****
Centang dua sudah nampak pada whatsapp yang sudah aku kirim. Lalu tidak lama dari itu, pesanku dibalas dengan cepat. Akhirnya aku menentukan tempat janjian. Saatnya menghapus semua keraguan ini.
****
"Halo Mas! Masa baru ngabarin sekarang sih kalau kesini. Tahu gitu kan aku bisa selesaikan pekerjaanku lebih cepat"
"Iya maaf ya kalau dadakan, soalnya baru ingat kalau kamu tinggal di dekat kota ini. Makanya Mas ngehubungin kamu. Apa kabar Hanna? Kayaknya sudah empat tahun kita tidak berjumpa ya Han?"
"Baik Mas. Iya nih udah lama nggak ketemuan ya Mas. Mas udah makan? Hanna belum makan nih, mau makan sate langganan Hanna nggak?" Aku mengangguk. Kali ini aku masih menuruti apa yang diinginkannya.
Aku mendengar ceritanya selama empat tahun. Aku masih mendengarkan Hanna yang ternyata masih belum bisa move on dengan orang yang ia sukai. Aku merindukan masa-masa indah SMA. Aku merindukan Hanna. Percikan perasaan ini kembali mulai berkobar secara perlahan-lahan seakan perasaan ini sudah seharusnya keluar.
Semakin malam, aku semakin tidak yakin apakah aku akan bisa melepas Hanna dari perasaanku. Hal ini memuncak ketika Hanna akan aku antar pulang ke rumah. Ada perasaan sedih yang muncul dari raut wajah Hanna. Lalu kemudian aku mengeluarkan smartphone-ku untuk mengirimkan dokumen.
Smartphone Hanna berbunyi, ia semakin menimbulkan raut wajah yang tidak mengenakkan.
"Ini beneran Mas? Mas mau nikah?"
"Iya Han. Mas mau nikah. Doain ya Han."