan Bu Ida juga lulus dari Muallimat Tambakberas.
Kemudian, seperti biasa, kami sekeluarga sowan hari raya kepada Kyai Djalil. Ndak ada angin ndak ada hujan, setelah sungkem mau pamit, tiba-tiba Romo Kyai Djalil dawuh: Idris, gak usah kuliah. Ida, kuliah.
Ini yang laki-laki kok ndak boleh kuliah, malah yang perempuan diutus kuliah. Sudahlah, sami'na wa atho'na
Dapat dawuh lagi, manut lagi. Kalau Bu Ifa ndak ada dawuh, akhirnya beliau kursus bahasa inggris di Pare.
Begitulah perjalanan keluarga kami.
Apakah dawuh Romo Kyai Djalil cocok dengan keinginan saya? Tidak sama sekali. Waktu pulang, wajah saya lusuh seperti pakaian seminggu ndak di setrika. Sama sekali tidak cocok dengan keinginan hati.
Padahal saya itu sangat senang dengan wawasan, sangat senang dengan diskusi dan perdebatan, sangat senang bersosial, sangat senang berorganisasi dan itu semua tempatnya di kampus.