"Iya mas. Aku doakan..."
Suasana hening menemani kita di Mobil, dengan air conditioner yang mulai merasa dingin. Aku mencoba untuk menenangkan perasaan Hanna.
"Sebenarnya Mas nggak tega ngasih undangan kayak gini ke Hanna. Tapi memang harus aku berikan ke Hanna agar perasaan Mas tenang. Apa Hanna tidak menyadari jika Mas dari dulu sebenarnya suka dengan Hanna." Sepertinya setelah perkataanku selesai, aku mulai mendengar isak tangis Hanna. Aku merasa bersalah, tapi aku tidak bisa membuat orang lain menjadi tersakiti karena perasaanku yang masih tertinggal. Aku hanya mengelus pundaknya saja untuk mencoba menenangkannya. Isak tangis Hanna lama kelamaan mereda.
"Sebenarnya Mas, Hanna juga suka sama Mas. Sayang banget malah sama Mas. Tapi dulu Hanna nggak berani, karena nggak mau disebut sebagai perusak hubungan orang Mas. Hanna tahan untuk menjaga jarak terlebih dahulu. Hanna sengaja untuk tidak membalas pesan yang Mas kirim agar komunikasi kita ada jedanya. Aku pikir Mas bakal ngejar Hanna lagi. Tapi Aku yang bodoh Mas. Aku tidak mengira jika Mas akhirnya benar-benar tidak menghubungiku sama sekali. Aku takut menghubungi Mas. Jadi aku hanya bisa nyimpen perasaan ini selama empat tahun. Mas tahu? Hanna seneng banget tiba-tiba Mas bilang ada di dekat Hanna. Ada alasan lagi untuk bisa menghubungi Mas. Tujuannya agar kali ini aku bisa memberikan apa yang aku rasa ke Mas. Tapi semuanya terlambat ya Mas?" jawab Hanna dengan suara gemetar. Aku bingung menjawab apa. Hening kembali menemani kita berdua.
"Maafin Mas yang belum bisa pertahanin perasaan Mas ya. Sebagai laki-laki yang berpikiran rasional, mengetahui situasi itu membuatku menyimpulkan jika sudah tidak ada kesempatan lagi sama Hanna."
"Harusnya Mas gitu dong. Tapi Hanna juga salah sih, harusnya Hanna yang berani juga ngungkapin perasaan Hanna ke Mas. Tapi sekali lagi makasih ya, Mas sudah mau jujur. Hanna kali ini juga mau jujur sekali lagi kalau Hanna suka dan sayang sama Mas"
"Makasih ya Han, dan kayaknya kita cuma bisa di zona kakak adik saja. Hahahaha!"
"Ya, pokoknya Mas tetap bantuin Hanna ya nantinya. Tenang aja, Hanna ga bakal bikin cemburu pasangannya Mas. Tapi  boleh tanya sesuatu nggak Mas?" Pertanyaan yang diutarakan sedikit menggantung ada ada sedikit keraguan.
"Iya boleh, tanya aja Han."
"Mas sudah pernah ciuman sama pacarnya Mas?" Hanna menanyakannya malu-malu. Tentu saja aku tertawa terbahak-bahak. Hanna menampilkan wajah termanisnya saat tertawa. Ia memaksaku untuk segera menjawab. Namun aku tidak segera menjawabnya.
Aku mengantarkan sampai depan rumah Hanna. Kemudian ia mengajakku masuk ke dalam rumahnya, namun jam sudah menunjukkan hampir dini hari. Lalu Hanna menyuruhku menunggu sebentar dan mengeluarkan tripod. Ia memintaku untuk foto terakhir kalinya. Aku merasakan lengan Hanna menggandeng tanganku. Foto itu terlihat sangat menarik, namun aku tidak berniat memintanya.