Aroma jahe hangat menemani Citra malam itu. Ia tidak pernah menyangka, kejadian yang sedang diberitakan di TV, akan mengubah perspektifnya tentang dunia ini.
Gempa besar mengguncang wilayah Jawa Barat, korban jiwa berjatuhan, kerugian harta benda tak terkira, tragedi mencekam ini menjadi headline di berbagai stasiun televisi. Citra kembali menyeruput jahe hangat, di saat yang sama, aroma petrikor merangsak masuk ke dalam rumah---pertanda rinai telah datang.
Akibat gempa itu, gunung Tangkuban Perahu mengalami longsor; sebagian sisi gunungnya amblas. Secara tidak sengaja, warga menemukan sebuah gua dari sisi gunung yang amblas. Salah satu warga mendeskripsikan gua itu sebagai: "Tempat para jin bersemayam."
Alasannya, saat mereka masuk ke dalamnya, mereka mendengar suara-suara aneh, serta, melihat cahaya merah berkelap-kelip dalam kegelapan.
Citra tersenyum saat mendengar penjelasan itu. Ia seorang dosen Filolog di UNESA, walau bukan bidangnya, Citra sedikit paham tentang psikologi manusia, ia tidak percaya pada hal-hal mistis, apalagi kalau cerita mistis itu, keluarnya dari mulut seseorang yang sedang dilanda kepanikan.
Satu bulan berlalu, Citra menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia sedang mengajar, saat dirinya dipanggil ke gedung rektorat. Seketika dirinya lemas saat masuk ke ruang rektor, empat polisi bertubuh tegap menatapnya tajam.
"Bu Citra, silakan duduk." ujar Rektor.
Jantungnya berdegup kencang, tempo pernapasannya mulai tak beraturan, Citra berusaha mengingat kesalahan-kesalahan, yang mungkin saja jadi penyebab ia dipanggil ke ruangan ini, sehingga ia harus berurusan dengan pihak berwajib.
Salah seorang polisi langsung menjelaskan alasan mereka datang ke UNESA, dan ingin bertemu dengan Citra. Semuanya bermula dari gempa besar satu bulan yang lalu. Di dalam gua, ditemukan sebuah prasasti yang ditulis menggunakan Bahasa Jawa kuno. Sayangnya, para arkeolog kesulitan mendekripsikan tulisan-tulisan kuno itu, menjadi sebuah terjemahan yang akurat. Karena Citra adalah, salah satu Filolog ternama di Indonesia, polisi mendatanginya untuk meminta bantuan.
Mereka menyodorkan beberapa foto tampak depan prasasti Tangkuban Perahu, juga melampirkan beberapa terjemahan yang dibuat oleh arkeolog-arkeolog di sana.
"Bagaimana tanggapan Bu Citra tentang ini?" tanya Rektor.
"Dari yang saya baca, mereka menyimpulkan bahwa prasasti ini, menjelaskan tentang lokasi rumah kertas." Citra mengambil foto prasasti, matanya tak berkedip melihat batu yang diselimuti lumut hijau tua.
"Apa ada yang salah?" Rektor mengernyitkan dahinya.
"Ya, prasasti ini tidak menuliskan tentang rumah kertas, melainkan sebuah perpustakaan."
Rektor dan polisi saling pandang, mereka mengangguk, seolah memberi sebuah kode. Citra yang sejak awal merasa tidak nyaman, mulai memberanikan dirinya untuk menanyakan kejanggalan yang menggantung di ruangan itu. Ia merasa, bukan tupoksinya bagi polisi, untuk masuk ke ranah arkeologi dan filologi.
"Nanti akan kami jelaskan detailnya di jalan," ujar seorang polisi.
Hari itu, Citra langsung terbang ke Jawa Barat. Di perjalanan, polisi yang mendampinginya menjelaskan kalau, para arkeolog yang dikirim ke gua itu, sebenarnya tidak hanya menemukan sebuah prasasti. Temuan itulah yang menyebabkan pemerintah memperketat keamanan, melibatkan pihak kepolisian, dan menaikkan status temuan ini menjadi: "rahasia negara".
Sesampainya di Jawa Barat, ia dibawa ke Desa Ciater, dan dipertemukan dengan para arkeolog sudah lebih dahulu berada di sana. Citra mulai mempelajari data temuan para arkeolog ini. Â Betapa terkejutnya Citra, saat mendengar cerita aneh dari salah satu arkeolog. Sebenarnya, mereka telah menemukan pintu rahasia, yang menurut mereka, terhubung ke ruangan bawah tanah. Namun, mereka masih belum tahu cara membukanya.
Dari foto yang Citra lihat, pintu besi itu lebih mirip pintu modern yang hanya bisa digerakan oleh energi listrik. "Bagaimana mungkin teknologi modern sudah ada di masa lampau?" pikirnya. Dari data yang ia baca, uji karbon pada prasasti ini, setidaknya telah berusia ratusan ribu tahun.
Untuk menjawab rasa penasarannya itu, esok paginya, Citra bersama beberapa arkeolog, berangkat ke lokasi. Ia ingin memastikan langsung, apa sebenarnya yang tertulis di prasasti itu. Hasilnya sama, prasasti ini menuliskan tentang sebuah perpustakaan. Hanya saja, Citra masih belum tahu apa fungsi perpustakaan ini, siapa yang membangunnya, dan apa tujuan perpustakaan ini dibuat.
Saat sampai di pintu rahasia, Citra terpaku pada tulisan Jawa kuno, yang terpatri di permukaannya. Ia membaca tulisan itu dengan seksama, menuliskannya di tabletnya, lalu menerjemahkannya. Setelah yakin dengan hasil terjemahannya, Citra berdiri di depan pintu itu. Â Dengan tempo lambat, ia menepuk tangannya tiga kali. Seketika, tanah bergetar, pintu besar di hadapannya bergerak naik, ruangan gelap yang ada di baliknya, perlahan dipenuhi oleh cahaya lampu.
Citra menyipitkan matanya, raut wajahnya kebingungan. Apa yang nampak di hadapannya, sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Perpustakaan seharusnya penuh dengan buku, Â tetapi di ruangan ini, mereka hanya menemukan satu buah buku, dan sebuah benda seperti helm berkepala anjing yang terbuat sepenuhnya dari logam yang ringan. Ia terkulai lemas saat membaca buku itu.
"Kita telah ditipu selama ini," gumam Citra.
"Ditipu? Maksudnya apa, Bu?" tanya salah satu arkeolog.
"Buku ini menceritakan kisah asli dari Gunung Tangkuban Perahu, isinya sangat jauh berbeda dengan yang kita kenal selama ini. Sebagai contohnya, yang kita tahu, Tumang adalah seekor anjing, kenyataannya tidak seperti itu." Citra menghela napas panjang, "Menurut buku ini, Tumang merupakan anggota penjelajah dari galaksi seberang, mereka datang ke bumi, karena mendeteksi keberadaan energi unik di sekitar Gunung Tangkuban Perahu."
Arkeolog itu mengangkat alisnya, ia agak terkejut dengan penjelasan Citra. "Jadi selama ini kita salah memahami cerita rakyat Tangkuban Perahu?"
"Sepertinya begitu," jawab Citra sambil menutup buku kuno itu, memperlihatkan bagian sampul yang pudar oleh waktu. "Legenda yang kita dengar selama ini, kemungkinan versi yang telah disederhanakan, atau mungkin saja disalahartikan oleh generasi di masa lampau. Orang-orang zaman dulu, mungkin tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya dengan imajinasi mereka yang terbatas saat itu."
Ruang perpustakaan terasa semakin sunyi, semua orang yang berada di sana tenggelam dalam benaknya masing-masing---membayangkan bagaimana sejarah dan cerita rakyat, akan berubah dengan penemuan ini.
Jika informasi tentang Tumang saja sudah berbeda, bagaimana dengan informasi lainnya? Bagaimana dengan Dayang Sumbi? Bagaimana dengan Sangkuriang yang menendang perahu, lalu seketika berubah menjadi gunung? Apa kisah sebenarnya di balik rentetan kejadian, dalam cerita rakyat yang kita kenal selama ini?
"Sekarang bagaimana, Bu?" tanya salah seorang Arkeolog.
"Kita harus meneliti lebih dalam lagi." Citra menjawab. "Mungkin, dengan memahami lebih jauh tentang tulisan-tulisan di dalam buku ini, dan menyelidiki lebih lanjut tentang perpustakaan ini, kita bisa menemukan petunjuk baru, yang akan menuntun kita pada penemuan berikutnya. Mungkin saja, kita akan tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Tumang, Dayang Sumbi, dan Ken Dedes."
Dengan keputusan itu, Citra memulai petualangan baru, dengan harapan, ia akan mengungkap misteri yang telah tersimpan selama berabad-abad di dalam perut Tangkuban Perahu, dan membawanya ke permukaan untuk diketahui dunia.
Judul: Enigma
Genre: Fiksi Ilmiah
Jumlah Kata: 1050
Nama Penulis: Aeron Brusen
TTL: Sidoarjo, 24 Juni 1996
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H