Judul artikel terinspirasi dari judul-judul sinetron yang biasa tayang di televisi swasta yang lebih sering daripada ketentuan minum obat.
Sejauh saya ketahui dan rasakan sendiri, apabila membahas tayangan televisi saat ini utamanya sinetron atau FTV di Indonesia pasti tidak akan ada ujungnya. Semua orang punya pendapat dan prespektifnya masing-masing.
Begitu beragam alasan mereka yang kurang menyukai genre tayangan ini. Salah satunya karena tema dan cerita yang diangkat selalu tidak jauh dari hubungan (keluarga, anak-ortu, suami-istri, dst) yang tidak harmonis. Si protagonis cenderung divisualkan sangat lemah sedang antagonis begitu dominan bahkan jarang sekali nampak secuil sisi baik darinya sebagai manusia.
Di lain pihak, para penikmat tayangan ini juga memiliki pendapatnya masing-masing. Misalnya, yang paling sederhana, mereka merasa terhibur. That's it, Sesimpel itu. Dan memang itulah fungsi tayangan semacam ini. Sampai sini tidak ada yang salah, untukku.
Aku yakin jumlah penontonnya tidak mungkin sedikit. Terbukti dari jumlah tayangan dalam sehari dan jadwal tayang yang mengambil jam-jam efektif.Â
Mulai di sinilah aku terganggu. Bukan karena tayangannya, sebab masih banyak sekali alternatif tontonan selain FTV atau sinetron-sinetron ini, di stasiun televisi yang lain, atau bahkan platform digital lain, semacam youtube, iflix, netflix, dan sebagainya.Â
Berdasarkan pengamatan pribadi, penggemar FTV dan sinetron bukan hanya orang dewasa -yang merupakan sasaran audiens utama, terlebih ibu-ibu rumah tangga. Namun semakin ke sini, anak-anak mereka pun ikut menikmati tontonan semacam ini. Pun terjadi di rumah yang saat ini aku tinggali (rumah tante). Alasannya?Â
1. Ikut orang tua atau orang dewasa di sekitarnya
Mungkin awalnya anak hanya melihat sekilas, lalu pergi bermain. Tapi ketika mereka sedang tidak berminat keluar rumah dan bertepatan tayangan itu diputar di televisi rumahnya, tidak menutup kemungkinan, anak itu lantas menaruh perhatian.Â
Apalagi jika orang dewasa di sekitarnya membiarkan atau bahkan mendukung "eh (tayangan)ini aja, jangan diganti" misal. Karena itu sesuatu yang baru, tidak jarang anak tertarik dan terus-menerus menonton, jadi ke'biasa'an deh.
Bahkan tidak jarang, anak terlebih dahulu menyukai tontonan ini daripada orang tuanya. Ketika orang tua sudah membatasi, tapi anak masih bisa menonton di rumah saudara atau tetangga terdekat.Â
Karena pada umumnya anak akan lebih dilonggarkan ketika bertamu seperti itu. "Alah biarin, toh jarang ke sini, masa sekalinya main-nonton tv malah dilarang" padahal saudara atau tetangganya itu juga memang ingin menonton.
2. Ada yang peduli, tapi lebih banyak yang memaklumi
Ini pengalaman yang tepat terjadi kemarin. Sebenarnya aku dan tante memiliki pendapat yang intinya sama, FTV dan sinetron bukan tontonan sehat anak, tapi kadar toleransinya jauh berbeda.Â
Aku dengan latar belakang didikan orang tua yang super ketat, termasuk ketika melihat tayangan televisi, menjadi terbiasa tidak menonton sinetron, bahkan hingga sekarang.Â
Kadang terpaksa menonton pun karena tuntutan tugas kuliah. Selaras dengan program studi yang aku tempuh, Ilmu Komunikasi, aku jadi merasa punya tanggung jawab untuk memastikan orang-orang menonton tayangan yang sehat. Terlebih anak-anak, apalagi itu adik sepupuku sendiri.Â
Sehingga tidak jarang aku meniru gaya orang tuaku dulu, melarang keras!. Tapi beda zaman beda pula tanggapannya. Dulu aku pasti langsung mengganti channel dan ogah menonton, sebab takut. Adik sepupuku? Tidak bergeming. Kadang emosi juga, sampai sama-sama mengeraskan suara.
Saat awal-awal itu terjadi, tante mendukungku. Tapi ketika aku dan adik hampir setiap hari cek-cok karena urusan yang sama, bahkan adikku sampai merengek, ibunya malah memarahiku. "Gak usah terlalu keras. Lama-lama juga bosen dinasehatin mulu" Beliau juga beranggapan aku berlebih.Â
Iya juga sih, dikit tapi. Memang aku perlu menemukan pendekatan yang lebih halus terhadap anak-anak sekarang. Mereka lebih kritis dan punya segudang jawaban untuk setiap nasehat yang kita berikan. Sekaligus pertanyaan jika merasa nasehat itu tidak masuk logika mereka.
