Beberapa hari kemudian, keluarga dan rekan kerja Tantri datang ke rumah sakit untuk menjenguknya. Tantri hanya membisu saat siuman, ia tidak menjawab satu pun pertanyaan mereka. Orang tua Tantri menangis tersedu-sedu, meratapi nasib anaknya: "Nak, nak, ini Ibu, Nak."
Sayang, Tatapan Tantri kosong, seolah, jiwanya bukan lagi penghuni tubuh anggunnya itu.Â
Namun, semuanya berubah, saat rekan jurnalisnya yang berambut panjang tiba. Raut wajah Tantri berubah, matanya membelalak, dengan jari yang tremor, ia menunjuk rekannya. Seketika, Tantri menjadi gusar, ia meronta dengan liar, selang infus ia tarik sampai putus, piring dan gelas yang ada di meja kecil, dihamburkan sampai pecah berkeping-keping. Ketakutan terpampang di matanya, seolah, sesuatu yang gelap telah menguasai jiwanya.Â
Sejak kejadian itu, Tantri menghabiskan hari-harinya di rumah sakit jiwa. Dokter tak bisa mendiagnosa penyakitnya secara klinis. Dugaan mereka, Tantri mengalami gangguan kejiwaan. Oleh sebab itu, Tantri dipindahkan ke rumah sakit jiwa.Â
Tantri meringkuk di sudut ruangannya yang gelap, bayang-bayang kejadian kelam malam itu, tanpa henti menggerayangi sanubarinya. Tidak ada satu pun yang sanggup menembus dinding pikirannya, tatapan matanya hampa, seolah, ia terperangkap dalam lautan pikirannya sendiri.Â
Beberapa hari kemudian, Tantri ditemukan meninggal dunia di kamarnya. Dengan kematiannya, kasus kapal-kapal nelayan yang hilang di laut selatan, dan kejadian sebenarnya di balik tragedi-tragedi mengerikan itu, semuanya ikut terkubur bersama jasadnya.Â
Legenda laut selatan Jawa akan kembali menjadi misteri, seolah mengingatkan bahwa, terkadang, ada hal-hal yang lebih baik tetap terpendam di dalam kegelapan, untuk selama-lamanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H