Entah mengapa pasca wisuda sarjana mentalku malah mengalami kemunduran. Setidaknya demikian yang aku tangkap dari respon 'kecewa' orang-orang tercinta di sekitarku.
Puji syukur masih ada pertanyaan dari (the one and only, Iqbal) adikku, "kamu tuh kenapa, mbak?"
"Aku gak tau apa yang terjadi sama diriku. Tapi aku memang ngerasa gak baik-baik saja". "Separah itu kah aku?" Tanyaku lagi pada Iqbal diujung telpon sana
"Parah sih mbak. Gesturmu keliatan banget gak nyaman waktu tatap muka. Matamu kemana-mana" Iqbal selalu jujur apa adanya. Terkesan cuek kalau kamu pertama kenal dia. Memang nyatanya demikian.
Oleh karena itu sangat membahagiakan ketika Iqbal mau peduli denganku (walaupun kami memang kakak beradik-sudah sewajarnya saling peduli).
Aku pernah mencoba konseling sekali. Tapi bukan kelegaan yang kudapatkan. Entah, masih banyak pertanyaan, tapi sesi sudah habis. Mau booking sesi lain hari, kalimat sekitar "kurang ibadah aja kamu tu" "ngapain buang-buang duit" dan sebagainya dan seterusnya.
That's my bad. *Kalau orang yang ku hormati sudah beropini, maka di bawah alam sadar aku otomatis mengamini.Â
"Kamu tuh gak konsisten kok!" ~kun faya kun "gak konsisten"
"Kamu tuh bodoh. Sarjana kok pemikirannya segitu doang" ~ jadilah
"Ya kan harusnya kamu buktikan dong kamu gak seburuk kata orang-orang itu??"