Mohon tunggu...
Afan Bachtiar
Afan Bachtiar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penulis biasa yang menyukai semua konten tulisan. Hobi membaca cerita bergambar yang memiliki jalan cerita yang unik dan menarik. Ingin berkarya melalui tulisan. Sudah terbiasa menulis sejak kecil, tapi besarnya nyasar ke jurusan lain. Ujung-ujungnya tetap melakoni dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

How Are You, Hanna?

20 November 2021   12:33 Diperbarui: 20 November 2021   12:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Lupain aja Han. Dia saja nggak mikirin kamu. Lebih baik kamu mencari yang lain saja." Saranku kepada Hanna. Lalu tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Perasaanku campur aduk. Senang, sedih, semuanya jadi satu. Aku sudah tidak berpikir lagi bagaimana dengan perasaan pacarku jika mengetahui hal ini.

Sejak kejadian itu, banyak yang bergosip jika aku dekat dengan Hanna. Aku menepisnya dan bilang jika aku hanya menganggapnya sebagai adik. Namun ketika kabar tersebut sampai ke pacarku, hal ini menjadi topik yang panas diantara kita berdua. Pada akhirnya aku tidak bisa mempertahankan hubunganku. Aku putus dengan pacarku. Mungkin semua orang berkata bahwa sangat disayangkan aku putus dengan pacarku. Karena hubungan itu sudah ada sejak tiga tahun lamanya dan selalu didoakan untuk sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Lalu apa yang aku pikirkan ketika hubunganku selesai? Aku bahagia. Aku senang karena aku tidak lagi menahan perasaanku terhadap Hanna. Tidak peduli lagi jika kobaran perasaanku ini sudah menjadi sebuah obsesi untuk bersama Hanna. Pikiranku saat itu tertuju pada Hanna.

Insiden aku putus dengan pacarku juga bertepatan dengan lulusnya aku dari SMA. Jelas saja hal itu juga membuatku tidak bisa bertemu dengan Hanna lagi. Ketika aku ceritakan bahwa aku sudah tidak berhubungan lagi dengan pacarku, Hanna hanya menanggapinya seperti tidak ada apa-apa. Aku pun yang memiliki tujuan untuk bisa memiliki hubungan spesial dengan Hanna, tidak sadar jika hal tersebut ternyata ada apa-apanya.

Aku sibuk dengan perkuliahanku dan Hanna sibuk dengan ujian kelulusannya. Aku sendiri kuliah tidak jauh dari tempat tinggalku sehingga aku masih bisa mengajak pergi Hanna. Terkadang Hanna yang mengajakku pergi untuk sekedar menanyakan materi ujian yang tidak ia mengerti. Karena aku ingin memberikan radar bahwa aku suka dengannya, maka aku dengan senang hati mengajarinya. Di sela-sela pertemuan kita, aku selalu menyelipkan tanda bahwa aku tertarik dengannya. Namun Hanna dengan cueknya menepis tanda itu dan seakan-akan aku ini hanya sekadar kakak baginya.

Pada akhirnya, Hanna lulus dengan nilai memuaskan. Hanna mengucapkan rasa syukur dan terima kasih karena cara yang aku ajarkan berguna sekali untuknya. Namun, pada akhirnya usaha yang aku lakukan tidak membuat Hanna tertarik padaku. Bahkan ia lebih memilih untuk kuliah di kota kelahirannya dibandingkan di kota-ku yang memiliki banyak universitas yang terkenal. Pertemuanku dengan Hanna yang terakhir terjadi di stasiun kereta.

"Makasih ya Mas sudah bantu Hanna selama ini." Ucapnya sambil tertawa. 

"Iya sama-sama Han. Mas juga senang kok bantuin Hanna. Jangan lupa keep contact ya sama Mas. Jangan lupain Mas disini. Kalo kangen SMA, mampir saja. Nanti Mas pasti jemput."

"Iya Mas, aku janji!" Ucapnya mantap. Hanna masuk ke kereta api Kahuripan. Aku melihatnya ia duduk dengan nyaman dan memberikan gerakan sampai jumpa yang terlihat dari jendela kereta api. Tentu saja aku membalas gerakan tersebut. Sampai saat ini, aku belum berani mengungkapkan perasaanku padanya karena takut aku tidak bisa lagi berhubungan dengan Hanna.

Hana telah pergi dari kota ini. Rasanya ada yang hilang. Namun rasa tersebut masih terobati dengan banyaknya pesan yang saling kita kirimkan untuk saling melepas rasa rindu. Hingga apa yang aku takutkan terjadi. Hanna sudah jarang membalas pesan yang kuberikan. Bahkan telepon saja sudah tidak diangkat lagi. Ada suatu masa tiba-tiba saja Hanna menghubungiku untuk suatu keperluan. Namun ketika keperluannya selesai, dia menghilang. Hingga pada akhirnya, aku sudah menyerah untuk menghubungi Hanna lagi. Mungkin saat itu, rasanya perasaanku yang berkobar-kobar ini disiram air oleh logika-ku. Logika-ku berkata untuk segera melanjutkan kehidupan. Kenyataannya perasaanku masih ada sedikit percikan yang menggambarkan Hanna.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun