Perjalanan di pertengahan tahun 2023 menjadi momen yang menyenangkan untuk dikenang karena aku dan keluarga kecilku bertandang ke Surabaya. Kala itu, beliau ada business meeting bersama salah satu rekannya. Pertemuan bersifat non formal sehingga boleh mengajak istri dan anak.
Jam 3 sore, aku dan anakku naik ke mobil sewaan, dan suamiku sudah siap di posisi sopir. Beliau sengaja berangkat pada sore hari, agar tidak terlalu macet dan enggak panas. Anakku senang sekali karena pasca pandemi jarang sekali ke luar kota.
Ban mobil melindas jalanan, kepala mengangguk-angguk karena setengah mengantuk, sementara matahari di luar bersinar dengan garang. Jika bukan karena permintaan suami, maka mungkin aku akan membatalkan perjalanan ke Surabaya. Namun beliau butuh navigator yang bisa membaca peta di aplikasi Maps, maka ikutlah kami ke ibu kota Provinsi Jawa Timur tersebut.
Menikmati Warna-Warni di Jalanan
Mobil melintas dari daerah Sawojajar menuju Arjosari. Syukurlah tidak ada kemacetan sore itu. Kulemparkan pandangan ke luar jendela, ada warna-warni di jalanan. Kendaraan roda empat yang masih mulus maupun sudah butut. Sepeda motor milik pengendara ojek online (terlihat jelas karena jaket hijaunya). Sementara ada banyak anak jalanan yang menjual kacang, mengamen dan mengemis.
Aku menoleh ke bangku penumpang di baris kedua mobil. Sejak awal berangkat, anakku minta untuk duduk sendiri di sana. Namun baru mau kuceritakan tentang keutamaan bekerja dan berjualan, daripada meminta-minta, ternyata dia sudah tertidur. Padahal dia tidak meminum obat anti mabuk sebelum perjalanan dimulai.
Mobil bergerak lagi menuju daerah Lawang dan lanjut ke Pandaan. Kami akan lewat jalan tol Malang-Surabaya. Jalan ini sangat memorable karena selalu dilalui saat aku dan keluarga besarku mudik ke Jawa Tengah, pada masa sebelum pandemi.
Surabaya yang Panas Membahana
Setelah keluar dari tol, mobil sampai di Sidoarjo. Kami disambut oleh pohon-pohon Tabebuya yang ditanam di pinggir jalan. Kerindangan dan kecantikan pohon membuat para pengendara sejenak lupa akan panasnya Sidoarjo dan Surabaya.
Sebenarnya jarak antara Surabaya dan Malang cukup dekat. Jika ditempuh dengan sepeda motor atau mobil, maka hanya butuh waktu 2 jam. Namun jujur aku jarang ke sana, lagi-lagi karena tak tahan akan panasnya. Sampai-sampai ada kawanku yang berseloroh jika di Surabaya punya 3 matahari, silau man!
 Jelang senja, mobil meluncur ke daerah Semolowaru, Surabaya. Sampai di sana, kami sudah disambut oleh rekan bisnis suamiku. Pertemuan dilakukan di rumahnya dan alhamdulillah anakku sangat senang karena bisa makan roti isi selai dan es krim yang dihidangkan oleh nyonya rumah.
Mendadak Melintasi Jembatan Suramadu
Setelah pertemuan bisnis selesai, tuan rumah mengajak untuk makan malam di salah satu restoran bebek terkenal di Madura. Mendadak sekali? Ya, mumpung kami lagi di Surabaya.
Lagipula aku belum pernah pergi ke Madura atau sekadar melihat Jembatan Suramadu, padahal sudah 30 tahun jadi warga Jawa Timur. Tentu saja tawaran baik ini langsung kuiyakan. Kami berangkat dengan 2 mobil, jam 7 malam.
Mobil berangkat melintasi jalanan Kota Surabaya yang tidak terlalu padat. Kuamati pemandangan di kanan dan kiri. Mengapa ada saja pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm? Tidak ada petugas lalu lintas yang menegur mereka.
Perjalanan di malam hari tetap saja membuat kami mengucurkan keringat karena suhu udara di Surabaya yang mencapai 30-31 derajat Celcius. Mobil terus menuju Jembatan Suramadu. Jembatan ini legendaris karena dibangun selama bertahun-tahun dan memudahkan penyebrangan menuju Madura.
Sayang sekali perjalanan menuju Pulau Garam dilakukan di malam hari. Aku tak bisa melihat jelas bentuk Jembatan Suramadu. Walau ada lampu-lampu jalan tetapi tak kelihatan jelas bagaimana rupa Selat Madura.
Menikmati Bebek Goreng Sambal Pencit
Mobil bergerak menuju daerah Bangkalan, Madura, menuju salah satu restoran bebek goreng terkenal. Tukang parkir rumah makan tersebut sangat ramah dan kooperatif.
Syukurlah kami masih kebagian bebek, walau sampai sana sudah hampir jam 8 malam. Restoran berukuran sangat besar dan habis direnovasi sehingga bangunannya masih sangat bagus. Pelayanan juga cepat, dan kami juga cepat-cepat makan nasi bebek karena sudah kelaparan.
Sepiring nasi bebek, sambal pencit, lalapan, dan sebotol air mineral harganya hanya 30.000 rupiah. Murah sekali karena bebek berukuran cukup besar dan porsi nasinya banyak. Sebenarnya di Malang dan Surabaya juga ada cabang restoran ini, tetapi kurang afdol jika tidak mencoba makan di pusatnya langsung.
Pulang Malam dan Melihat Realita Kehidupan
Setelah makan nasi bebek, kami segera pulang, karena takut akan kemalaman sampai di Malang. Besok anakku harus bangun pagi dan sekolah. Mobil meluncur lagi menuju Jembatan Suramadu, melewati Surabaya, lalu masuk ke jalan tol Surabaya-Malang lagi.
Pemandangan yang tersaji di malam hari sangat berbeda dengan sore tadi. Malam itu terlihat realita kehidupan yang terpampang di jalanan. Ada bapak tua yang setengah mengantuk sambil menunggui jagung rebus jualannya. Ada juga ibu bergincu merah yang berjualan kopi dan gorengan di pinggir jalan.
Begitulah hidup, harus diperjuangkan sekeras mungkin. Uang tidak bisa turun dari langit, oleh karena itu manusia harus terus berusaha, walau caranya dengan berjualan dan melawan dinginnya angin malam. Perjalanan singkat ke Surabaya dan Madura memperkaya batinku dan menambah semangatku untuk terus bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H