Lantas hasil dari pemakluman tadi apa?
Aku dikejutkan ketika tante dan adik menilai masakanku yang tidak enak, terlalu pedas untuk mereka. Tante mengingatkan jika usiaku, 2 atau 3 tahun lagi sudah ideal untuk menikah, "mau masakin apa buat keluargamu nanti? Padahal ibumu jago banget masak lo, masa anaknya gak bisa sama sekali belajar dari dia..." dan seketika adikku nyletuk "cerai aja!" mengikuti gaya ibunya menasehatiku.Â
Di situ mulutku tidak bisa dikontrol "ya gausah nikah aja!". Tante tersinggung dengan ucapanku "dibilangin baik-baik kok malah gitu". Bukan beliau yang aku jawabi, tapi anaknya.
"Kamu juga, dapet dari mana kata-kata itu". Sebenarnya aku juga tahu, ibu ini sama kagetnya denganku saat anaknya melontarkan kata itu. Dengan nyenye nyenye adikku mencoba membenarkan dirinya, jelas dengan tetap menyalahkanku.Â
Tapi poinnya, anak SD sudah bisa loh menggunakan kosakata itu. Iya mungkin dia sudah dapat dari pembelajaran di sekolah. Tentu, aku yakin dia dapat. Sekolah dia berbasis karakter dan agamis. Seingatku juga dia memang pernah menjelaskan ke ibunya tentang 'cerai itu apa' berdasarkan logikanya. "Berarti Ayah sama Ibu juga cerai ya, karena berpisah" memang ayahnya sudah meninggal 3 tahun lalu.
Sedangkan kalimatnya untukku, yang meluncur bebas tadi, aku yakin bukan berdasarkan pemahamannya dari ilmu di sekolah. Sebab sadar atau tidak, logika yang coba dibangun adalah 'Kalo mbak nikah, tapi gak bisa masak, mbak akan bercerai'. Apa semudah itu? Wait..wait.. kok kayak nggak asing sama pemahaman semacam itu. Tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, tapi jelas itu logika FTV yang biasa dia tonton.Â
Ini memang salahku, tidak bisa menemukan cara 'menasehati' dengan tepat. Mengingatkan pada tayangan Q&A di Metro TV yang mengundang Komisi Penyiaran Indonesia (29/09) 2019 lalu, yang membenarkan bahwa tayangan FTV dan sinetron ini memiliki value atau nilai yang tinggi. Â
Setuju, pak, bu.
Tapi menurutku, ketika perceraian sudah menjadi sesuatu yang 'biasa' juga bahaya. Perceraian ini -menurutku, jadi komoditas juga(kalau berdasar Q&A di atas, bukan cuma jenazah). Kita tidak bisa menyalahkan pasangan yang berpisah hanya karena suami ingin naik motor istri maunya naik mobil, atau alasanku tadi, tidak bisa masak~lantas bercerai.
Padahal aku yakin perceraian itu pilihan paling terakhir untuk dua orang yang sudah mengikat janji pernikahan. Pasti ada upaya negosiasi, saling menurunkan ego, agar perceraian itu bisa dihindari. Bahkan setauku dalam semua ajaran agama, perceraian itu dibenci oleh Tuhan.Â
Wajar sih, anak tidak memahami sejauh itu. Apalagi dia hanya menerima informasi dari tontonan berdurasi sekian puluh menit, yang menggambarkan tokoh antagonis (biasanya tanpa sisi baik) memang harus bercerai dengan sang protagonis, yang nantinya menemukan pasangan baru dan hidup bahagia.
Rumah produksi tidak akan ambil pusing dengan tanggapan penontonnya setelah melihat tayangan mereka. Toh ditonton, yang penting mereka kembali bahkan menunggu-nunggu tayangannya.
Kita juga tidak bisa membebankan tanggung jawab ini hanya ke KPI. Memang tayangan FTV dan sinetron bukan diperuntukkan kepada anak-anak kok. Â
Tayangnya aja di jam anak-anak nonton. Salahkan stasiun televisinya? Apalagi.. mereka hanya pelaku kapitalisme. Kalau mau menggeser jam tayang, aku yakin akan mengurangi rating and sharing mereka.
Jadi? Lingkungan terdekat anak sajalah. Yang disalahkan harus berupaya mengurangi dampak tontonan kurang sehat untuk generasi bangsa ini.Â
Selain orang dewasa memberi contoh dengan tidak menonton tayangan yang tidak sesuai untuk anak, mungkin ada yang mau berbagi, bagaimana cara efektif untuk 'menasehati anak' terkait tontonannya(:
 Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H