Mohon tunggu...
Aqiella Fadia Rizqi
Aqiella Fadia Rizqi Mohon Tunggu... Freelancer - Imperfect Zero Waste Fighter

Bumi, yang kuat ya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Salahku di Nada Bicara dan Kemunduran Intelektual. Salahmu (Mungkin) di Persepsi

14 September 2024   15:29 Diperbarui: 14 September 2024   15:33 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mengapa pasca wisuda sarjana mentalku malah mengalami kemunduran. Setidaknya demikian yang aku tangkap dari respon 'kecewa' orang-orang tercinta di sekitarku.

Puji syukur masih ada pertanyaan dari (the one and only, Iqbal) adikku, "kamu tuh kenapa, mbak?"

"Aku gak tau apa yang terjadi sama diriku. Tapi aku memang ngerasa gak baik-baik saja". "Separah itu kah aku?" Tanyaku lagi pada Iqbal diujung telpon sana

"Parah sih mbak. Gesturmu keliatan banget gak nyaman waktu tatap muka. Matamu kemana-mana" Iqbal selalu jujur apa adanya. Terkesan cuek kalau kamu pertama kenal dia. Memang nyatanya demikian.

Oleh karena itu sangat membahagiakan ketika Iqbal mau peduli denganku (walaupun kami memang kakak beradik-sudah sewajarnya saling peduli).

Aku pernah mencoba konseling sekali. Tapi bukan kelegaan yang kudapatkan. Entah, masih banyak pertanyaan, tapi sesi sudah habis. Mau booking sesi lain hari, kalimat sekitar "kurang ibadah aja kamu tu" "ngapain buang-buang duit" dan sebagainya dan seterusnya.

That's my bad. *Kalau orang yang ku hormati sudah beropini, maka di bawah alam sadar aku otomatis mengamini. 

"Kamu tuh gak konsisten kok!" ~kun faya kun "gak konsisten"

"Kamu tuh bodoh. Sarjana kok pemikirannya segitu doang" ~ jadilah

"Ya kan harusnya kamu buktikan dong kamu gak seburuk kata orang-orang itu??"

Harusnya sih, gitu ya. Tapi balik *they're my majesty ~ junjunganku. Suri tauladan yang (ternyata sejak kecil) jadi panutan. Idola. 

Kalimat-kalimat mereka menggema dan jadi mantra di otak dan jiwa.

Bukan menuntut afirmasi positif sepanjang waktu juga~ aku sadar, memang tingkah polahku saat ini sangat mudah memicu kejengkelan.

Kamar tidur yang tidak pernah bisa rapi, baju tergantung begitu banyak, bangun tidur yang selalu harus diobrak-obrak, gak bisa masak, sekalinya di dapur lamaaaaaa-hasil masakan sampah, sholat di ujung waktu, manajemen waktu yang (aku pikir bisa kulakukan semua) sok paling sibuk banget sihhh.

Hari ini (Sabtu, 14/09/24) sudah menjadi hari yang melelahkan untuk ibuk Niha (bibi-adik bungsu ibuk. Yang sekarang lebih besar respectku ke beliau daripada ibuku sendiri)

Pagi ini aku memang tidak perlu di'omelin' dulu untuk bangun. Aku bangun karena dengar suara keras beliau membangunkan Gaza(putranya yg sedang libur singkat dari ponpes)

Bangun, cuci wajah, hendak masak, tak tahu rencana ibu Niha. Tunggu.

Kenapa gak inisiatif masak? "Aku lelet" dan siapa yang mau tanggung jawab atas bahan makanan yang sia-sia aku olah? Astaghfirullah mubazirr

Melewati baju Gaza yang sedang diputar di mesin cuci. Aku keluar ke pintu belakang untuk olahraga naik turun tangga di ruang sedang antara rumah Gaza & tetangga. 

"Aku gak ngapa-ngapain kalau di belakang" "gak gerak" "sama aja boong"

I do some exercises without she knows 

Mulai masak. Kutawarkan diri untuk membantu masak "aku bisa masak apa?"

"Yo Kono Masak. Ape masak nondi wong kompor yo gur siji"

I mean.. aku bisa bantuin apa?

No answer no smiley face. Flat. Sambil tetap menggoreng tempe bergantian ayam

"Mm bikin sambel gak?" Tanyaku lagi "Gak" dijawab cepat 

Beralihlah aku ke mesin cuci yang hanya berisi baju-baju basah, "ini sudah belum.."

