"Kamu juga, dapet dari mana kata-kata itu". Sebenarnya aku juga tahu, ibu ini sama kagetnya denganku saat anaknya melontarkan kata itu. Dengan nyenye nyenye adikku mencoba membenarkan dirinya, jelas dengan tetap menyalahkanku.Â
Tapi poinnya, anak SD sudah bisa loh menggunakan kosakata itu. Iya mungkin dia sudah dapat dari pembelajaran di sekolah. Tentu, aku yakin dia dapat. Sekolah dia berbasis karakter dan agamis. Seingatku juga dia memang pernah menjelaskan ke ibunya tentang 'cerai itu apa' berdasarkan logikanya. "Berarti Ayah sama Ibu juga cerai ya, karena berpisah" memang ayahnya sudah meninggal 3 tahun lalu.
Sedangkan kalimatnya untukku, yang meluncur bebas tadi, aku yakin bukan berdasarkan pemahamannya dari ilmu di sekolah. Sebab sadar atau tidak, logika yang coba dibangun adalah 'Kalo mbak nikah, tapi gak bisa masak, mbak akan bercerai'. Apa semudah itu? Wait..wait.. kok kayak nggak asing sama pemahaman semacam itu. Tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, tapi jelas itu logika FTV yang biasa dia tonton.Â
Ini memang salahku, tidak bisa menemukan cara 'menasehati' dengan tepat. Mengingatkan pada tayangan Q&A di Metro TV yang mengundang Komisi Penyiaran Indonesia (29/09) 2019 lalu, yang membenarkan bahwa tayangan FTV dan sinetron ini memiliki value atau nilai yang tinggi. Â
Setuju, pak, bu.
Tapi menurutku, ketika perceraian sudah menjadi sesuatu yang 'biasa' juga bahaya. Perceraian ini -menurutku, jadi komoditas juga(kalau berdasar Q&A di atas, bukan cuma jenazah). Kita tidak bisa menyalahkan pasangan yang berpisah hanya karena suami ingin naik motor istri maunya naik mobil, atau alasanku tadi, tidak bisa masak~lantas bercerai.
Padahal aku yakin perceraian itu pilihan paling terakhir untuk dua orang yang sudah mengikat janji pernikahan. Pasti ada upaya negosiasi, saling menurunkan ego, agar perceraian itu bisa dihindari. Bahkan setauku dalam semua ajaran agama, perceraian itu dibenci oleh Tuhan.Â
Wajar sih, anak tidak memahami sejauh itu. Apalagi dia hanya menerima informasi dari tontonan berdurasi sekian puluh menit, yang menggambarkan tokoh antagonis (biasanya tanpa sisi baik) memang harus bercerai dengan sang protagonis, yang nantinya menemukan pasangan baru dan hidup bahagia.
Rumah produksi tidak akan ambil pusing dengan tanggapan penontonnya setelah melihat tayangan mereka. Toh ditonton, yang penting mereka kembali bahkan menunggu-nunggu tayangannya.
Kita juga tidak bisa membebankan tanggung jawab ini hanya ke KPI. Memang tayangan FTV dan sinetron bukan diperuntukkan kepada anak-anak kok. Â
Tayangnya aja di jam anak-anak nonton. Salahkan stasiun televisinya? Apalagi.. mereka hanya pelaku kapitalisme. Kalau mau menggeser jam tayang, aku yakin akan mengurangi rating and sharing mereka.