"Durung rampung" dipotong 

"Ya, maksudnya kurang berapa kali bilas/kurang pewangi saja?" Kucoba memperjelas 

"Kurang pewangi"

"Prasaku nek mamak(yg biasa bantu-bantu di rumah) ngewangi aku ki yo langsung temandang ora kakean takon"

HEY klarifikasi sedikit : aku pernah nambah air ke cucian. Ternyata salah. Baju-baju itu sudah siap dijemur!

Kutunggui cucian Gaza hingga timer kuceknya berhenti. Kubuang juga sisa airnya. Lantas menyusul ke meja makan yang ternyata sarapan sudah selesai. Oke, gantian aku yang makan.

Menikmati telo/singkong goreng hangat yang sepertinya belum tersentuh. Karena semua sudah makan pagi kecuali aku. Enak-batinku.

"Mangan ki yo sego kono lho" ucap ibuk Niha setengah aku makan beberapa potong.

Aku respon dengan segera ambil piring dan mencentong nasi hangat. Ketika kulihat lauk, di sana ada piring putih dengan 2 potong ayam (1nya sudah tinggal tulang) berlumpur sambal geprek. Masih tersisa dan sangat pedas.

"Oh, aku memang gak jago buat sambel, sih" makanya mungkin karena itu ibuk bohong tidak membuat sambel ketika awal tadi kutanya.

Sarapan-selesai. Masih nyemil-nyemil. Dari pintu penghubung dapur dan ruang tamu, ibuk Niha muncul "Gaza mana?"

Agak kaget (karena tidak lagi terdengar ada nada marah ke aku seperti percakapan sebelum-sebelumnya) "masuk kok" jawabku dengan suka cita.

"Gaza.. Gaza..." Ternyata Gaza diajarkan mandiri. Walaupun cuci baju sudah pakai mesin. Menjemurnya harus dengan tangan sendiri. Tidak perlu minta bantuan, sekalipun itu mamak.

Aku pamit 1 jam ke depan pakai motor untuk les. 

Ternyata aku pulang 2 jam setelahnya. Quality time with students 

"Oh, aman, motornya belum akan dipakai"

Sekitar ba'da zuhur ternyata bertiga hendak keluar. Aku tahan diri untuk tidak banyak tanya seperti yang sudah-sudah. Karena ternyata annoying buat ibuk.

Aku tidur. 

Sebangunnya aku, rumah masih sepi. Belum lapar. Tapi kulihat sisa telo ada 3 potong. Gandos rangin dari rumah murid les juga utuh 2 potong. Aku makanlah itu.

Di sisa makan, datanglah om Ari bonceng Gaza, dan ibuk sendiri. Panas sekali udara di luar. Tanpa mampir dapur Gaza dan om Ari masuk bagian rumah yang lebih sejuk di depan.

Sempat aku bilang ke om "telone tak entekke ya" diangguki

Di belakang ibuk masuk. Amat sangat kucoba tahan untuk tidak membuat sedikitpun kesalahan. Diam. Gak perlu kepo.

Mata kami bertemu dari kejauhan, "ngopo El" basa basi ibuk. "Ngentekke telo" jawabku apa adanya.

Ternyata ini mentrigger lagi sesuatu yang aku takutkan.

Ibuk yang tadi sudah masuk rumah. Kembali di ambang pintu dengan nada agak tinggi sedikit "nek lesu ki mangan. Gawe lawuh dewe. Wong yo ono endog, ono tempe. Seenengane lho. Wong yo wes gede. Mosok gak iso masak dewe"

DUARRR

I don't think kalimat yang hampir sama kubilang ke suaminya akan berefek 180 di istri.

Aku gak lapar. Hanya menghabiskan telo. Takute mubazir 

HEY klarifikasi sedikit : kemarin aku bawa 2 bungkus bubur sumsum. Kutawarkan ibuk, ibuk gak mau. Kutawarkan om Ari, beliau mau. Ternyata sampai sore buburnya tidak termakan dan basi. I do ate the telo and gandos for save the earth loh 

15.19 aku selesai menulis tulisan aneh ini. Posisi ibuk Niha masih marah/uring-uringan ke aku

Maaf ya buk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun